Dua Pasang Hati
A
A
A
”Jam tangan dari Feli itu...kenapa bisa ada dia? Lo belum jawab pertanyaan gue waktu itu.” ”Jam tangan itu ketinggalan di rumah sakit waktu Lara nggak sengaja kekurung di gudang rumah sakit gue.”
”Apa? Lo nolongin dia, Kak?” Keenan mengangguk tanpa menoleh ke Gavin. ”Gue nolongin dia waktu itu...karena cuma gue yang tau dia ada anxiety disorder . Bukan karena apa-apa.” Gavin tersenyum simpul, ”Naif banget sih lo, Kak.” Lalu, cowok itu mengulurkan tangannya, ”Maafin gue, tadi marah-marah sama lo, Kak. Nggak nyangka... karena satu perempuan, jadi berantem gini.”
Keenan membalas uluran tangan sambil tersenyum dan mengangguk setuju, ”Udahlah, sana mandi, ganti baju. Gue berangkat kerja dulu ya, Dek. Baikbaik lo di rumah.” Cowok itu mengacak rambut Gavin, lalu menepuk-nepuk bahu adiknya. Gavin tersenyum, tepat ketika Keenan membalikkan badannya. Hatinya jauh lebih lega, saat kakaknya akhirnya bersikap jujur pada dirinya. Saat Lara membuka mata, pertama kali yang diperiksanya adalah Gavin.
Apakah cowok itu masih tertidur di bawah sana... atau tau-tau, dia sudah pindah di kasur bersama Lara. Dengan tergesa-gesa Lara meraba-raba tempat tidurnya, Huft, ia boleh menghela nafas lega, ternyata Gavin masih tahu adat timur, dia pasti masih tertidur nyenyak di bawah. Tetapi nyatanya, ketika Lara menoleh ke bawah, cowok itu sudah tak di sana. Artinya...Gavin udah pulang subuhsubuh tadi? Ya ampun, malunya gue... jadi perempuan nggak bisa bangun pagi , senyumnya kemudian.
Hatinya begitu bahagia, mengingat tadi malam Gavin memberinya kejutan. Sepertinya jawaban hati Lara sudah ditemukan, Gavin. Bukan, Keenan. Tetapi secerca harapan di hati Lara masih meronta untuk berharap pada Keenan. Benarkah jawabannya bukan Keenan? Pertanyaan itu yang sejak tadi bergelut di relung hatinya. Lara menunduk sedih, dalam hati ia ngedumel sendiri, pacar macam apa sih gue, udah tau gue ceweknya Gavin.
Kenapa masih mikirin si dokter pete itu sih? Ia menggeleng heran, dan menutup matanya sejenak. Dirasanya hal itu akan membuat batinnya merasa lebih baik, dibanding ia memikirkan perasaannya yang tak berlarut-larut pada Keenan. Sebab itu, gadis manis itu segera bangkit dari kasurnya lalu ke kamar mandi.
Selesai mandi alihalih bersiap-siap, Lara malah terduduk bengong di ruang tamunya. Rasanya... sangat sulit melepaskan bayangnya dari dokter kandungan itu. Pikirannya refleks mengingat saat pertama kali Keenan mampir makan malam di rumahnya. Selanjutnya kedua mata Lara dengan lancang menatap lemari dapurnya, yang mengingatkan ketika Keenan mengambilkan merica untuknya dan tak sengaja mencium keningnya.
Kembali Lara menghembuskan nafas, pasrah pada keadaan hatinya yang belum mampu menyingkirkan Keenan dari benaknya. Sampai kapan ia akan bertahan dengan Gavin? Bukankah yang namanya pacaran harus saling jujur dan terbuka? Tapi... gimana kalo ketakutannya selama ini terjadi? Lara benar-benar merasa hampa sekaligus bersalah, membuat dua bersaudara itu mungkin saja bertengkar karena dirinya.
Tok! Tok! Ketukan pintu dari luar membuatnya terpaksa meninggalkan lamunannya. Ia berlari kecil menuju pintunya, dan bersiap membuka pintunya. Dan... Orang yang sangat dibencinya tibatiba memunculkan diri dihadapannya. Jantung Lara hampir saja keluar dibuatnya, dengan cepat Lara membanting pintu rumahnya. ”Ra! Buka pintu dulu, Ra! Ada yang mau gue omongin. Lara, please!”
Perempuan cantik itu menggedor pintu Lara lebih kuat. Di balik pintu, air mata Lara sudah tak tertahankan, seperti hatinya yang begitu sakit, mengingat luka sembilan tahun lalu. ”Lara, please dengerin gue. Gue mau minta maaf,” ucap wanita itu, suaranya terdengar tulus. Namun bagi Lara, suara wanita itu benarbenar membuatnya marah sekaligus kesal.
Tetapi... jika benar ia ingin berdamai dengan masa lalu, haruskah ia bersikap begini? Akhirnya Lara memantapkan hatinya untuk membukakan pintu rumahnya, semoga saja apa yang dikatakan wanita Tionghoa itu benar-benar tulus. ”Ra... Gimana kabar lo?” Lara menatap dingin perempuan itu, nada bicaranya pun dingin, ”Nggak usah basa-basi gitu deh, Fel. Lo bilang tadi ada yang mau lo omongin. Apaan?” (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
”Apa? Lo nolongin dia, Kak?” Keenan mengangguk tanpa menoleh ke Gavin. ”Gue nolongin dia waktu itu...karena cuma gue yang tau dia ada anxiety disorder . Bukan karena apa-apa.” Gavin tersenyum simpul, ”Naif banget sih lo, Kak.” Lalu, cowok itu mengulurkan tangannya, ”Maafin gue, tadi marah-marah sama lo, Kak. Nggak nyangka... karena satu perempuan, jadi berantem gini.”
Keenan membalas uluran tangan sambil tersenyum dan mengangguk setuju, ”Udahlah, sana mandi, ganti baju. Gue berangkat kerja dulu ya, Dek. Baikbaik lo di rumah.” Cowok itu mengacak rambut Gavin, lalu menepuk-nepuk bahu adiknya. Gavin tersenyum, tepat ketika Keenan membalikkan badannya. Hatinya jauh lebih lega, saat kakaknya akhirnya bersikap jujur pada dirinya. Saat Lara membuka mata, pertama kali yang diperiksanya adalah Gavin.
Apakah cowok itu masih tertidur di bawah sana... atau tau-tau, dia sudah pindah di kasur bersama Lara. Dengan tergesa-gesa Lara meraba-raba tempat tidurnya, Huft, ia boleh menghela nafas lega, ternyata Gavin masih tahu adat timur, dia pasti masih tertidur nyenyak di bawah. Tetapi nyatanya, ketika Lara menoleh ke bawah, cowok itu sudah tak di sana. Artinya...Gavin udah pulang subuhsubuh tadi? Ya ampun, malunya gue... jadi perempuan nggak bisa bangun pagi , senyumnya kemudian.
Hatinya begitu bahagia, mengingat tadi malam Gavin memberinya kejutan. Sepertinya jawaban hati Lara sudah ditemukan, Gavin. Bukan, Keenan. Tetapi secerca harapan di hati Lara masih meronta untuk berharap pada Keenan. Benarkah jawabannya bukan Keenan? Pertanyaan itu yang sejak tadi bergelut di relung hatinya. Lara menunduk sedih, dalam hati ia ngedumel sendiri, pacar macam apa sih gue, udah tau gue ceweknya Gavin.
Kenapa masih mikirin si dokter pete itu sih? Ia menggeleng heran, dan menutup matanya sejenak. Dirasanya hal itu akan membuat batinnya merasa lebih baik, dibanding ia memikirkan perasaannya yang tak berlarut-larut pada Keenan. Sebab itu, gadis manis itu segera bangkit dari kasurnya lalu ke kamar mandi.
Selesai mandi alihalih bersiap-siap, Lara malah terduduk bengong di ruang tamunya. Rasanya... sangat sulit melepaskan bayangnya dari dokter kandungan itu. Pikirannya refleks mengingat saat pertama kali Keenan mampir makan malam di rumahnya. Selanjutnya kedua mata Lara dengan lancang menatap lemari dapurnya, yang mengingatkan ketika Keenan mengambilkan merica untuknya dan tak sengaja mencium keningnya.
Kembali Lara menghembuskan nafas, pasrah pada keadaan hatinya yang belum mampu menyingkirkan Keenan dari benaknya. Sampai kapan ia akan bertahan dengan Gavin? Bukankah yang namanya pacaran harus saling jujur dan terbuka? Tapi... gimana kalo ketakutannya selama ini terjadi? Lara benar-benar merasa hampa sekaligus bersalah, membuat dua bersaudara itu mungkin saja bertengkar karena dirinya.
Tok! Tok! Ketukan pintu dari luar membuatnya terpaksa meninggalkan lamunannya. Ia berlari kecil menuju pintunya, dan bersiap membuka pintunya. Dan... Orang yang sangat dibencinya tibatiba memunculkan diri dihadapannya. Jantung Lara hampir saja keluar dibuatnya, dengan cepat Lara membanting pintu rumahnya. ”Ra! Buka pintu dulu, Ra! Ada yang mau gue omongin. Lara, please!”
Perempuan cantik itu menggedor pintu Lara lebih kuat. Di balik pintu, air mata Lara sudah tak tertahankan, seperti hatinya yang begitu sakit, mengingat luka sembilan tahun lalu. ”Lara, please dengerin gue. Gue mau minta maaf,” ucap wanita itu, suaranya terdengar tulus. Namun bagi Lara, suara wanita itu benarbenar membuatnya marah sekaligus kesal.
Tetapi... jika benar ia ingin berdamai dengan masa lalu, haruskah ia bersikap begini? Akhirnya Lara memantapkan hatinya untuk membukakan pintu rumahnya, semoga saja apa yang dikatakan wanita Tionghoa itu benar-benar tulus. ”Ra... Gimana kabar lo?” Lara menatap dingin perempuan itu, nada bicaranya pun dingin, ”Nggak usah basa-basi gitu deh, Fel. Lo bilang tadi ada yang mau lo omongin. Apaan?” (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
(bbg)