Dua Pasang Hati
A
A
A
Tapi... bagaimana cara agar cewek itu percaya padanya? Seperti yang sudah, Ardio yang sekarang itu, seperti mengenakan topeng transparan.
Dia bersikap begitu mencintai Echa, sementara pada perempuan lain, dia juga seperti itu. Gila ya! Lara mendesah sebal. Sahabatnya sendiri juga nggak ada bedanya dengan Ardio. Masih terbayang oleh Lara, betapa cowok itu terlihat begitu senang saat si dokter perempuan itu mengamit lengannya, bahkan menyapanya. Sok pahlawan lagi, nonjok Ardio segala!
Pengen banget rasanya, Lara membenturkan dua dahi seluas lapangan bola itu bersamaan. Biarin aja, pada kebuka otaknya! Lara mencari handphone -nya, berniat menghubungi Echa yang katanya lagi asyik mencoba spa khas Bali, di dekat apartemennya. Ya ampun anak ini, coba dia tau kelakuan busuk Ardio, pasti bungabunga spa dan lulurnya pasti dilempar langsung di muka Ardio.
Nggak bisa! Lara udah nggak bisa lagi tahan dengan Ardio yang seperti ingin mengacaukan persahabatan mereka. Jemari gadis itu dengan cepat mengetik nomor Echa, tanpa melihat kontak teleponnya. Sudah hafal, soalnya. Tiba-tiba saja, sebuah suara deritan pintu terdengar dari ruangannya. Siapa sih? Awas aja, kalo sampe Ardio, gue gampar dia pake buku! Pikir Lara, sebab itu dia sudah menyiapkan buku tebal di tangannya.
Alih-alih mau menggebuk mangsanya pakai buku, ia malah mengurungkan niatnya saat tahu siapa yang di hadapannya sekarang. Lara sengaja memandangnya dingin, tanpa mempersilakannya masuk. Pria yang masih mengenakan jas dokternya itu malah lancang masuk ke ruangannya. ”Emangnya ada yang nyuruh lo masuk ke sini?” Cewek itu menyerangnya galak. Tapi yang diserang tidak menanggapi apa-apa, kebiasaan banget.
Bikin gemes nggak nih orang? Dia menatap mata Lara tanpa ekspresi. ”Gue juga nggak mau masuk kalo nggak berkepentingan,” sahutnya datar. ”Udah deh, nggak usah nyolot. Cepetan, gue masih banyak kerjaan,” Lara mulai kepancing emosi. ”Soal Ardio, udah kasih tahu Echa?” tanya cowok itu dengan suara parau. Ternyata si dingin ini, masih punya perasaan, walaupun cuma setitik doang. ”Ini baru mau gue kasih tau. Udah kan itu doang? Sana keluar,” Lara mengusir Keenan mentahmentah.
Setelahnya, cowok itu bener-bener berdiri dan meninggalkan Lara. Melihat cowok itu meninggalkannya, seperti ada suara yang berkata, lo pengen denger sori dari cowok irit ngomong itu kan? Shit ! Lara mengumpat kesal, baru saja kartu matinya ketahuan. Eh, baru saja suara itu bergema dalam hatinya, Keenan menghentikan langkahnya, dan membuka kembali pintu ruangan Lara.
Ekspresi Lara sedikit berubah tenang saat melihat wajah bersih dari kumis Keenan berada di balik pintu. ”Ardio biar gue yang urus. Cukup urus Echa aja.” Seusai berkata seperti itu, dia malah cuek dan pergi dari hadapan Lara. Ia menghela nafas, setelah suara langkah sepatu Keenan seolah menjauh darinya.
Kalo saja tadi masih di situ, pasti ketahuan wajah Lara seperti apa sekarang, memerah kayak kepiting rebus. Bukan merah karena tersipu-sipu, tapi karena gemes banget sama kelakuan Keenan yang oh-so-cold banget itu. Bukan sih sebenernya, mungkin Lara yang terlalu banyak berharap. Yes, you are .
Sepuluh
Lara bersiap-siap pulang, setelah Keenan meninggalkan ruangannya. Dalam hati ia sudah bertekad segera menghubungi Echa, sahabatnya. Lara udah nggak bisa tinggal diam, sikap Ardio padanya memang keterlaluan. Lara nggak mau dong, kalo sahabatnya itu menikah dengan cowok seberengsek Ardio, sebab itu mau nggak mau, Lara harus segera memberitahunya.
Semua lampu ruangan Lara sudah dipadamkan, serta kunci ruangan pun sudah di tangannya. Seusai menutup dan menguncinya, Lara bergegas menuju lobby rumah sakit. Lebih baik sekarang nggak usah pulang sama Keenan deh. Pasti cewek itu ikutan juga, gumam Lara dalam hati. Ia pun mempercepat langkahnya, berniat menghilang dari penglihatan Keenan.
Namun apa daya, ketika gadis cantik itu hendak keluar lobby, samar-samar, Lara mendapati Keenan tengah berbincang dengan Ardio. Batin di dada Lara bergejolak ingin tahu, apa yang tengah mereka bicarakan, apakah... soal kelakuan Ardio barusan? Atau si kulkas itu, minta maaf pada sobatnya, setelah dipukul di depan publik? (bersambung)
Vania M. Bernadette
Dia bersikap begitu mencintai Echa, sementara pada perempuan lain, dia juga seperti itu. Gila ya! Lara mendesah sebal. Sahabatnya sendiri juga nggak ada bedanya dengan Ardio. Masih terbayang oleh Lara, betapa cowok itu terlihat begitu senang saat si dokter perempuan itu mengamit lengannya, bahkan menyapanya. Sok pahlawan lagi, nonjok Ardio segala!
Pengen banget rasanya, Lara membenturkan dua dahi seluas lapangan bola itu bersamaan. Biarin aja, pada kebuka otaknya! Lara mencari handphone -nya, berniat menghubungi Echa yang katanya lagi asyik mencoba spa khas Bali, di dekat apartemennya. Ya ampun anak ini, coba dia tau kelakuan busuk Ardio, pasti bungabunga spa dan lulurnya pasti dilempar langsung di muka Ardio.
Nggak bisa! Lara udah nggak bisa lagi tahan dengan Ardio yang seperti ingin mengacaukan persahabatan mereka. Jemari gadis itu dengan cepat mengetik nomor Echa, tanpa melihat kontak teleponnya. Sudah hafal, soalnya. Tiba-tiba saja, sebuah suara deritan pintu terdengar dari ruangannya. Siapa sih? Awas aja, kalo sampe Ardio, gue gampar dia pake buku! Pikir Lara, sebab itu dia sudah menyiapkan buku tebal di tangannya.
Alih-alih mau menggebuk mangsanya pakai buku, ia malah mengurungkan niatnya saat tahu siapa yang di hadapannya sekarang. Lara sengaja memandangnya dingin, tanpa mempersilakannya masuk. Pria yang masih mengenakan jas dokternya itu malah lancang masuk ke ruangannya. ”Emangnya ada yang nyuruh lo masuk ke sini?” Cewek itu menyerangnya galak. Tapi yang diserang tidak menanggapi apa-apa, kebiasaan banget.
Bikin gemes nggak nih orang? Dia menatap mata Lara tanpa ekspresi. ”Gue juga nggak mau masuk kalo nggak berkepentingan,” sahutnya datar. ”Udah deh, nggak usah nyolot. Cepetan, gue masih banyak kerjaan,” Lara mulai kepancing emosi. ”Soal Ardio, udah kasih tahu Echa?” tanya cowok itu dengan suara parau. Ternyata si dingin ini, masih punya perasaan, walaupun cuma setitik doang. ”Ini baru mau gue kasih tau. Udah kan itu doang? Sana keluar,” Lara mengusir Keenan mentahmentah.
Setelahnya, cowok itu bener-bener berdiri dan meninggalkan Lara. Melihat cowok itu meninggalkannya, seperti ada suara yang berkata, lo pengen denger sori dari cowok irit ngomong itu kan? Shit ! Lara mengumpat kesal, baru saja kartu matinya ketahuan. Eh, baru saja suara itu bergema dalam hatinya, Keenan menghentikan langkahnya, dan membuka kembali pintu ruangan Lara.
Ekspresi Lara sedikit berubah tenang saat melihat wajah bersih dari kumis Keenan berada di balik pintu. ”Ardio biar gue yang urus. Cukup urus Echa aja.” Seusai berkata seperti itu, dia malah cuek dan pergi dari hadapan Lara. Ia menghela nafas, setelah suara langkah sepatu Keenan seolah menjauh darinya.
Kalo saja tadi masih di situ, pasti ketahuan wajah Lara seperti apa sekarang, memerah kayak kepiting rebus. Bukan merah karena tersipu-sipu, tapi karena gemes banget sama kelakuan Keenan yang oh-so-cold banget itu. Bukan sih sebenernya, mungkin Lara yang terlalu banyak berharap. Yes, you are .
Sepuluh
Lara bersiap-siap pulang, setelah Keenan meninggalkan ruangannya. Dalam hati ia sudah bertekad segera menghubungi Echa, sahabatnya. Lara udah nggak bisa tinggal diam, sikap Ardio padanya memang keterlaluan. Lara nggak mau dong, kalo sahabatnya itu menikah dengan cowok seberengsek Ardio, sebab itu mau nggak mau, Lara harus segera memberitahunya.
Semua lampu ruangan Lara sudah dipadamkan, serta kunci ruangan pun sudah di tangannya. Seusai menutup dan menguncinya, Lara bergegas menuju lobby rumah sakit. Lebih baik sekarang nggak usah pulang sama Keenan deh. Pasti cewek itu ikutan juga, gumam Lara dalam hati. Ia pun mempercepat langkahnya, berniat menghilang dari penglihatan Keenan.
Namun apa daya, ketika gadis cantik itu hendak keluar lobby, samar-samar, Lara mendapati Keenan tengah berbincang dengan Ardio. Batin di dada Lara bergejolak ingin tahu, apa yang tengah mereka bicarakan, apakah... soal kelakuan Ardio barusan? Atau si kulkas itu, minta maaf pada sobatnya, setelah dipukul di depan publik? (bersambung)
Vania M. Bernadette
(ftr)