Dua Pasang Hati

Sabtu, 25 Juli 2015 - 10:39 WIB
Dua Pasang Hati
Dua Pasang Hati
A A A
Sang adik yang berbeda tujuh tahun lebih muda darinya itu hanya membalas kakaknya dengan senyum juga. Selanjutnya kedua kakak-beradik itu larut dalam gadget -nya masingmasing.

Diam-diam, meski tak saling bicara, si sulung memerhatikan ada yang berbeda dari sang adik. Dia, tak biasanya menepati janjinya, selalu pulang lewat dari jam yang ditentukan. Tapi kali ini, adik lakilakinya ini malah tepat berada di rumah, sesuai jam yang ditentukan. ”Tumben lo on time , Dek,” gumam sang kakak, begitu si adik lepas dari gadget -nya. ”Oh, enggak lagi banyak kerjaan.

Ya langsung pulang, kata lo mau makan malam bareng,” sahut si bungsu dengan nada datar. Selanjutnya mereka berdua... kembali makan, dan hanya suara dentingan sendok, garpu yang memenuhi ruang makan mereka. Sang pembantu dari kejauhan hanya bisa memandang anak-anak majikannya dengan sedih, tidak menyangka setelah ditinggal bertahun-tahun oleh majikan perempuannya, keluarga ini tak sehangat dulu.

”Kak, sekarang lo punya cewek?” tanya sang adik tiba-tiba. Jarangjarang lho, si adik ini peduli tentang kehidupan pribadi sang kakak. Sang kakak hanya menatap adiknya dingin, ”Belum. Emangnya lo udah ada di States?” Si bungsu hanya mengangkat bahunya. Seolah memberi jawaban yang menggantung. Begitulah, kirakira kehidupan mereka berdua, serumah tapi tak saling bicara.

Meski keduanya dilahirkan dari rahim yang sama, tak sama sekali keduanya terlihat saling menyayangi. ”Betah tinggal di Jakarta?” tanya sang kakak selanjutnya. ”Lumayan.” ”Bagus deh.” ”Kemarin sebelum gue ke sini, gue ketemu sama Diandra dan Gladys. Mereka berdua titip salam buat lo.” Sang kakak hanya bungkam dan tak merespons.

”Kak, lo masih cinta sama Feli ya?” tanya sang adik lagi. Kali ini, entah kenapa si sulung langsung kehilangan selera makan, ketika mendengar nama itu. Ia melipat garpu dan sendoknya, mengumur air putih dan menelannya bulatbulat. Sejurus kemudian sang kakak beranjak dari kursinya lalu meninggalkan sang adik makan sendirian.

Si bungsu hanya bisa menghela nafas pasrah, sesaat manusia berhati dingin itu sama sekali tak merespons pertanyaannya. Dari situ pun, sang adik langsung tahu apa jawaban kakaknya. Dia kemudian mengangkat bahu pada sang pembantu yang prihatin melihat keadaan kakaknya. Cowok itu mengerti betul jika sang kakak paling tidak suka jika masa lalunya diungkit. Tetapi apakah salah jika sang adik hanya berusaha peduli pada kakaknya yang seolah bungkam dan menjauh dari keluarga?

Si adik hanya bisa menghela napas kembali, menggaruk kepalanya yang tidak terlalu gatal. Dan mencoba pasrah dengan kelakuan dingin sang kakak. Kalo dia gitu terus sampe tua, gimana dia punya istri ntar? Begitu pemikiran sang adik, menyadari sikap dingin nan arogan dibalik tubuh tinggi sang kakak.

Lara mengeluarkan seluruh isi tasnya ke kasur, demi mencari secarik kupon Chatime buy one get one free yang tadi dilemparnya begitu saja, seusai pulang kerja. Rencananya esok siang, Lara akan menggunakan kupon tersebut untuk mendapatkan satu minuman gratis dari Chatime.

Emang agak norak sih, demi minum gratis aja, sampe segitunya. Tapi... kalo nggak sekarang, kapan lagi? Alih-alih menemukan kupon Chatime tersebut, Lara malah menemukan jam tangan milik seseorang yang ditemukannya di kasur, saat penyakit lamanya kambuh beberapa waktu lalu. Sudah lewat beberapa hari, Lara belum sempat kembali ke rumah sakit untuk mengembalikannya.

Namun anehnya, sang pemilik jam tangan mahal ini, sama sekali nggak mencarinya. Lara nggak mungkin kan menyimpannya terus menerus? Tapi, untuk sementara karena Lara belum sempat ke rumah sakit, ada baiknya jam tangan tersebut disimpannya dulu di atas lemari kayu berukir naga di dekat ruang tamunya. Gadis itu pun masuk ke kamarnya, merebahkan dirinya di ranjang berwarna biru laut, kesukaannya.

Tumben, biasanya kalo ketemu kasur, mata gadis itu langsung menutup, tapi kali ini nggak sama sekali. Biarpun dia sudah tak lagi bekerja untuk RS Harapan Bangsa, tetap saja pikirannya tak jauh-jauh soal Keenan-Ardio dan Echa, yang sejak kemarin tak menggubris chatnya. Jauh dalam hatinya, ia begitu merindukan kedua sahabatnya itu yang biasanya menjadi obat penghibur Lara, jika ia sedang murung.

Kali ini, mereka benar-benar menjauhinya. Belum lagi, perasaan Lara yang ingin terlepas dari Keenan, namun ada sesuatu yang menahannya untuk melakukan itu. (bersambung)

Vania M. Bernadette
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7471 seconds (0.1#10.140)