Dua Pasang Hati
A
A
A
Selasa... ”Wah, Mbak Lara. Akhirnya, udah sehat. Maafin saya ya, Mbak. Udah ninggalin Mbak begitu aja, waktu kejadian kemaren.
Maaf Mbak, beneran deh.” Dodo pagi-pagi menyampaikan permohonan maafnya. Lara tersenyum padanya, memaklumkan kejadian waktu itu. Ia menilai Dodo begitu tulus dan merasa bersalah padanya. ”Nggak apa-apa, Do. Namanya juga insiden, udah takdir. Lagian emang gudangnya aja yang udah reyot, jadi ya... yang kena saya, deh.” Lara menepuk pundak cowok itu yang masih murung.
”Makasih ya, Mbak. Nggak ngusir saya cuma gara-gara gitu doang. Kirain si Mbak, bakal nggak mau kerja sama dengan saya,” ujar cowok itu lagi. ”Nggak sampe segitunya juga kali, Do. Kan saya udah bilang, semuanya itu insiden. Jangan berlarut-larut gitu.” Lara memamerkan lengan kecilnya, seolah ia punya otot besar. ”Saya udah sehat gini kok, masih aja dikhawatirin?” Dodo tersenyum lugu.
”Gitu dong, jangan sedih terus. Yuk, sekarang kita kerja, lagi. Semangat!” pekik Lara, tanpa sadar suaranya membuat orang-orang di sekitarnya menatap tajam ke arahnya-bahkan, sampe ada anak bayi yang nangis. Lara menunduk malu, aduh... mampus deh gue, gumamnya dalam hati. Dodo hanya terkikik geli melihat rekannya yang satu ini. Dari kejauhan Keenan tampak sedang berjalan menuju mereka. Lagi-lagi sekarang, jantung Lara melompat nggak karuan, dan cheerleaders di hatinya juga menari-nari kegirangan. Keenan berhenti tepat di depan Lara.
Tubuh tinggi tegapnya hanya berkisar satu meter saja. Cowok itu menatap mata Lara tajam, lalu berkata padanya. ”Nggak tau ya, kalo ini rumah sakit?” omelnya langsung tanpa basabasi. ”Maaf, Nan. Gue kan nggak sengaja,” balas cewek itu menyesal. Tapi sepertinya Keenan belum puas menyerangnya, kembali ia menghujani Lara dengan kata-katanya yang pedes, plus senyum menyebalkannya.
”Kalo lo mau teriak-teriak, sana di hutan. Jangan di sini. Ngerti?” Lara mengumpat sebal, memaki cowok itu diam-diam. Idih! Lara menarik ucapannya beberapa waktu lalu, soal kebaikan Keenan. That is the bullshit thing about him ! Setelahnya cowok itu melenggang acuh di depannya, seolah dia tak memiliki kesalahan pada ucapannya.
Nyebelin banget sih orang itu! Lara nggak berhenti memaki dirinya sendiri. Kontan pemandangan itu mengundang rasa penasaran di benak Dodo. Sepertinya dia pernah lihat wajah dokter itu di suatu tempat, di mana ya? Cowok itu berkata dalam hati. Diam-diam, Dodo memerhatikan mimik wajah Lara yang sedikit kesal dengan omelan dokter tersebut. ”Mbak, jangan marah-marah ya. Biarin aja, dokter itu. Mungkin dia lagi berantem kali sama istrinya, makanya meledak sana-sini,” gumam Dodo sambil tertawa.
”Dia belum nikah kok!” tukas Lara pada Dodo. Raut wajah Lara seolah berkata jika dia tidak suka dengan gurauan Dodo barusan. ”Mbak kenal sama dokter tadi? Siapanya Mbak sih, mantan ya, Mbak? Syukur deh, Mbak nggak jadi sama dia. Bisa-bisa Mbak dimarahin terus kalo jadi istrinya,” cerocos Dodo padanya. Selanjutnya, tiba-tiba Dodo mengeluarkan sisir kecil dari saku celananya, merapikan rambut keritingnya lalu berkata, ”Mbak Lara, kalo saya jadi suami Mbak Lara, saya nggak akan pernah marah-marahin Mbak kayak gitu. Saya pasti, sayaaaang banget sama Mbak Lara.
” Lara bergidik geli melihat Dodo yang tiba-tiba aja menyatakan perasaannya yang, ehm.. agak norak sih menurutnya. Lara refleks membalikkan tubuhnya ke belakang, namun tahu-tahu dahi Lara tertabrak pada dada bidang milik cowok itu. yang berjalan di depannya, baru saja kembali dari ruang praktiknya di lantai bawah. Mata Keenan menatap dingin kepala cewek itu yang masih menempel di dadanya. Dengan jari telunjuknya, cowok itu menoyor kepala Lara dan mendorongnya jauh dari dadanya.
Lara juga tidak sadar jika yang ditabraknya adalah Keenan. Ketika ia tahu, cewek itu sengaja melotot ke arahnya. Alis cowok itu sontak terangkat sebelah. ”Ngapain sih lo balik lagi?” omel Lara kesal. ”Gue mau ke arah sana,” cowok itu menjawab dengan wajah ketatnya. Tanpa seulas senyum di bibirnya. (bersambung)
Oleh:
Vania M. Bernadette
Maaf Mbak, beneran deh.” Dodo pagi-pagi menyampaikan permohonan maafnya. Lara tersenyum padanya, memaklumkan kejadian waktu itu. Ia menilai Dodo begitu tulus dan merasa bersalah padanya. ”Nggak apa-apa, Do. Namanya juga insiden, udah takdir. Lagian emang gudangnya aja yang udah reyot, jadi ya... yang kena saya, deh.” Lara menepuk pundak cowok itu yang masih murung.
”Makasih ya, Mbak. Nggak ngusir saya cuma gara-gara gitu doang. Kirain si Mbak, bakal nggak mau kerja sama dengan saya,” ujar cowok itu lagi. ”Nggak sampe segitunya juga kali, Do. Kan saya udah bilang, semuanya itu insiden. Jangan berlarut-larut gitu.” Lara memamerkan lengan kecilnya, seolah ia punya otot besar. ”Saya udah sehat gini kok, masih aja dikhawatirin?” Dodo tersenyum lugu.
”Gitu dong, jangan sedih terus. Yuk, sekarang kita kerja, lagi. Semangat!” pekik Lara, tanpa sadar suaranya membuat orang-orang di sekitarnya menatap tajam ke arahnya-bahkan, sampe ada anak bayi yang nangis. Lara menunduk malu, aduh... mampus deh gue, gumamnya dalam hati. Dodo hanya terkikik geli melihat rekannya yang satu ini. Dari kejauhan Keenan tampak sedang berjalan menuju mereka. Lagi-lagi sekarang, jantung Lara melompat nggak karuan, dan cheerleaders di hatinya juga menari-nari kegirangan. Keenan berhenti tepat di depan Lara.
Tubuh tinggi tegapnya hanya berkisar satu meter saja. Cowok itu menatap mata Lara tajam, lalu berkata padanya. ”Nggak tau ya, kalo ini rumah sakit?” omelnya langsung tanpa basabasi. ”Maaf, Nan. Gue kan nggak sengaja,” balas cewek itu menyesal. Tapi sepertinya Keenan belum puas menyerangnya, kembali ia menghujani Lara dengan kata-katanya yang pedes, plus senyum menyebalkannya.
”Kalo lo mau teriak-teriak, sana di hutan. Jangan di sini. Ngerti?” Lara mengumpat sebal, memaki cowok itu diam-diam. Idih! Lara menarik ucapannya beberapa waktu lalu, soal kebaikan Keenan. That is the bullshit thing about him ! Setelahnya cowok itu melenggang acuh di depannya, seolah dia tak memiliki kesalahan pada ucapannya.
Nyebelin banget sih orang itu! Lara nggak berhenti memaki dirinya sendiri. Kontan pemandangan itu mengundang rasa penasaran di benak Dodo. Sepertinya dia pernah lihat wajah dokter itu di suatu tempat, di mana ya? Cowok itu berkata dalam hati. Diam-diam, Dodo memerhatikan mimik wajah Lara yang sedikit kesal dengan omelan dokter tersebut. ”Mbak, jangan marah-marah ya. Biarin aja, dokter itu. Mungkin dia lagi berantem kali sama istrinya, makanya meledak sana-sini,” gumam Dodo sambil tertawa.
”Dia belum nikah kok!” tukas Lara pada Dodo. Raut wajah Lara seolah berkata jika dia tidak suka dengan gurauan Dodo barusan. ”Mbak kenal sama dokter tadi? Siapanya Mbak sih, mantan ya, Mbak? Syukur deh, Mbak nggak jadi sama dia. Bisa-bisa Mbak dimarahin terus kalo jadi istrinya,” cerocos Dodo padanya. Selanjutnya, tiba-tiba Dodo mengeluarkan sisir kecil dari saku celananya, merapikan rambut keritingnya lalu berkata, ”Mbak Lara, kalo saya jadi suami Mbak Lara, saya nggak akan pernah marah-marahin Mbak kayak gitu. Saya pasti, sayaaaang banget sama Mbak Lara.
” Lara bergidik geli melihat Dodo yang tiba-tiba aja menyatakan perasaannya yang, ehm.. agak norak sih menurutnya. Lara refleks membalikkan tubuhnya ke belakang, namun tahu-tahu dahi Lara tertabrak pada dada bidang milik cowok itu. yang berjalan di depannya, baru saja kembali dari ruang praktiknya di lantai bawah. Mata Keenan menatap dingin kepala cewek itu yang masih menempel di dadanya. Dengan jari telunjuknya, cowok itu menoyor kepala Lara dan mendorongnya jauh dari dadanya.
Lara juga tidak sadar jika yang ditabraknya adalah Keenan. Ketika ia tahu, cewek itu sengaja melotot ke arahnya. Alis cowok itu sontak terangkat sebelah. ”Ngapain sih lo balik lagi?” omel Lara kesal. ”Gue mau ke arah sana,” cowok itu menjawab dengan wajah ketatnya. Tanpa seulas senyum di bibirnya. (bersambung)
Oleh:
Vania M. Bernadette
(ars)