Dua Pasang Hati
A
A
A
Ngomong-ngomong soal dahi, saat tadi Keenan tidak sengaja mencium puncak kepalanya, dia merasa seperti de ja vu . Seolah Lara pernah mengalami hal yang sama, hanya saja dia tidak ingat kapan itu terjadi.
Mengingat hal yang tidak disangkanya itu, kini menimbulkan semu merah di pipi Lara, sontak gadis itu menyentuh pipinya yang mulai terasa hangat. Apaan sih gue!!! Lara menyadari sesuatu yang aneh menyengat hatinya, sepertinya belakangan ini Lara terus memikirkan Keenan, Keenan dan Keenan. Apalagi sejak dia bekerja sebagai interior desain di rumah sakit tempat Keenan bekerja.
Namun, Lara berusaha meyakinkan dirinya untuk tidak jatuh pada orang yang sama. Dia berkata pada dirinya sendiri, ini pasti cuma perasaanperasaan aneh yang sengaja menyurutkan langkahnya move on dari Keenan. Biasanya kan sering terjadi pada orang-orang yang ingin memulai hidup baru. Terbayang masa lalu, membuat Lara benar-benar ingin lepas dari sana. Jika dia tidak mulai dari sekarang, kapan lagi?
Tetapi... sejumput perasaan ragu menyelimuti benaknya. Kalo lo sampe sekarang berpikir bisa move on dari Keenan, kenapa tadi lo ngelakuin banyak hal untuk dia? Hahaha, lari aja kalo emang lo bisa! Lara membaringkan dirinya di kasur, sambil merengut kesal. Kenapa suara itu kembali menohok hatinya? Lara membenamkan wajahnya di bantal tidurnya, berusaha menjernihkan dari beban masa lalunya.
Pria dengan jas putih dan kemeja biru laut, serta sebuah stetoskop tergantung di kerah lehernya itu, sejak tadi tak berhenti mengetukkan jemarinya di meja kantin. Hingga membuat beberapa rekan seprofesinya heran, tapi bukannya membantu menghiburnya, mereka malah kompak meledek pria itu. ”Dok, lagi galau ya? Dari tadi kok keliatannya gelisah banget,” ucap seorang dokter perempuan, bernama Dr Ratna Audiana SpA, dokter spesialis anak yang telah lama menjadi rekannya.
Ratna, begitu ia disapa, adalah sesosok wanita yang berparas cantik khas Indonesia, karena ia memiliki darah Jawa yang mengalir deras di tubuhnya. Meski kulitnya sawo matang, gadis cantik berusia dua puluh delapan tahun itu, memiliki tubuh tinggi dan proporsional. Tak heran, dia digadanggadang sebagai dokter perempuan tercantik di rumah sakit.
”Iya, Dok. Akhirnya, udah ada juga yang bisa mencairkan es batu di depan kita ini ya, Dokter Ratna?” tambah Herman, dokter spesialis gigi. Keenan membalas ledekan Herman dengan tatapan dingin. Herman hanya tertawa-tawa, semakin senang mengejeknya. Lantas, Keenan-begitu dokter itu disapa, segera bangkit dari duduknya, beranjak pergi dari meja makannya siang ini.
Keenan membenarkan letak dasinya, yang terasa menghimpit lehernya. Sementara beberapa temannya masih sibuk meledeknya. ”Mbak Ratna, kenapa Mbak nggak coba deketin si kulkas itu sih?” bisik Herman pada Ratna saat sedang melanjutkan makannya. Wanita cantik itu mendadak menghentikan suapan makannya, lalu memandang Herman malu-malu.
”Tuh kan... Mbak, jangan nyerah gitu dong. Mbak udah suka selama empat tahun, masa nggak mau berjuang sih? Sekarang itu, udah jamannya emansipasi, Mbak. Nggak usah malu-malu lagi, banyak kok cewek yang nembak duluan. Kalo mikir gitu terus, its so old banget,” ucap Herman panjang lebar.
Dialah yang paling mengerti perasaan Ratna pada Keenan selama empat tahun terakhir ini. Dan.. apalagi profesi keduanya saling berhubungan. Yang satu, dokter kandungan dan yang satu lagi, dokter anak. Kurang cocok apalagi coba? Hanya saja Keenan termasuk cowok yang tidak mudah dijinakkan. Perlu beberapa cara untuk menaklukkan si dokter kulkas tersebut.
Ratna sepertinya harus membenarkan ucapan Herman. Sudah empat tahun terakhir setelah bercerai dengan suaminya, ia tak berniat untuk membina rumah tangga. Namun... sejak pertemuannya dengan Keenan, wanita itu menemukan gairah hidupnya. Meski Keenan bersikap dingin padanya, entah mengapa justru wanita itu tertarik padanya.
Dari beberapa biang-biang gosip di rumah sakit ini, Ratna memang pernah mendengar bahwa Keenan belum bisa move on dari kekasih pertamanya, Feli. Beberapa hari yang lalu... Ratna pernah tak sengaja mengintip Keenan berkunjung ke kamar seorang pasien.
Entah siapa pasien tersebut, namun sepertinya wajah si pasien itu tak begitu asing baginya. Pernah, sekali atau dua kali ia bertemu gadis itu di rumah sakit ini. (bersambung)
Vania M. Bernadette
Mengingat hal yang tidak disangkanya itu, kini menimbulkan semu merah di pipi Lara, sontak gadis itu menyentuh pipinya yang mulai terasa hangat. Apaan sih gue!!! Lara menyadari sesuatu yang aneh menyengat hatinya, sepertinya belakangan ini Lara terus memikirkan Keenan, Keenan dan Keenan. Apalagi sejak dia bekerja sebagai interior desain di rumah sakit tempat Keenan bekerja.
Namun, Lara berusaha meyakinkan dirinya untuk tidak jatuh pada orang yang sama. Dia berkata pada dirinya sendiri, ini pasti cuma perasaanperasaan aneh yang sengaja menyurutkan langkahnya move on dari Keenan. Biasanya kan sering terjadi pada orang-orang yang ingin memulai hidup baru. Terbayang masa lalu, membuat Lara benar-benar ingin lepas dari sana. Jika dia tidak mulai dari sekarang, kapan lagi?
Tetapi... sejumput perasaan ragu menyelimuti benaknya. Kalo lo sampe sekarang berpikir bisa move on dari Keenan, kenapa tadi lo ngelakuin banyak hal untuk dia? Hahaha, lari aja kalo emang lo bisa! Lara membaringkan dirinya di kasur, sambil merengut kesal. Kenapa suara itu kembali menohok hatinya? Lara membenamkan wajahnya di bantal tidurnya, berusaha menjernihkan dari beban masa lalunya.
Pria dengan jas putih dan kemeja biru laut, serta sebuah stetoskop tergantung di kerah lehernya itu, sejak tadi tak berhenti mengetukkan jemarinya di meja kantin. Hingga membuat beberapa rekan seprofesinya heran, tapi bukannya membantu menghiburnya, mereka malah kompak meledek pria itu. ”Dok, lagi galau ya? Dari tadi kok keliatannya gelisah banget,” ucap seorang dokter perempuan, bernama Dr Ratna Audiana SpA, dokter spesialis anak yang telah lama menjadi rekannya.
Ratna, begitu ia disapa, adalah sesosok wanita yang berparas cantik khas Indonesia, karena ia memiliki darah Jawa yang mengalir deras di tubuhnya. Meski kulitnya sawo matang, gadis cantik berusia dua puluh delapan tahun itu, memiliki tubuh tinggi dan proporsional. Tak heran, dia digadanggadang sebagai dokter perempuan tercantik di rumah sakit.
”Iya, Dok. Akhirnya, udah ada juga yang bisa mencairkan es batu di depan kita ini ya, Dokter Ratna?” tambah Herman, dokter spesialis gigi. Keenan membalas ledekan Herman dengan tatapan dingin. Herman hanya tertawa-tawa, semakin senang mengejeknya. Lantas, Keenan-begitu dokter itu disapa, segera bangkit dari duduknya, beranjak pergi dari meja makannya siang ini.
Keenan membenarkan letak dasinya, yang terasa menghimpit lehernya. Sementara beberapa temannya masih sibuk meledeknya. ”Mbak Ratna, kenapa Mbak nggak coba deketin si kulkas itu sih?” bisik Herman pada Ratna saat sedang melanjutkan makannya. Wanita cantik itu mendadak menghentikan suapan makannya, lalu memandang Herman malu-malu.
”Tuh kan... Mbak, jangan nyerah gitu dong. Mbak udah suka selama empat tahun, masa nggak mau berjuang sih? Sekarang itu, udah jamannya emansipasi, Mbak. Nggak usah malu-malu lagi, banyak kok cewek yang nembak duluan. Kalo mikir gitu terus, its so old banget,” ucap Herman panjang lebar.
Dialah yang paling mengerti perasaan Ratna pada Keenan selama empat tahun terakhir ini. Dan.. apalagi profesi keduanya saling berhubungan. Yang satu, dokter kandungan dan yang satu lagi, dokter anak. Kurang cocok apalagi coba? Hanya saja Keenan termasuk cowok yang tidak mudah dijinakkan. Perlu beberapa cara untuk menaklukkan si dokter kulkas tersebut.
Ratna sepertinya harus membenarkan ucapan Herman. Sudah empat tahun terakhir setelah bercerai dengan suaminya, ia tak berniat untuk membina rumah tangga. Namun... sejak pertemuannya dengan Keenan, wanita itu menemukan gairah hidupnya. Meski Keenan bersikap dingin padanya, entah mengapa justru wanita itu tertarik padanya.
Dari beberapa biang-biang gosip di rumah sakit ini, Ratna memang pernah mendengar bahwa Keenan belum bisa move on dari kekasih pertamanya, Feli. Beberapa hari yang lalu... Ratna pernah tak sengaja mengintip Keenan berkunjung ke kamar seorang pasien.
Entah siapa pasien tersebut, namun sepertinya wajah si pasien itu tak begitu asing baginya. Pernah, sekali atau dua kali ia bertemu gadis itu di rumah sakit ini. (bersambung)
Vania M. Bernadette
(ftr)