Dua Pasang Hati
A
A
A
Baliiii? WOHOOO! Lets go!!! Eh, tapi manusia ketat paling sibuk sealam raya itu, nggak diajak juga? Lara Ardenia: Nggak taulah, dia ikut apa kaga. Sibuk gitu, bagus sih tp kl dia ga ikt. Pusing gue ntar. Vanessa K. Haryadi: Cieeee... pusing antara kakaknya apa adiknya ya, bok? Udaaah, lo coba aja satu-satu.
Mana yang cocok, langsung jadi pasangan hidup lo. Lara Ardenia: Anjrit lo emang, siang-siang gini aja udah ngebahas dosa. Hahaha, eh ntar ngopi yuks, gue mau cerita satu hal nih ke lo. Vanessa K. Haryadi: Keo! Ntar ye, jam empatan. Gue jemput lo. Starbucks, Menteng. Jam empat sore... Muncratan kopi dari mulut Echa, menyiratkan rasa terkejutnya saat Lara menyudahi ceritanya sore itu.
Ia sampai-sampai tak sanggup mengerjap mata, begitu tahu faktafakta soal sosok wanita yang Minggu kemarin membuat Lara nangis bombay di kamar mandi, berjam-jam. ”Demi apa lo, Ra? Gila... nggak nyangka gue, bener-bener deh.” Dia sampai kehabisan kata-kata. ”Iya...begitu kenyataannya, Cha.
Lo pikir gue percaya? Tuh cewek dulu yang nyium Keenan duluan, Cha...” kenang Lara. Hatinya sudah tak terasa sakit, saat menceritakan kejadian yang dulu sempat membuatnya depresi. ”Jadinya malah kayak lagunya Meggy Z, deh. Kau yang memulai... kau yang mengakhiri..” guraunya, Lara jadi ikut tertawa mendengarnya. ”Eh, tapi satu hal ya, yang bikin gue bingung.
Jam tangan itu... artinya punya Keenan dong, ya? Kenapa di hari pertama gue dirawat, gue nemuin itu jam tangan di lemari kecil kamar rawat gue?” gumam Lara, mulai mencium adanya hal yang janggal dari insiden itu. ”Aneh aja sih, kalo tiba-tiba si Keenan masuk ke kamar gue... tapi nggak mungkin juga, dia sibuk banget gitu lho, Cha.
Ya emang sih, gue minta dia nemenin gue pas malemmalem itu...” ”Hah, apa-apa? Eh, kok gue nggak tau lo minta si Keenan nemenin lo waktu itu?” Echa memicingkan matanya curiga, sambil menyeruput green tea latte-nya. ”Iya...gue waktu itu ketakutan gara-gara... ada yang kayaknya masuk ke kamar gue...” ”Eleeeeh...yakin, cuma nemenin doang? Nggak...” Cewek itu menyatukan kedua tangannya, seolah berharap sahabatnya itu berciuman mesra dengan Keenan.
Lara melempar tisu bersih ke sahabatnya, ”Gue nggak seberdosa elo, ya. Rajin ngaku dosa gue, di gereja!” tukas Lara terbahak. ”Eh, Lara, mungkin nggak sih... kalo Keenan diem-diem ke kamar lo, jagain lo pas lo tidur...? kalo kayak gitu sih, berarti bener dong kata Feli, dia beneran cinta sama lo dari dulu! Ya... hahahaha...” Gadis itu terbahak-bahak.
Lara memalingkan wajahnya ke arah lain, berusaha menutupi rasa senangnya. ”Apaan sih, Cha... ya nggak mungkin lah. Dia dari dulu kan selalu dingin dan ketus sama gue... kecuali...” Pikiran Lara tiba-tiba memutar kenangan indahnya dengan Keenan, saat pertama mereka ciuman, seusai Lara membersihkan bekas luka di bibir Keenan.
Lalu saat beberapa minggu lalu, pria itu menggandeng tangannya. Lara tak kuasa menahan rasa senangnya yang langsung terbaca oleh sobatnya. ”Oi, lo jangan seneng dulu, bayangin Keenan. Inget, lo itu pacarnya Gavin. Lupa daratan lo ya, Ra?” Lara terkesiap. Astaga... ia baru sadar, lagi-lagi ia mengingkari janjinya sendiri untuk tidak memikirkan Keenan. Echamenggelengheran,”Ininih... makanya, kalomaungambil keputusanjanganterburu-buru.
SekaranggimanacobakaloGavintau, pacarnya masihsayangsama kakaknya sendiri? Bisa bonyok lamalamasiKeenan, gara-garalo.” Ia menyeruputlagi greentea-nya, ”Daripadakalianmakinjauh, mending loburu putusinGavinaja, Ra. Nggak maukan, diamakinsayangdan berharapbanyakkeelo?” saranEcha. Lara tertegun mendengar saran dari sobatnya.
Tetapi apa yang disarankan itu... seharusnya sudah dilakukannya sejak awal, karena dia tidak ingin perasaan Gavin semakin jatuh kepadanya. Namun, bagaimana tanggapan Gavin kalo dia tahu? Padahal... cowok itu selalu menjaga dan setia padanya. ”Gimana dong, Cha?” tatap Lara bingung. ”Selesein sendiri dong, Lara. Lo kan udah dewasa, makanya jangan buru-buru begini. Kasian kan anak orang hatinya patah gara-gara lo... Mending lo jujur aja sama dia, Ra..” (bersambung)
Vania m. Bernadette
Mana yang cocok, langsung jadi pasangan hidup lo. Lara Ardenia: Anjrit lo emang, siang-siang gini aja udah ngebahas dosa. Hahaha, eh ntar ngopi yuks, gue mau cerita satu hal nih ke lo. Vanessa K. Haryadi: Keo! Ntar ye, jam empatan. Gue jemput lo. Starbucks, Menteng. Jam empat sore... Muncratan kopi dari mulut Echa, menyiratkan rasa terkejutnya saat Lara menyudahi ceritanya sore itu.
Ia sampai-sampai tak sanggup mengerjap mata, begitu tahu faktafakta soal sosok wanita yang Minggu kemarin membuat Lara nangis bombay di kamar mandi, berjam-jam. ”Demi apa lo, Ra? Gila... nggak nyangka gue, bener-bener deh.” Dia sampai kehabisan kata-kata. ”Iya...begitu kenyataannya, Cha.
Lo pikir gue percaya? Tuh cewek dulu yang nyium Keenan duluan, Cha...” kenang Lara. Hatinya sudah tak terasa sakit, saat menceritakan kejadian yang dulu sempat membuatnya depresi. ”Jadinya malah kayak lagunya Meggy Z, deh. Kau yang memulai... kau yang mengakhiri..” guraunya, Lara jadi ikut tertawa mendengarnya. ”Eh, tapi satu hal ya, yang bikin gue bingung.
Jam tangan itu... artinya punya Keenan dong, ya? Kenapa di hari pertama gue dirawat, gue nemuin itu jam tangan di lemari kecil kamar rawat gue?” gumam Lara, mulai mencium adanya hal yang janggal dari insiden itu. ”Aneh aja sih, kalo tiba-tiba si Keenan masuk ke kamar gue... tapi nggak mungkin juga, dia sibuk banget gitu lho, Cha.
Ya emang sih, gue minta dia nemenin gue pas malemmalem itu...” ”Hah, apa-apa? Eh, kok gue nggak tau lo minta si Keenan nemenin lo waktu itu?” Echa memicingkan matanya curiga, sambil menyeruput green tea latte-nya. ”Iya...gue waktu itu ketakutan gara-gara... ada yang kayaknya masuk ke kamar gue...” ”Eleeeeh...yakin, cuma nemenin doang? Nggak...” Cewek itu menyatukan kedua tangannya, seolah berharap sahabatnya itu berciuman mesra dengan Keenan.
Lara melempar tisu bersih ke sahabatnya, ”Gue nggak seberdosa elo, ya. Rajin ngaku dosa gue, di gereja!” tukas Lara terbahak. ”Eh, Lara, mungkin nggak sih... kalo Keenan diem-diem ke kamar lo, jagain lo pas lo tidur...? kalo kayak gitu sih, berarti bener dong kata Feli, dia beneran cinta sama lo dari dulu! Ya... hahahaha...” Gadis itu terbahak-bahak.
Lara memalingkan wajahnya ke arah lain, berusaha menutupi rasa senangnya. ”Apaan sih, Cha... ya nggak mungkin lah. Dia dari dulu kan selalu dingin dan ketus sama gue... kecuali...” Pikiran Lara tiba-tiba memutar kenangan indahnya dengan Keenan, saat pertama mereka ciuman, seusai Lara membersihkan bekas luka di bibir Keenan.
Lalu saat beberapa minggu lalu, pria itu menggandeng tangannya. Lara tak kuasa menahan rasa senangnya yang langsung terbaca oleh sobatnya. ”Oi, lo jangan seneng dulu, bayangin Keenan. Inget, lo itu pacarnya Gavin. Lupa daratan lo ya, Ra?” Lara terkesiap. Astaga... ia baru sadar, lagi-lagi ia mengingkari janjinya sendiri untuk tidak memikirkan Keenan. Echamenggelengheran,”Ininih... makanya, kalomaungambil keputusanjanganterburu-buru.
SekaranggimanacobakaloGavintau, pacarnya masihsayangsama kakaknya sendiri? Bisa bonyok lamalamasiKeenan, gara-garalo.” Ia menyeruputlagi greentea-nya, ”Daripadakalianmakinjauh, mending loburu putusinGavinaja, Ra. Nggak maukan, diamakinsayangdan berharapbanyakkeelo?” saranEcha. Lara tertegun mendengar saran dari sobatnya.
Tetapi apa yang disarankan itu... seharusnya sudah dilakukannya sejak awal, karena dia tidak ingin perasaan Gavin semakin jatuh kepadanya. Namun, bagaimana tanggapan Gavin kalo dia tahu? Padahal... cowok itu selalu menjaga dan setia padanya. ”Gimana dong, Cha?” tatap Lara bingung. ”Selesein sendiri dong, Lara. Lo kan udah dewasa, makanya jangan buru-buru begini. Kasian kan anak orang hatinya patah gara-gara lo... Mending lo jujur aja sama dia, Ra..” (bersambung)
Vania m. Bernadette
(bbg)