Dua Pasang Hati
A
A
A
”Jangan kebiasaan hadepin masalah apa-apa nangis, ya,” tegas Keenan, tapi buat Lara, perkataan Keenan itu lebih terdengar kayak omelan. Lara melepaskan tangkupan wajahnya.
”Siapa sih yang nangis? Gue juga lagi mikir, gimana nyampein ke Echanya. Malah diomelin,” Lara menggerutu. ”Maaf, gue pikir lo belum berubah,” balas Keenan. Lara sedikit terkejut mendengar kata maaf dari bibir si irit ngomong itu. Ia tidak membalas komentar Keenan. ”Eh, lo marah sama gue barusan gara-gara gue ngomong kayak tadi?”
Suara Keenan malah terdengar panik, Lara jadi ketawa dalam hati, makanya jangan galak-galak jadi orang. Baru tahu kan, kalo gue diem gimana rasanya? ”Nggak marah. Cuma lagi mikir aja gimana cara nyampein supaya Echa nggak sedih, dan percaya sama gue.” Gantian Keenan yang memandang Lara, ”Sedih itu pasti. Tapi lebih baik, daripada dia seumur hidup sama orang yang salah.”
Lara terdiam sejenak, betul juga nih kata Keenan. Keadaan paling sulit yang harus dihadapi manusia, emang cuma satu: lari dari kenyataan. Bakar kalori sih enggak, tapi sakitnya itu... jauh lebih parah daripada orang yang habis lari-lari di treadmill satu setengah jam. ”Ngomong ya tinggal ngomong aja kok, gitu aja lo bingung,” kata Keenan lagi.
Ini orang ya, kadar cueknya lebih parah dari cowok manapun. Mana heartless juga lagi, dia nggak tahu apa kalo perempuan itu sensitifnya nggak kira-kira? ”Intinya, lo ngomong apa adanya aja soal Ardio. Kalian kan sahabatan, harusnya nggak boleh ada rahasiarahasiaan dong? So ya, you have to open her mind up soal Ardio. Sakit pasti, tapi ya itu kenyataan yang harus diterima,” Keenan lagi-lagi memberi masukan. Ini nih, yang dari dulu buat Lara jatuh cinta banget sama Keenan.
Dia memang terlihat cuek, dingin, expressionless , tapi ketika ada masalah seperti ini, semua penjelasan dan cara penyelesaian masalah Keenan sangat membantu. As expected as a doctor , nggak cuma jago ngubek-ngubek perut orang, tapi juga pikiran Lara yang sedari tadi buntu gara-gara masalah Echa dan Ardio. ”Hmm, Ra. Tapi lo aneh nggak sih, kenapa Ardio baru bilang semuanya sekarang?” ”Iya, Nan.
Thats the most weird. Kenapa nggak dari dulu-dulu aja, jauh sebelum mereka berdua pacaran?” ”Gue rasa ada motif lain yang pengen dilakukan Ardio deh. Nggak cuma hancurin persahabatan lo dan Echa. But I cant define what is it gitu.” Otak encer Keenan mulai mencium kejanggalan dengan masalah Ardio. ”I dont know -lah, Nan. Yang gue pikirin, gue harus ngomong semua ini ke Echa. Bener kata lo...” ”Punya roti nggak lo?”
Lara terperanjat, dalam hati dia mencibir kesenangan, kemaren aja lo nggak mau, sekarang aja minta. Gengsinya tinggi sih... ”Nggak ada, Nan. Lagi nggak beli tadi. Masih kenyang,” balas Lara. Iya kenyang liat Keenan digandeng dokter cantik, ya kan? Suara racun itu melingkupi benak Lara. Perasaannya langsung panas, saat disinggungsinggung soal tadi.
Keenan tiba-tiba membelokkan mobilnya ke kanan jalan, terdapat banyak warung kaki lima yang menyajikan santap malam sederhana. Lara sempat terkejut saat tiba-tiba Keenan membelokkan mobilnya, namun seturut kemudian dia menunjukkan wajah meringisnya pada Lara karena kelaperan, yang menurut cewek itu.... quite cute though, untuk ukuran cowok berwajah ketat macem Keenan.
”Gue laper banget, di depan sana ada warung nasi goreng. Nggak apaapa, kan?” tanya cowok itu berikutnya. Lara menganggukkan kepalanya, lalu tersenyum diamdiam, saat menyadari kelakuan Keenan yang belum berubah sejak sembilan tahun lalu. Pasalnya dulu, setiap melihat warung nasi goreng di pinggir jalan, Keenan tak segan menghentikan motornya (dulu dia belum pake mobil) dan makan di sana.
”Nggak pa-pa. Kalo laper ya makan aja,” ucap Lara seraya melepas safety belt -nya, lalu mengikuti Keenan yang sudah lebih dulu keluar dari mobil. Lara membiarkan angin malam membelai wajahnya dengan hangat, dan meniup rambutnya yang hari ini dibiarkan tergerai, sementara Keenan-as usual, selalu jalan di depan Lara lebih cepat, apalagi kalo dia udah kelaperan begini- mau Miss Universe lewat di depannya pun, pasti matanya nggak bakal lepas dari banner kusam yang bertuliskan WARUNG NASI GORENG BU JUM itu.
Pria bertubuh tinggi ini rupanya belum berubah, tetap cuek dan nggak peduli sekitarnya, apalagi kalo udah menyangkut urusan perut. (bersambung)
Vania M. Bernadette
”Siapa sih yang nangis? Gue juga lagi mikir, gimana nyampein ke Echanya. Malah diomelin,” Lara menggerutu. ”Maaf, gue pikir lo belum berubah,” balas Keenan. Lara sedikit terkejut mendengar kata maaf dari bibir si irit ngomong itu. Ia tidak membalas komentar Keenan. ”Eh, lo marah sama gue barusan gara-gara gue ngomong kayak tadi?”
Suara Keenan malah terdengar panik, Lara jadi ketawa dalam hati, makanya jangan galak-galak jadi orang. Baru tahu kan, kalo gue diem gimana rasanya? ”Nggak marah. Cuma lagi mikir aja gimana cara nyampein supaya Echa nggak sedih, dan percaya sama gue.” Gantian Keenan yang memandang Lara, ”Sedih itu pasti. Tapi lebih baik, daripada dia seumur hidup sama orang yang salah.”
Lara terdiam sejenak, betul juga nih kata Keenan. Keadaan paling sulit yang harus dihadapi manusia, emang cuma satu: lari dari kenyataan. Bakar kalori sih enggak, tapi sakitnya itu... jauh lebih parah daripada orang yang habis lari-lari di treadmill satu setengah jam. ”Ngomong ya tinggal ngomong aja kok, gitu aja lo bingung,” kata Keenan lagi.
Ini orang ya, kadar cueknya lebih parah dari cowok manapun. Mana heartless juga lagi, dia nggak tahu apa kalo perempuan itu sensitifnya nggak kira-kira? ”Intinya, lo ngomong apa adanya aja soal Ardio. Kalian kan sahabatan, harusnya nggak boleh ada rahasiarahasiaan dong? So ya, you have to open her mind up soal Ardio. Sakit pasti, tapi ya itu kenyataan yang harus diterima,” Keenan lagi-lagi memberi masukan. Ini nih, yang dari dulu buat Lara jatuh cinta banget sama Keenan.
Dia memang terlihat cuek, dingin, expressionless , tapi ketika ada masalah seperti ini, semua penjelasan dan cara penyelesaian masalah Keenan sangat membantu. As expected as a doctor , nggak cuma jago ngubek-ngubek perut orang, tapi juga pikiran Lara yang sedari tadi buntu gara-gara masalah Echa dan Ardio. ”Hmm, Ra. Tapi lo aneh nggak sih, kenapa Ardio baru bilang semuanya sekarang?” ”Iya, Nan.
Thats the most weird. Kenapa nggak dari dulu-dulu aja, jauh sebelum mereka berdua pacaran?” ”Gue rasa ada motif lain yang pengen dilakukan Ardio deh. Nggak cuma hancurin persahabatan lo dan Echa. But I cant define what is it gitu.” Otak encer Keenan mulai mencium kejanggalan dengan masalah Ardio. ”I dont know -lah, Nan. Yang gue pikirin, gue harus ngomong semua ini ke Echa. Bener kata lo...” ”Punya roti nggak lo?”
Lara terperanjat, dalam hati dia mencibir kesenangan, kemaren aja lo nggak mau, sekarang aja minta. Gengsinya tinggi sih... ”Nggak ada, Nan. Lagi nggak beli tadi. Masih kenyang,” balas Lara. Iya kenyang liat Keenan digandeng dokter cantik, ya kan? Suara racun itu melingkupi benak Lara. Perasaannya langsung panas, saat disinggungsinggung soal tadi.
Keenan tiba-tiba membelokkan mobilnya ke kanan jalan, terdapat banyak warung kaki lima yang menyajikan santap malam sederhana. Lara sempat terkejut saat tiba-tiba Keenan membelokkan mobilnya, namun seturut kemudian dia menunjukkan wajah meringisnya pada Lara karena kelaperan, yang menurut cewek itu.... quite cute though, untuk ukuran cowok berwajah ketat macem Keenan.
”Gue laper banget, di depan sana ada warung nasi goreng. Nggak apaapa, kan?” tanya cowok itu berikutnya. Lara menganggukkan kepalanya, lalu tersenyum diamdiam, saat menyadari kelakuan Keenan yang belum berubah sejak sembilan tahun lalu. Pasalnya dulu, setiap melihat warung nasi goreng di pinggir jalan, Keenan tak segan menghentikan motornya (dulu dia belum pake mobil) dan makan di sana.
”Nggak pa-pa. Kalo laper ya makan aja,” ucap Lara seraya melepas safety belt -nya, lalu mengikuti Keenan yang sudah lebih dulu keluar dari mobil. Lara membiarkan angin malam membelai wajahnya dengan hangat, dan meniup rambutnya yang hari ini dibiarkan tergerai, sementara Keenan-as usual, selalu jalan di depan Lara lebih cepat, apalagi kalo dia udah kelaperan begini- mau Miss Universe lewat di depannya pun, pasti matanya nggak bakal lepas dari banner kusam yang bertuliskan WARUNG NASI GORENG BU JUM itu.
Pria bertubuh tinggi ini rupanya belum berubah, tetap cuek dan nggak peduli sekitarnya, apalagi kalo udah menyangkut urusan perut. (bersambung)
Vania M. Bernadette
(ftr)