Dua Pasang Hati
A
A
A
Sampe akhirnya, si cowok culun itu memintanya untuk bertemu, namun karena Lara ketakutan dia malah ngajak dua sobatnya, Patrice dan Deana, alhasil ketika mereka sampai di satu restoran, si cowok culun itu malah nggak nongol, dan akhirnya ditinggal pulang oleh Lara dan teman-temannya.
”Did you reminisce someone ?” tanya cowok itu dengan senyum sinisnya. Keenan yang sejak tadi berdiri di belakang Lara, sudah mulai muak dengan kelakuan Ardio yang sangat tak disangkanya ini. Seperti yang diucapkannya, Keenan bener-bener nggak mau ambil pusing soal Lara dan masa lalunya. Dia lebih memilih pergi dari hadapan mereka, namun tiba-tiba tangannya ditahan oleh Lara.
Gadis itu bukan hanya mencengkeramnya, tapi hanya menggenggamnya, kuat-kuat. Mau nggak mau, Keenan harus tetap berada di sana. ”Siapapun elo, Di. Gue mohon jangan sakitin Echa dan jangan rusak persahabatan gue dengan tunangan lo. Inget, Di, inget... Echa sayang dan cinta banget sama lo. Bahkan sebelum lo...” ”Sebelum apa?” balas Ardio, sepasang mata cowok itu seolah ingin memburu Lara, seperti seseorang yang hendak membalaskan dendamnya bertahun-tahun.
”Ng...l-lo jangan salah paham dulu, Di. Gue nggak bilang lo... Awww!” Lara terkejut tiba-tiba saja lengannya ditarik Ardio, lalu ia membanting tubuh Lara ke dinding, dan tangan kirinya bertumpu pada dinding. Tatapan mata itu... Lara seolah mendapat clue siapa cowok ini sebenernya. Dia...Aryo Dimas Octavianus? Lara merasakan tubuh cowok itu tak lagi berada di depannya.
Saat itu Lara sudah nggak punya kekuatan lagi melanjutkan memorinya soal Ardio. Dan tiba-tiba, ia mendengar suara keras sebuah pukulan yang diarahkan pada Ardio. Lara membuka matanya perlahan, Ardio tersungkur, sementara tangan Keenan mempererat genggaman tangannya dengan Lara, ia tahu betul sisi kelemahan Lara, karena dapat dirasakan ujungujung jemari dan bukubukunya sudah gemetaran.
”Kita pergi dari sini.” Suara dingin yang terdengar lembut di telinga Lara itu, membawanya masuk pada perasaan damai dan tenang. Hes my sanctuary , gumam Lara dalam hati. Keenan dan Lara meninggalkan Ardio yang masih terduduk di bangku lobbynya, memegangi rahangnya yang mulai membiru akibat ditonjok Keenan dua kali.
Ketika Keenan dan Lara sudah berada di mobil, tak sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Berbagai pertanyaan dari kejanggalan kejanggalan perilaku Ardio kini mulai bersarang di kepalanya, terlalu banyak hal-hal yang tak dapat diterima akal sehatnya. Ardio yang semula bersikap baik pada Lara, kini berubah seperti bumerang yang siap menghancurkan persahabatannya dengan Echa.
Sementara dokter kandungan di samping Lara itu, masih berusaha menebak teka-teki yang diberikan Ardio, mengenai siapa cowok itu sebenarnya. Meski di awal dia tak peduli, Echa juga salah satu teman terbaik Keenan, pria itu tidak mungkin membiarkan sobatnya sendiri berada di keadaan bahaya.
Keenan tak habis pikir, mengapa Ardio begitu tega menyakiti hati tunangannya sendiri, padahal ia tahu betul Echa sangat mencintai lelaki yang setahun lebih tua darinya ini. Ardio seolah benar-benar ingin menghancurkan persahabatan Echa dengan Lara. ”Nan, gue harus gimana dong...” suara lirih Lara, mulai membuka perbincangan mereka.
”Mau nggak mau lo harus jujur, apapun kenyataannya. Kalo lo simpen terus, semuanya bakal makin berbahaya.” ”Terus, kalo mereka nggak jadi nikah, gimana?” Perasaan Lara mulai getir. ”Emangnya lo mau, temen baik lo itu nikah sama that asshole kayak Ardio?” Keenan menyerangnya balik. ”But I know, she loves him so much ...
Nggak sanggup gue kalo Echa harus gagal lagi, dan Ardio-lah yang paling dia cintai dari yang sebelumsebelumnya.” Keenan meliriknya datar, ”So what ? Lebih baik dia gagal, daripada nikah sama orang nggak bener. Make sense ?” Lara mendesah, baginya cukup sulit untuk memberitahukan kebenarannya, sebab dia tahu betul Echa sangat tidak mudah jatuh cinta sama laki-laki, apalagi kalo udah lose trust , akan sulit untuk Echa buat nerima yang baru.
Lara menangkupkan wajahnya dengan telapak tangan, kehabisan akal harus gimana menghadapi Echa. Padahal baru beberapa hari lalu, Echa menerima sebuah kalung buatan Swarovski yang harganya selangit sebagai anniversary present -nya. Ampun... (bersambung)
Vania M. Bernadette
”Did you reminisce someone ?” tanya cowok itu dengan senyum sinisnya. Keenan yang sejak tadi berdiri di belakang Lara, sudah mulai muak dengan kelakuan Ardio yang sangat tak disangkanya ini. Seperti yang diucapkannya, Keenan bener-bener nggak mau ambil pusing soal Lara dan masa lalunya. Dia lebih memilih pergi dari hadapan mereka, namun tiba-tiba tangannya ditahan oleh Lara.
Gadis itu bukan hanya mencengkeramnya, tapi hanya menggenggamnya, kuat-kuat. Mau nggak mau, Keenan harus tetap berada di sana. ”Siapapun elo, Di. Gue mohon jangan sakitin Echa dan jangan rusak persahabatan gue dengan tunangan lo. Inget, Di, inget... Echa sayang dan cinta banget sama lo. Bahkan sebelum lo...” ”Sebelum apa?” balas Ardio, sepasang mata cowok itu seolah ingin memburu Lara, seperti seseorang yang hendak membalaskan dendamnya bertahun-tahun.
”Ng...l-lo jangan salah paham dulu, Di. Gue nggak bilang lo... Awww!” Lara terkejut tiba-tiba saja lengannya ditarik Ardio, lalu ia membanting tubuh Lara ke dinding, dan tangan kirinya bertumpu pada dinding. Tatapan mata itu... Lara seolah mendapat clue siapa cowok ini sebenernya. Dia...Aryo Dimas Octavianus? Lara merasakan tubuh cowok itu tak lagi berada di depannya.
Saat itu Lara sudah nggak punya kekuatan lagi melanjutkan memorinya soal Ardio. Dan tiba-tiba, ia mendengar suara keras sebuah pukulan yang diarahkan pada Ardio. Lara membuka matanya perlahan, Ardio tersungkur, sementara tangan Keenan mempererat genggaman tangannya dengan Lara, ia tahu betul sisi kelemahan Lara, karena dapat dirasakan ujungujung jemari dan bukubukunya sudah gemetaran.
”Kita pergi dari sini.” Suara dingin yang terdengar lembut di telinga Lara itu, membawanya masuk pada perasaan damai dan tenang. Hes my sanctuary , gumam Lara dalam hati. Keenan dan Lara meninggalkan Ardio yang masih terduduk di bangku lobbynya, memegangi rahangnya yang mulai membiru akibat ditonjok Keenan dua kali.
Ketika Keenan dan Lara sudah berada di mobil, tak sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Berbagai pertanyaan dari kejanggalan kejanggalan perilaku Ardio kini mulai bersarang di kepalanya, terlalu banyak hal-hal yang tak dapat diterima akal sehatnya. Ardio yang semula bersikap baik pada Lara, kini berubah seperti bumerang yang siap menghancurkan persahabatannya dengan Echa.
Sementara dokter kandungan di samping Lara itu, masih berusaha menebak teka-teki yang diberikan Ardio, mengenai siapa cowok itu sebenarnya. Meski di awal dia tak peduli, Echa juga salah satu teman terbaik Keenan, pria itu tidak mungkin membiarkan sobatnya sendiri berada di keadaan bahaya.
Keenan tak habis pikir, mengapa Ardio begitu tega menyakiti hati tunangannya sendiri, padahal ia tahu betul Echa sangat mencintai lelaki yang setahun lebih tua darinya ini. Ardio seolah benar-benar ingin menghancurkan persahabatan Echa dengan Lara. ”Nan, gue harus gimana dong...” suara lirih Lara, mulai membuka perbincangan mereka.
”Mau nggak mau lo harus jujur, apapun kenyataannya. Kalo lo simpen terus, semuanya bakal makin berbahaya.” ”Terus, kalo mereka nggak jadi nikah, gimana?” Perasaan Lara mulai getir. ”Emangnya lo mau, temen baik lo itu nikah sama that asshole kayak Ardio?” Keenan menyerangnya balik. ”But I know, she loves him so much ...
Nggak sanggup gue kalo Echa harus gagal lagi, dan Ardio-lah yang paling dia cintai dari yang sebelumsebelumnya.” Keenan meliriknya datar, ”So what ? Lebih baik dia gagal, daripada nikah sama orang nggak bener. Make sense ?” Lara mendesah, baginya cukup sulit untuk memberitahukan kebenarannya, sebab dia tahu betul Echa sangat tidak mudah jatuh cinta sama laki-laki, apalagi kalo udah lose trust , akan sulit untuk Echa buat nerima yang baru.
Lara menangkupkan wajahnya dengan telapak tangan, kehabisan akal harus gimana menghadapi Echa. Padahal baru beberapa hari lalu, Echa menerima sebuah kalung buatan Swarovski yang harganya selangit sebagai anniversary present -nya. Ampun... (bersambung)
Vania M. Bernadette
(ftr)