Dua Pasang Hati
A
A
A
Cowok itu kembali menyunggingkan senyumnya, ”Karena dia... udah mulai nunjukin seberapa egoisnya dia sama temen kamu itu. Nggak apa-apa deh, aku bonyok- bonyok begini.”
Gadis cantik di sampingnya itu menyentuh beberapa memar yang masih membekas di pipinya, kemudian menciumnya dengan lembut. Cowok itu menangkup wajah gadisnya dalam pelukan hangatnya, lalu bermain dengan riak rambut halus cewek itu. ”You know, the best part of this game ?” ujar cowok itu sambil menatap kekasihnya dengan bersinar-sinar.
”What is it ?” ”That guy has finally returned to his life, without doubt .” ”Maksud kamu... dia udah kembali jadi dirinya sendiri?” Cowok itu mengangguk. ”Tapi, Yang... mau sampe kapan kita kayak gini terus? Aku kasian sama temenku, nggak tega juga jadinya...” Cowok itu membelai lembut wajah gadis itu.
”Ini semua kan rencana kamu, ya harus diselesaikan sampe akhir, dong. Nggak seru, kalo cuma di tengah-tengah doang.” Kekasihnya itumenowelhidung mancungcowoknya.”Kamuituya, selalubisanyenenginaku! Ilove you , Sayang.” Dan mereka berciuman, meski handphone cewek itu berdering sejak tadi.
”Ah, Echaaaaaa! Kemana sih nih anak, gue udah cariin dari tadi sampe ke tempat biasa dia nenangin diri juga enggak ada. Ih, buset deh ngeselin amat!” Lara mulai putus asa. Ia sengaja membuka kaca mobilnya, membiarkan angin sejuk membelai wajahnya. Ia menyenderkan kursi mobil, lalu memejamkan matanya sebentar, rehat sejenak dari masalah yang belakangan mengganggu pikirannya.
Ia sejujurnya tak paham, kenapa sahabatnya itu malah berpihak pada orang yang jelas-jelas akan menyakiti hatinya. Lagi pula, maksud Lara kan baik, hanya tidak ingin Echa memilih orang yang salah. Lagi-lagi, pertahanan dalam diri Lara goyah, baru saja dia menangis karena ia merasa dirinya adalah orang paling jahat sedunia, kalau membiarkan Echa benar-benar menikah dengan lelaki macam Ardio.
Sebagai sahabat, Lara nggak akan pernah memaafkan cowok itu sama sekali, kalo sampe sekali aja... Ardio menjatuhkan air mata Echa, Lara nggak akan segan menonjok muka cowok itu sampe memar, bahkan lebih parah dari tonjokan Keenan! Gadis itu kembali menegakkan kursi sandarannya, lalu menangkupkan wajahnya pada setir mobil.
Tok! Tok! Tok! Sebuah suara ketukan keras mengagetkan Lara. ”Ah... siapa sih!!!!!” Lara berteriak kesal. ”Keluar,” pinta seorang cowok berjas dokter, lengkap dengan badge -nya. Cowok itu menatap Lara dengan wajah seriusnya. ”Keluar!” teriaknya sekali lagi. ”Nggak mau,” Lara menolak, dan hendak menutup jendela mobilnya namun sebelumnya cowok itu sepertinya nggak mau ngerti, dia dengan paksa membuka pintu Lara dari dalam, karena jendela mobilnya dibuka.
”Kenapa sih, Nan! Demen banget ganggu orang lagi istirahat,” Lara menggerutu kesal. ”Bedanya apa sama lo? Bisanya bikin orang khawatir aja.” ”Yang nyuruh khawatirin gue siapa, sih?” balas Lara nggak mau kalah. Keenan berdeham, melirik ke arah lain. Sebenarnya, dia kehabisan kata-kata saat Lara berargumen dengannya.
”Echa udah angkat telepon lo?” Keenan mengalihkan pembicaraan, kemudian duduk di sebuah bangku. ”Belum. Lagian ngapain sih lo ke sini segala? Katanya, hari Sabtu kerja,” sindir Lara. ”Kalo nggak mau bantu ya mending nggak usah, daripada muka lo mengkerut gitu.” Keenan menolehkan kepalanya pada Lara, setelah meneguk sekaleng kecil kopi instannya.
”Duduk,” pintanya sambil mengetukkan jari pada kursi di sampingnya. Namun Lara masih bersikeras, ia tetap berdiri saja. ”Lo denger nggak sih gue ngomong apa?” ucap cowok itu, mulai naik darah. ”Apa sih, Nan?! Gue nggak mau duduk, kenapa sih gitu aja ngomelngomel!” Cowok itu lantas bangkit berdiri, menarik lengan Lara dengan paksa hingga ia duduk di sampingnya.
Sikap membingungkan Lara ini tentu saja dapat terbaca sekilas oleh Keenan. Gadis itu terlihat begitu sedih karena Echa mengabaikannya, dan kehabisan ide untuk menerangkan duduk permasalahannya. Entah mengapa Lara jadi begitu kesal setelah Keenan membentak-bentaknya barusan. Ia merasa dirinya ini begitu lemah, selalu bergantung pada cowok itu.
Tidak bisakah ia menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa melibatkan Keenan di sisinya? Lalu, kenapa juga Keenan harus bersikap seolah peduli terhadapnya, padahal jelas-jelas kemarin... cowok itu kembali dingin padanya, setelah menciumnya. Sikap Keenan ini justru mempersulit Lara untuk melarikan diri dari cowok itu. Bisakah dia tidak mempermainkan perasaan Lara lagi? (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
Gadis cantik di sampingnya itu menyentuh beberapa memar yang masih membekas di pipinya, kemudian menciumnya dengan lembut. Cowok itu menangkup wajah gadisnya dalam pelukan hangatnya, lalu bermain dengan riak rambut halus cewek itu. ”You know, the best part of this game ?” ujar cowok itu sambil menatap kekasihnya dengan bersinar-sinar.
”What is it ?” ”That guy has finally returned to his life, without doubt .” ”Maksud kamu... dia udah kembali jadi dirinya sendiri?” Cowok itu mengangguk. ”Tapi, Yang... mau sampe kapan kita kayak gini terus? Aku kasian sama temenku, nggak tega juga jadinya...” Cowok itu membelai lembut wajah gadis itu.
”Ini semua kan rencana kamu, ya harus diselesaikan sampe akhir, dong. Nggak seru, kalo cuma di tengah-tengah doang.” Kekasihnya itumenowelhidung mancungcowoknya.”Kamuituya, selalubisanyenenginaku! Ilove you , Sayang.” Dan mereka berciuman, meski handphone cewek itu berdering sejak tadi.
”Ah, Echaaaaaa! Kemana sih nih anak, gue udah cariin dari tadi sampe ke tempat biasa dia nenangin diri juga enggak ada. Ih, buset deh ngeselin amat!” Lara mulai putus asa. Ia sengaja membuka kaca mobilnya, membiarkan angin sejuk membelai wajahnya. Ia menyenderkan kursi mobil, lalu memejamkan matanya sebentar, rehat sejenak dari masalah yang belakangan mengganggu pikirannya.
Ia sejujurnya tak paham, kenapa sahabatnya itu malah berpihak pada orang yang jelas-jelas akan menyakiti hatinya. Lagi pula, maksud Lara kan baik, hanya tidak ingin Echa memilih orang yang salah. Lagi-lagi, pertahanan dalam diri Lara goyah, baru saja dia menangis karena ia merasa dirinya adalah orang paling jahat sedunia, kalau membiarkan Echa benar-benar menikah dengan lelaki macam Ardio.
Sebagai sahabat, Lara nggak akan pernah memaafkan cowok itu sama sekali, kalo sampe sekali aja... Ardio menjatuhkan air mata Echa, Lara nggak akan segan menonjok muka cowok itu sampe memar, bahkan lebih parah dari tonjokan Keenan! Gadis itu kembali menegakkan kursi sandarannya, lalu menangkupkan wajahnya pada setir mobil.
Tok! Tok! Tok! Sebuah suara ketukan keras mengagetkan Lara. ”Ah... siapa sih!!!!!” Lara berteriak kesal. ”Keluar,” pinta seorang cowok berjas dokter, lengkap dengan badge -nya. Cowok itu menatap Lara dengan wajah seriusnya. ”Keluar!” teriaknya sekali lagi. ”Nggak mau,” Lara menolak, dan hendak menutup jendela mobilnya namun sebelumnya cowok itu sepertinya nggak mau ngerti, dia dengan paksa membuka pintu Lara dari dalam, karena jendela mobilnya dibuka.
”Kenapa sih, Nan! Demen banget ganggu orang lagi istirahat,” Lara menggerutu kesal. ”Bedanya apa sama lo? Bisanya bikin orang khawatir aja.” ”Yang nyuruh khawatirin gue siapa, sih?” balas Lara nggak mau kalah. Keenan berdeham, melirik ke arah lain. Sebenarnya, dia kehabisan kata-kata saat Lara berargumen dengannya.
”Echa udah angkat telepon lo?” Keenan mengalihkan pembicaraan, kemudian duduk di sebuah bangku. ”Belum. Lagian ngapain sih lo ke sini segala? Katanya, hari Sabtu kerja,” sindir Lara. ”Kalo nggak mau bantu ya mending nggak usah, daripada muka lo mengkerut gitu.” Keenan menolehkan kepalanya pada Lara, setelah meneguk sekaleng kecil kopi instannya.
”Duduk,” pintanya sambil mengetukkan jari pada kursi di sampingnya. Namun Lara masih bersikeras, ia tetap berdiri saja. ”Lo denger nggak sih gue ngomong apa?” ucap cowok itu, mulai naik darah. ”Apa sih, Nan?! Gue nggak mau duduk, kenapa sih gitu aja ngomelngomel!” Cowok itu lantas bangkit berdiri, menarik lengan Lara dengan paksa hingga ia duduk di sampingnya.
Sikap membingungkan Lara ini tentu saja dapat terbaca sekilas oleh Keenan. Gadis itu terlihat begitu sedih karena Echa mengabaikannya, dan kehabisan ide untuk menerangkan duduk permasalahannya. Entah mengapa Lara jadi begitu kesal setelah Keenan membentak-bentaknya barusan. Ia merasa dirinya ini begitu lemah, selalu bergantung pada cowok itu.
Tidak bisakah ia menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa melibatkan Keenan di sisinya? Lalu, kenapa juga Keenan harus bersikap seolah peduli terhadapnya, padahal jelas-jelas kemarin... cowok itu kembali dingin padanya, setelah menciumnya. Sikap Keenan ini justru mempersulit Lara untuk melarikan diri dari cowok itu. Bisakah dia tidak mempermainkan perasaan Lara lagi? (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
(bbg)