Dua Pasang Hati
A
A
A
“Lo pernah kecelakaan di Harapan Bangsa? Kok bisa?” Raut wajah Gavin langsung berubah khawatir. Lara mengelus pundaknya, memberi ketenangan.
”Nggak usah khawatir, itu kan udah berlalu, Vin. Iya, gue pernah kekurung di ruangan gelap, hampir sejam. Terus gue collapse nggak sadarin diri,” ceritanya. Hatinya tibatiba menghangat saat menuturkan kejadian itu pada Gavin. Kayak ada satu puzzle yang belum ditemukannya selama ini. ”Ckckck... lo itu ya, nggak pernah bisa jaga diri sendiri banget sih? Makanya ini, gue selalu harus ada di samping lo.
” Cowok itu mengacak rambut Lara pelan, mendadak cowok itu menatap wajah Lara lekat-lekat, matanya begitu lembut saat ia melihat wajah gadis itu. Ia mendekatkan wajahnya lagi, kemudian... ”Gue mau pipis, Vin. Kebelet dari tadi!” kata Lara tiba-tiba. Lara buruburu ngibrit ke kamar mandi, entahlah... seperti ada sesuatu dari dalam dirinya yang menolak setiap kali bibir mereka seharusnya bertaut.
Sementara cowok itu malah tersenyum kecil, saat memerhatikan Lara menjauh dari hadapannya. Dia tak masalah jika gadis itu belum mau dicium pertama kali olehnya. Pikiran Gavin tiba-tiba teringat sesuatu. Jam tangan...? Barang itu sepertinya pernah ditemukannya satu kali, di suatu tempat di kamar kakaknya, beberapa tahun lalu, ketika ia sedang berada di Indonesia untuk berlibur.
Kalaupun benar jam tangan itu milik Keenan, kenapa bisa sampai di tangan Lara? Gavin bertanya-tanya dalam batinnya. Aneh... Perasaannya tak menentu mendadak. Ada yang harus segera dicari kebenarannya oleh cowok itu. Ia pun bangkit berdiri bangkunya, kemudian bergegas meninggalkan kantor.
Rumah Keenan dan Gavin.. Tak ada lagi pemandangan makan malam bersama, sejak kejadian tadi malam. Gavin memilih makan di kamar-begitupun Keenan. Hanya Mbok Nah dan si penjaga rumah yang termangu memerhatikan ruang makan yang sepi dari anak-anak tampan tuannya.
Mereka saling berpandangan lalu mengangkat bahunya pasrah. Baru kali ini, Mbok Nah melihat Keenan bersikap dingin lagi, setelah hampir beberapa tahun putus dari mantannya, Felibahkan, ini yang terparah. Pria tiga puluh tahun itu, sama sekali enggan mengungkapkan apa penyebabnya dia sampai bersikap seperti ini, apalagi sampe menyangkut adiknya sendiri.
Mbok Nah geleng-geleng kepala, curiga sekaligus miris. Baru kali ini ia menyaksikan kakakberadik ini bertengkar hanya karena satu perempuan. Ketika Keenan dan Gavin membuka pintu kamar mereka bersamaan, dua-duanya hanya saling menatap namun tak berucap.
Ia hanya mendelik sedetik ke adiknya, lalu ngeloyor pergi ke dapur, cuma buat ambil minum. Mbok Nah sampe-sampe mengelus dadanya, prihatin-memerhatikan kondisi keluarga ini jadi semakin dingin. ”Kak, gue mau nanya sesuatu,” kata Gavin, menyusul kakaknya ke dapur.
”Soal Lara lagi? Males gue,” cowok dengan acuhnya meneguk air putih, lalu hendak kembali ke kamarnya. ”Kak, bisa nggak sih lo nggak hindarin soal Lara terus?” tatap Gavin tajam. Keenan bungkam, duduk di kursi makannya.
”Gue nemuin jam tangan lo yang dulu sering lo pake, dari Feli.” Wajah Keenan sebenernya menyiratkan rasa kaget, tapi laki-laki itu malah kembali datar. ”Jam tangan itu.. ada di Lara, kok bisa?” Gavin penasaran. ”Dari mana lo tahu, kalo jam tangan itu bisa di dia?” balas Keenan.
”Pas gue ke rumahnya, dia taro di laci lemari kecilnya. Sebenernya ada apa sih antara kalian berdua?” Gavin tetap curiga dengan kebungkaman sang kakak, sepertinya ada yang ditutup-tutupi Keenan. ”Gue nggak ada apa-apa sama cewek yang lo suka itu.”
”Ya terus, kalo nggak ada apa-apa, kenapa lo mesti nggak setuju soal hubungan gue dan Lara? Lo bilang, nggak ada hubungannya sama lo. Ya udah biarin gue jalanin dong, sama Lara.” Keenan menatap mata Gavin serius.
”Kalo gue sekali bilang nggak setuju, ya nggak. Ngerti?” ”Aneh lo, Kak! Bilang sama gue, apa karena usia? Hei, Kak.. hari gini masih permasalahin soal usia, it’s so late! Atau...” Cowok itu memicingkan matanya, mendelik ke arah kakaknya curiga, ”Nggak mungkin kan lo naksir Lara juga?” Tatapan mata Keenan beralih ke arah lain, ”Udahlah, lo nggak usah peduli gue.
Pokoknya gue udah ingetin sekali. Lo nggak mau denger gue, tanggung sendiri akibatnya.” ”Terserah! Gue juga udah bilang sekali, kalo gue nggak akan nyerah soal Lara.
Lagipula, lo kan masih cinta sama Feli. Jadi, ijinin gue dong sama Lara,” Gavin bersikeras. (bersambung
Vania m. Bernadette
”Nggak usah khawatir, itu kan udah berlalu, Vin. Iya, gue pernah kekurung di ruangan gelap, hampir sejam. Terus gue collapse nggak sadarin diri,” ceritanya. Hatinya tibatiba menghangat saat menuturkan kejadian itu pada Gavin. Kayak ada satu puzzle yang belum ditemukannya selama ini. ”Ckckck... lo itu ya, nggak pernah bisa jaga diri sendiri banget sih? Makanya ini, gue selalu harus ada di samping lo.
” Cowok itu mengacak rambut Lara pelan, mendadak cowok itu menatap wajah Lara lekat-lekat, matanya begitu lembut saat ia melihat wajah gadis itu. Ia mendekatkan wajahnya lagi, kemudian... ”Gue mau pipis, Vin. Kebelet dari tadi!” kata Lara tiba-tiba. Lara buruburu ngibrit ke kamar mandi, entahlah... seperti ada sesuatu dari dalam dirinya yang menolak setiap kali bibir mereka seharusnya bertaut.
Sementara cowok itu malah tersenyum kecil, saat memerhatikan Lara menjauh dari hadapannya. Dia tak masalah jika gadis itu belum mau dicium pertama kali olehnya. Pikiran Gavin tiba-tiba teringat sesuatu. Jam tangan...? Barang itu sepertinya pernah ditemukannya satu kali, di suatu tempat di kamar kakaknya, beberapa tahun lalu, ketika ia sedang berada di Indonesia untuk berlibur.
Kalaupun benar jam tangan itu milik Keenan, kenapa bisa sampai di tangan Lara? Gavin bertanya-tanya dalam batinnya. Aneh... Perasaannya tak menentu mendadak. Ada yang harus segera dicari kebenarannya oleh cowok itu. Ia pun bangkit berdiri bangkunya, kemudian bergegas meninggalkan kantor.
Rumah Keenan dan Gavin.. Tak ada lagi pemandangan makan malam bersama, sejak kejadian tadi malam. Gavin memilih makan di kamar-begitupun Keenan. Hanya Mbok Nah dan si penjaga rumah yang termangu memerhatikan ruang makan yang sepi dari anak-anak tampan tuannya.
Mereka saling berpandangan lalu mengangkat bahunya pasrah. Baru kali ini, Mbok Nah melihat Keenan bersikap dingin lagi, setelah hampir beberapa tahun putus dari mantannya, Felibahkan, ini yang terparah. Pria tiga puluh tahun itu, sama sekali enggan mengungkapkan apa penyebabnya dia sampai bersikap seperti ini, apalagi sampe menyangkut adiknya sendiri.
Mbok Nah geleng-geleng kepala, curiga sekaligus miris. Baru kali ini ia menyaksikan kakakberadik ini bertengkar hanya karena satu perempuan. Ketika Keenan dan Gavin membuka pintu kamar mereka bersamaan, dua-duanya hanya saling menatap namun tak berucap.
Ia hanya mendelik sedetik ke adiknya, lalu ngeloyor pergi ke dapur, cuma buat ambil minum. Mbok Nah sampe-sampe mengelus dadanya, prihatin-memerhatikan kondisi keluarga ini jadi semakin dingin. ”Kak, gue mau nanya sesuatu,” kata Gavin, menyusul kakaknya ke dapur.
”Soal Lara lagi? Males gue,” cowok dengan acuhnya meneguk air putih, lalu hendak kembali ke kamarnya. ”Kak, bisa nggak sih lo nggak hindarin soal Lara terus?” tatap Gavin tajam. Keenan bungkam, duduk di kursi makannya.
”Gue nemuin jam tangan lo yang dulu sering lo pake, dari Feli.” Wajah Keenan sebenernya menyiratkan rasa kaget, tapi laki-laki itu malah kembali datar. ”Jam tangan itu.. ada di Lara, kok bisa?” Gavin penasaran. ”Dari mana lo tahu, kalo jam tangan itu bisa di dia?” balas Keenan.
”Pas gue ke rumahnya, dia taro di laci lemari kecilnya. Sebenernya ada apa sih antara kalian berdua?” Gavin tetap curiga dengan kebungkaman sang kakak, sepertinya ada yang ditutup-tutupi Keenan. ”Gue nggak ada apa-apa sama cewek yang lo suka itu.”
”Ya terus, kalo nggak ada apa-apa, kenapa lo mesti nggak setuju soal hubungan gue dan Lara? Lo bilang, nggak ada hubungannya sama lo. Ya udah biarin gue jalanin dong, sama Lara.” Keenan menatap mata Gavin serius.
”Kalo gue sekali bilang nggak setuju, ya nggak. Ngerti?” ”Aneh lo, Kak! Bilang sama gue, apa karena usia? Hei, Kak.. hari gini masih permasalahin soal usia, it’s so late! Atau...” Cowok itu memicingkan matanya, mendelik ke arah kakaknya curiga, ”Nggak mungkin kan lo naksir Lara juga?” Tatapan mata Keenan beralih ke arah lain, ”Udahlah, lo nggak usah peduli gue.
Pokoknya gue udah ingetin sekali. Lo nggak mau denger gue, tanggung sendiri akibatnya.” ”Terserah! Gue juga udah bilang sekali, kalo gue nggak akan nyerah soal Lara.
Lagipula, lo kan masih cinta sama Feli. Jadi, ijinin gue dong sama Lara,” Gavin bersikeras. (bersambung
Vania m. Bernadette
(ars)