Dua Pasang Hati
A
A
A
Cowok itu manggutmanggut mengerti. Tetapi sesaat sesudahnya, Ardio memerhatikan mata Lara yang sedikit basah. ”Lo habis nangis, Ra?” tanya cowok itu. Lara terkesiap, begitu cowok itu sadar kalo dia habis mellow.
”Ng... nggak, gue ngantuk.. lagi nungguin obat yang harus gue tebus,” Lara berputar otak mencari alasan. Lagi-lagi, Ardio senyum padanya. ”Oh, syukurlah kalo lo nggak nangis. Gue kira lo kenapa-napa.” Ardio melirik jam tangannya, ”Gue harus balik praktek lagi nih, gue ada pasien.” Ardio menepuk bahu Lara, lalu mencondongkan wajahnya ke telinga Lara, lalu berbisik, ”Take care ya, Ra. Don't fall sickanymore.” Lara tak bergeming, seketika itu tubuhnya tak mampu lagi berdiri, seolah kakinya terpasung di sana.
Ardio.. kenapa dia tiba-tiba jadi aneh gitu? Lara teringat dua hari yang lalu, sebelum adanya insiden terkunci di gudang, cowok itu memujinya. Padahal ketika Ardio dan Echa menjenguknya, cowok itu tampak begitu mesra dengan Echa, kayak biasanya. Kok...? Lara menggelengkan kepalanya, pasti ada apa-apanya nih si Ardio? Sampe berani dia bikin Echa sakit hati, Lara nggak akan segan-segan menghajarnya.
Sepertinya, Lara sudah harus memberi tahu Echa soal ini, batinnya bertekad bulat. Nggak... nggak, kalo Echa tahu, pasti dia akan menyudahi tali persahabatannya. Duh!!! Lara harus gimana dong? Kalo didiemin terus, Ardio akan bertingkah semakin jauh. Nggak boleh! Tanpa disadari Lara dan Ardio, sesosok pria tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Ia tak berniat untuk menyambangi Lara yang kini duduk sendirian, ia memilih untuk menjauh dari perempuan itu, berpura-pura tidak tahu apa yang sudah dilihatnya.
Beberapa jam kemudian... Jantung Lara cukup berdetak lebih cepat, layaknya bencong yang dikejar-kejar satpol PP dini hari, mendapati Ardio secara tiba-tiba bersikap aneh padanya. Bukan hanya itu, Lara sesungguhnya ingin memberitahu pada Echa, kalau si Ardio tunangannya itu, mulai menunjukkan perilaku busuknya, apalagi menjelang mereka nikah. Astaga, di mana Ardio yang dulu begitu tulus mencintai sahabatnya itu?
Tapi... gimana cara ngasih tau ke Echa ya? Lara belum punya bukti cukup kuat untuk memberi tahu Echa. Apalagi, selama ini Ardio pandai menutupi rasa ketertarikannya pada Lara. Ia bersikap sangat manis pada Echa, seolah nggak ada apa-apa. Maka itu, begitu ia sampai di rumah, Lara melarutkan dirinya pada berkasberkas barang yang harus diletakkannya di ruang para dokter.
Semua pekerjaannya jadi terbengkalai karena insiden waktu itu. Alih-alih beristirahat agar mempercepat pemulihannya, Lara teringat sesuatu. Jam tangan yang ditemukannya di kamar waktu itu, sama sekali tak berpemilik. Lara lupa ingin menyerahkannya di bagian berwajib di rumah sakit. Kalau dipikir-pikir, apa benar ada seseorang yang menyelinap di kamarnya waktu itu? Soalnya, Lara merasa cukup aneh dengan kamar yang dia tinggali selama beberapa hari.
Dokter jaga, jarang banget datang memeriksa keadaannya, hanya sekali-waktu ia mau pulang dari rumah sakit. Selebihnya? Nggak ada, cuma perawat saja yang memeriksa keadaan dan menawarkannya sarapan, makan siang dan makan malam. Lalu... masih teringat jelas di pikirannya, Lara begitu yakin bahwa ada seseorang yang menyelinap di kamarnya waktu itu. Meski samar-samar ia lihat, tapi ia bisa mengenali bayangan sosok berjas dokter seolah menjauh dari ruangannya.
Lara bergidik ngeri, jangan-jangan ini rumah sakit ada hantunya, lagi! Amit-amit deh. Lara mengeluarkan jam tangan tak berpemilik itu, siapa ya... yang kira-kira yang punya jam tangan semahal ini? Lihat saja berlianberlian kecil yang menghiasi pada pinggiran lingkaran jam tangannya... pasti asli. Masa sih ada orang yang sengaja ninggalin jam tangan semahal ini di kamar? Lara menggelengkan kepalanya, ah... nggak bisa.
Pokoknya besok harus kasih ke pihak rumah sakit. Harus! Tok! Tok! Suara ketukan pintu hampir saja membuat jantung Lara keluar tiba-tiba. Lara segera bangkit dari tempat duduknya, lalu melangkah ke pintu. Siapa ya, soresore gini dateng ke rumah? Pikir Lara. Siapa lagi yang tau, selain Echa atau Ardio? Masa Ardio? Amit-amit! Awas aja dia kalo berani, pasti Lara sudah melayangkan tonjokkan padanya.
Dengan hati-hati, Lara membuka pintu rumahnya. Mata cewek itu sedikit menyipit, memastikan siapa yang datang. Dari arah yang berlawanan, seorang laki-laki sekitar tiga puluh empat tahun melambaikan tangannya, ia mengurai senyum. (bersambung)
Oleh:
Vania M. Bernadette
”Ng... nggak, gue ngantuk.. lagi nungguin obat yang harus gue tebus,” Lara berputar otak mencari alasan. Lagi-lagi, Ardio senyum padanya. ”Oh, syukurlah kalo lo nggak nangis. Gue kira lo kenapa-napa.” Ardio melirik jam tangannya, ”Gue harus balik praktek lagi nih, gue ada pasien.” Ardio menepuk bahu Lara, lalu mencondongkan wajahnya ke telinga Lara, lalu berbisik, ”Take care ya, Ra. Don't fall sickanymore.” Lara tak bergeming, seketika itu tubuhnya tak mampu lagi berdiri, seolah kakinya terpasung di sana.
Ardio.. kenapa dia tiba-tiba jadi aneh gitu? Lara teringat dua hari yang lalu, sebelum adanya insiden terkunci di gudang, cowok itu memujinya. Padahal ketika Ardio dan Echa menjenguknya, cowok itu tampak begitu mesra dengan Echa, kayak biasanya. Kok...? Lara menggelengkan kepalanya, pasti ada apa-apanya nih si Ardio? Sampe berani dia bikin Echa sakit hati, Lara nggak akan segan-segan menghajarnya.
Sepertinya, Lara sudah harus memberi tahu Echa soal ini, batinnya bertekad bulat. Nggak... nggak, kalo Echa tahu, pasti dia akan menyudahi tali persahabatannya. Duh!!! Lara harus gimana dong? Kalo didiemin terus, Ardio akan bertingkah semakin jauh. Nggak boleh! Tanpa disadari Lara dan Ardio, sesosok pria tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Ia tak berniat untuk menyambangi Lara yang kini duduk sendirian, ia memilih untuk menjauh dari perempuan itu, berpura-pura tidak tahu apa yang sudah dilihatnya.
Beberapa jam kemudian... Jantung Lara cukup berdetak lebih cepat, layaknya bencong yang dikejar-kejar satpol PP dini hari, mendapati Ardio secara tiba-tiba bersikap aneh padanya. Bukan hanya itu, Lara sesungguhnya ingin memberitahu pada Echa, kalau si Ardio tunangannya itu, mulai menunjukkan perilaku busuknya, apalagi menjelang mereka nikah. Astaga, di mana Ardio yang dulu begitu tulus mencintai sahabatnya itu?
Tapi... gimana cara ngasih tau ke Echa ya? Lara belum punya bukti cukup kuat untuk memberi tahu Echa. Apalagi, selama ini Ardio pandai menutupi rasa ketertarikannya pada Lara. Ia bersikap sangat manis pada Echa, seolah nggak ada apa-apa. Maka itu, begitu ia sampai di rumah, Lara melarutkan dirinya pada berkasberkas barang yang harus diletakkannya di ruang para dokter.
Semua pekerjaannya jadi terbengkalai karena insiden waktu itu. Alih-alih beristirahat agar mempercepat pemulihannya, Lara teringat sesuatu. Jam tangan yang ditemukannya di kamar waktu itu, sama sekali tak berpemilik. Lara lupa ingin menyerahkannya di bagian berwajib di rumah sakit. Kalau dipikir-pikir, apa benar ada seseorang yang menyelinap di kamarnya waktu itu? Soalnya, Lara merasa cukup aneh dengan kamar yang dia tinggali selama beberapa hari.
Dokter jaga, jarang banget datang memeriksa keadaannya, hanya sekali-waktu ia mau pulang dari rumah sakit. Selebihnya? Nggak ada, cuma perawat saja yang memeriksa keadaan dan menawarkannya sarapan, makan siang dan makan malam. Lalu... masih teringat jelas di pikirannya, Lara begitu yakin bahwa ada seseorang yang menyelinap di kamarnya waktu itu. Meski samar-samar ia lihat, tapi ia bisa mengenali bayangan sosok berjas dokter seolah menjauh dari ruangannya.
Lara bergidik ngeri, jangan-jangan ini rumah sakit ada hantunya, lagi! Amit-amit deh. Lara mengeluarkan jam tangan tak berpemilik itu, siapa ya... yang kira-kira yang punya jam tangan semahal ini? Lihat saja berlianberlian kecil yang menghiasi pada pinggiran lingkaran jam tangannya... pasti asli. Masa sih ada orang yang sengaja ninggalin jam tangan semahal ini di kamar? Lara menggelengkan kepalanya, ah... nggak bisa.
Pokoknya besok harus kasih ke pihak rumah sakit. Harus! Tok! Tok! Suara ketukan pintu hampir saja membuat jantung Lara keluar tiba-tiba. Lara segera bangkit dari tempat duduknya, lalu melangkah ke pintu. Siapa ya, soresore gini dateng ke rumah? Pikir Lara. Siapa lagi yang tau, selain Echa atau Ardio? Masa Ardio? Amit-amit! Awas aja dia kalo berani, pasti Lara sudah melayangkan tonjokkan padanya.
Dengan hati-hati, Lara membuka pintu rumahnya. Mata cewek itu sedikit menyipit, memastikan siapa yang datang. Dari arah yang berlawanan, seorang laki-laki sekitar tiga puluh empat tahun melambaikan tangannya, ia mengurai senyum. (bersambung)
Oleh:
Vania M. Bernadette
(ars)