Dua Pasang Hati

Sabtu, 08 Agustus 2015 - 10:59 WIB
Dua Pasang Hati
Dua Pasang Hati
A A A
Seluruh tenaganya habis karena menangis semalaman, hingga tak sadarkan diri tertidur di ruang tamu. Ketika pagi menjelang, Echa baru sempat menjenguk Lara di rumahnya.

Semalam tadi, dari suara parau Lara, tampaknya sahabatnya ini sedang menghadapi masalah besar. Ada apa ya? Pikir Echa, saat ia memarkirkan mobilnya di depan rumah Lara. Jangan-jangan… liat Keenan dicium lagi sama perempuan itu! Imbuhnya dalam hati. Pelan-pelan Echa membuka pintu rumah Lara.

Ia begitu terkejut saat melihat banyaknya minum berserakan di meja depan; tas kerja Lara yang terlempar hingga ke lantai rumahnya. Dan yang paling mengagetkan, Echa menemukan Lara tertidur di sofa rumahnya masih lengkap dengan pakaian kantornya. “Ra, Lara. Oi, bangun, Ra. Bangun…” Echa menepuk pelan pipi Lara.

Gadis itu masih saja tak menggubris Echa sama sekali. Aduh, jangan-jangan nih anak kenapa-napa lagi, Echa mulai khawatir. “Lara, bangun! Oi, bangun dong… jangan bikin gue panik gini,” isak Echa, mulai benar-benar ketakutan jika sesuatu terjadi pada sahabatnya.

Tiba-tiba Lara bangun terduduk, mengagetkan Echa saja. “Astaga, Ra! Lo ya, bener-bener, deh. Bikin jantung gue copot aja sih. Dibangunin nggak bangun-bangun.” Tanpa ampun, Echa mengomeli Lara.

Perempuan cantik itu mengamati wajah Lara, matanya bengkak karena menangis semalaman. “Lo… marahan lagi sama Keenan cuma gara-gara salah kirim gambar?” terka Echa. Lara menggeleng lemah, masih tak menoleh pada Echa. “Lo… diapa-apain sama brondong lo, karena lo nolak cintanya?” Lara memandang Echa kali ini, tatapannya langsung sebel, begitu Echa menerka masalahnya.

Echa mengangkat bahunya pasrah, “Ini bukan, itu bukan. Terus apaan dong, Ra?” “Cha… Gavin… Keenan…” Gadis itu mulai menangis. “Kenapa sama mereka berdua? Ngapa-ngapain lo semalem?” Echa mulai terpancing emosi sedikit.

Lara menunduk lemas, membenamkan wajahnya pada dengkulnya yang terlipat, “Mereka… kakak-adik, Cha. Sodara sekandung…” Echa yang gantian bungkam, menatap Lara bingung. Meski dalam hati ia merasa iba pada sobatnya ini, “Serius lo, Ra? Lo kayak gini gara-gara nangisin mereka berdua?” Lara mengangguk.

“Gue… tadi malem diajak makan sama Gavin di rumahnya, tiba-tiba Keenan dateng… dan mukanya kayak nggak suka banget kalo gue di sana. Dia marah banget sama gue, kayaknya, Cha. Gue mesti gimana dong..” “Itu artinya… elo udah buat kakak-adik super kece itu, ngerebutin lo gitu dong, Ra? Keren juga lo ya, Ra.

Dua puluh enam taun lo hidup, baru kali ini gue kagum sama lo!” Lah, Echa malah bercanda. “Echaaaa, gue serius. Lo kira enak apa perasaan kayak gitu?” Lara balas menanggapi kesal. “Iye, iye, Ra. Gue kan cuma mau hibur lo, biar nggak kayak gini keadaannya. Lo ah, serius banget kayak si Keenan aja.

” Lara kehabisan kata-kata, sepertinya nggak guna deh cerita ke sahabatnya ini. Udah serius begini, dia malah bercanda. Tiba-tiba aja, handphone Echa berdering. Lara memandang malas ke arah cewek itu, pasti si Ardio, pikir Lara. Buktinya aja Echa menjauh dari jangkauan Lara, kayaknya takut ketahuan apa yang dibicarakan mereka. Lima menit kemudian, Echa kembali pada Lara.

“Ardio?” tatapnya penasaran. “Bukan, ada deh. Jadi, maksud lo… Keenan nggak suka ngeliat lo deket-deket sama adiknya? Dia tahu nggak kalo Gavin naksir lo?” Lara mengangkat bahunya. “Nggak tahu, gue langsung pulang tadi malem… kata Gavin, Keenan dingin sama perempuan gara-gara Feli. Dia masih nggak bisa ngelupain Feli, Cha.

” Echa mendengar ada nada kesedihan dari ucapan Lara. Gadis itu merangkul tubuh Lara, “Ra, semangat! Gue percaya, kalo jodoh nggak akan kemana-mana. Jodoh pasti bertemu, kayak katanya Afgan. Pokoknya… cuma hati lo yang tau, siapa yang pantas dan layak dapetin cewek baik-baik kayak lo.

” “Thank you, Cha…” Ia berusaha tersenyum, meski hatinya masih sedikit pilu. Keenan menghisap rokoknya dalam-dalam. Sudah lama rasanya dia tak menghirup asap-asap yang mengepul keluar dari hidungnya. Beginilah dia kalo lagi banyak pikiran.

Pelarian cuma satu, merokok. Sebetulnya dia enggan sih, kembali menyentuh barang mematikan tersebut. Tapi… Keenan tak punya pilihan lain, ia begitu menikmatinya, seolah pikirannya jauh lebih tenang setelah asap-asap itu kini terbang membaur dengan udara di luar rumah sakitnya.

Selesai satu batang, ia menginjak sisanya dengan sepatu vantovel barunya. (bersambung)

Vania m. Bernadette
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0751 seconds (0.1#10.140)