Dua Pasang Hati
A
A
A
Satu nama yang terlintas di otaknya, Keenan! Dia harus cari Keenan sekarang. Lara menghampiri sustersuster dan memintanya untuk segera menolong gadis malang itu.
Untungnya salah seorang suster dengan sigap mengambilkan kasur dorong dan memindahkan Jovani ke atasnya. ”Mbak Lara... tolong saya... tolong... saya nggak kuat,” rintih Jovani sambil menahan tangis. Ia mengerti pasti bukan perjuangan mudah bagi gadis itu, menahan mulas berjam-jam akibat kontraksi. Lara mencoba menghubungi Keenan, tapi cowok itu belum juga mengangkat. Angkat dong! Angkat, begoooo! Umpat Lara dalam hati.
Setelah percobaan ketiga, Keenan mengangkat teleponnya. ”Halo, Nan. Lo di mana? Buruan ke sini!” pekik Lara cepat. ”Kenapa? Kok lo panik gitu?” ”Nan, itu... Jovani, pasien lo. Dia.. aduh...” Lara tak kuasa juga menahan sakit, tangannya dicengkeram Jovani. ”Gue ke sana sekarang!” Tit! Beberapa menit kemudian, tibalah Keenan. Entah dari mana cowok itu muncul, pokoknya tahutahu dia ada aja dari arah samping.
Dengan cepat Keenan sendiri mendorongnya ke ruang melahirkan. Lara bernapas lega setelahnya, untung Keenan cepat datang, kalo nggak, Lara nggak bisa berpikir apalagi yang terjadi selanjutnya pada Jovani dan janinnya nanti. Mudahmudahan lahirannya selamat. Karena Keenan sudah ada, kini Lara sudah bisa kembali fokus pada pekerjaannya.
Enam jam kemudian... Raut wajah dokter tampan itu tak lagi menyiratkan kebahagiaan, melainkan duka yang mendalam. Pria itu menangkupkan wajahnya dengan telapak tangannya. Baru kali ini, seumur hidupnya jadi dokter, dia merasakan pedih yang tak terkira. Dan, baru kali ini juga, pria itu merasa gagal sebagai seorang dokter.
Masih teringat jelas di otaknya, impian menimang seorang anak laki-laki begitu tersirat di wajah pasiennya yang masih muda itu. Namun sayangnya, Tuhan berkehendak lain. Dia tak diperkenankan melihat anak itu, bahkan menimangnya. Pendarahan hebat yang terjadi setelah melahirkan atau dalam istilah ilmiah post partum itu, mengakibatkan ibu muda ini harus meregang nyawa.
Setelah sempat sadar beberapa jam, gadis muda bernama Jovani itu harus meninggal dunia karena kehabisan banyak darah. Sudah semua usaha telah dikerahkannya, namun tetap saja tidak membuahkan hasil. Kini anak laki-laki tak bernama itu, masih saja menangis di ruang bayi. Mungkin dia bisa merasakan ikatan batin ibunya yang telah pergi meninggalkannya.
Belum sampai di situ, keluarga Jovani sama sekali tak datang mendampingi dirinya saat berjuang sendirian di dalam. Gadis itu sungguh malang, benar-benar menyedihkan. Keenan sudah meminta suster untuk menghubungi keluarganya, bahkan calon ayah dari anak laki-laki yang dilahirkannya.
Tetap saja nihil, tak satu pun dari mereka mau menjawab. Sampai akhirnya, datanglah seorang wanita tua yang mengaku, beliaulah sanak keluarga yang dimiliki Jovani saat ini. Wanita itu berkisah, semenjak Jovani hamil dan tidak menggugurkan kandungannya, gadis itu diusir mentah-mentah dari keluarganya.
Tidak ada dari mereka yang mau mengurus Jovani, namanya sudah dihapus dari keluarga. Keenan tak lagi mampu berpikir jernih. Walaupun ia tak menangis, tapi jauh dalam hatinya itulah yang begitu sedih dan terpuruk. Dia sangat mengerti dengan keadaan Jovani saat ini, benar-benar menyedihkan. Sekujur tubuh Keenan sudah tak mampu lagi menopangnya berdiri, ia merasa begitu lemas.
Sambil duduk, Keenan menyandarkan tubuhnya ke tembok, ia menangkupkan wajahnya dengan lengan tangannya. ”Keenan?” Sebuah suara yang begitu dikenalnya, memanggilnya. Tersadar, Keenan menurunkan lengan tangannya dan menatap perempuan itu. Gadis ini duduk di sebelahnya, membalas tatapan matanya seolah mengerti situasi apa yang terjadi dengannya.
”Jovani... gimana? Bayinya baikbaik aja?” rentetan pertanyaan itu seolah menghujam tepat di jantung hati Keenan. Ia tak menjawab, itu artinya... Tiba-tiba saja tangan perempuan itu menyentuh tangan Keenan. Tak seperti biasanya, cowok itu membiarkan tangan gadis itu menyentuhnya, memberi kekuatan pada dirinya. Entah ada magis apa pada dirinya sehingga tangan Keenan seolah menolak dilepas olehnya. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
Untungnya salah seorang suster dengan sigap mengambilkan kasur dorong dan memindahkan Jovani ke atasnya. ”Mbak Lara... tolong saya... tolong... saya nggak kuat,” rintih Jovani sambil menahan tangis. Ia mengerti pasti bukan perjuangan mudah bagi gadis itu, menahan mulas berjam-jam akibat kontraksi. Lara mencoba menghubungi Keenan, tapi cowok itu belum juga mengangkat. Angkat dong! Angkat, begoooo! Umpat Lara dalam hati.
Setelah percobaan ketiga, Keenan mengangkat teleponnya. ”Halo, Nan. Lo di mana? Buruan ke sini!” pekik Lara cepat. ”Kenapa? Kok lo panik gitu?” ”Nan, itu... Jovani, pasien lo. Dia.. aduh...” Lara tak kuasa juga menahan sakit, tangannya dicengkeram Jovani. ”Gue ke sana sekarang!” Tit! Beberapa menit kemudian, tibalah Keenan. Entah dari mana cowok itu muncul, pokoknya tahutahu dia ada aja dari arah samping.
Dengan cepat Keenan sendiri mendorongnya ke ruang melahirkan. Lara bernapas lega setelahnya, untung Keenan cepat datang, kalo nggak, Lara nggak bisa berpikir apalagi yang terjadi selanjutnya pada Jovani dan janinnya nanti. Mudahmudahan lahirannya selamat. Karena Keenan sudah ada, kini Lara sudah bisa kembali fokus pada pekerjaannya.
Enam jam kemudian... Raut wajah dokter tampan itu tak lagi menyiratkan kebahagiaan, melainkan duka yang mendalam. Pria itu menangkupkan wajahnya dengan telapak tangannya. Baru kali ini, seumur hidupnya jadi dokter, dia merasakan pedih yang tak terkira. Dan, baru kali ini juga, pria itu merasa gagal sebagai seorang dokter.
Masih teringat jelas di otaknya, impian menimang seorang anak laki-laki begitu tersirat di wajah pasiennya yang masih muda itu. Namun sayangnya, Tuhan berkehendak lain. Dia tak diperkenankan melihat anak itu, bahkan menimangnya. Pendarahan hebat yang terjadi setelah melahirkan atau dalam istilah ilmiah post partum itu, mengakibatkan ibu muda ini harus meregang nyawa.
Setelah sempat sadar beberapa jam, gadis muda bernama Jovani itu harus meninggal dunia karena kehabisan banyak darah. Sudah semua usaha telah dikerahkannya, namun tetap saja tidak membuahkan hasil. Kini anak laki-laki tak bernama itu, masih saja menangis di ruang bayi. Mungkin dia bisa merasakan ikatan batin ibunya yang telah pergi meninggalkannya.
Belum sampai di situ, keluarga Jovani sama sekali tak datang mendampingi dirinya saat berjuang sendirian di dalam. Gadis itu sungguh malang, benar-benar menyedihkan. Keenan sudah meminta suster untuk menghubungi keluarganya, bahkan calon ayah dari anak laki-laki yang dilahirkannya.
Tetap saja nihil, tak satu pun dari mereka mau menjawab. Sampai akhirnya, datanglah seorang wanita tua yang mengaku, beliaulah sanak keluarga yang dimiliki Jovani saat ini. Wanita itu berkisah, semenjak Jovani hamil dan tidak menggugurkan kandungannya, gadis itu diusir mentah-mentah dari keluarganya.
Tidak ada dari mereka yang mau mengurus Jovani, namanya sudah dihapus dari keluarga. Keenan tak lagi mampu berpikir jernih. Walaupun ia tak menangis, tapi jauh dalam hatinya itulah yang begitu sedih dan terpuruk. Dia sangat mengerti dengan keadaan Jovani saat ini, benar-benar menyedihkan. Sekujur tubuh Keenan sudah tak mampu lagi menopangnya berdiri, ia merasa begitu lemas.
Sambil duduk, Keenan menyandarkan tubuhnya ke tembok, ia menangkupkan wajahnya dengan lengan tangannya. ”Keenan?” Sebuah suara yang begitu dikenalnya, memanggilnya. Tersadar, Keenan menurunkan lengan tangannya dan menatap perempuan itu. Gadis ini duduk di sebelahnya, membalas tatapan matanya seolah mengerti situasi apa yang terjadi dengannya.
”Jovani... gimana? Bayinya baikbaik aja?” rentetan pertanyaan itu seolah menghujam tepat di jantung hati Keenan. Ia tak menjawab, itu artinya... Tiba-tiba saja tangan perempuan itu menyentuh tangan Keenan. Tak seperti biasanya, cowok itu membiarkan tangan gadis itu menyentuhnya, memberi kekuatan pada dirinya. Entah ada magis apa pada dirinya sehingga tangan Keenan seolah menolak dilepas olehnya. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
(bbg)