Dua Pasang Hati
A
A
A
Lara memerhatikan sekelilingnya, meski ia merasa senang karena bisa berlibur, tetap saja ia merasa masih ada yang kurang.
Keenan...seandainya dia di sini, Lara berpikir jauh dalam hatinya. Menurut Gavin, kakaknya itu masih belum bisa meninggalkan rumah sakit karena pasienpasiennya akan melahirkan di akhir bulan ini. Namun Lara tetap tidak bisa menipu hatinya yang sejujurnya mengharapkan Keenan berada di sini bersama mereka. Lama sudah cowok itu tak berbicara padanya, menjahilinya, atau bahkan mengomelinya.
Buat Lara hal yang bagi sebagian orang menyebalkan, malah membuat hatinya menghangat. Semua tingkah menyebalkan Keenan malah sekarang menyerang pikirannya, ia benar-benar merindukan sosok itu. Pandangan mata Lara tersapu ke tangan besar Gavin, dan mulai berharap seandainya saja yang menggenggamnya adalah Keenan yang selalu memasang wajah dingin, tegas, nan arogan. Astaga, Lara tersadar akan apa yang baru saja dilakukannya.
Apaapaan nih? Pikir Lara, kenapa dia malah jadi berpikir soal Keenan lagi? Ia menghela napas diam-diam, bagaimana mungkin ia memutuskan Gavin tiba-tiba? Kalau tahu, pasti Gavin akan membenci Keenan dan dirinya mati-matian. Menatap wajah cowok itu yang terlihat bahagia hari ini saja, dia tak sanggup untuk mengatakannya. Dia tahu kali ini, ia sudah kelewat egois karena telah menyakiti Gavin yang begitu tulus padanya.
“Jalan aja nggak pernah lihat depan, gimana nggak gampang jatuh?” Suara berat nan dingin itu menyentak batin Lara. Keenan...? Dia di sini? Senyum manis Lara mengembang perlahan. “Sayang, kenapa kamu jadi ngeliatin aku begitu? Aku ganteng banget ya?” ujar suara yang berbeda dari yang dibayangkannya. Gavin... Lara berusaha tersenyum. Bahkan sampai sekarang dia nggak ada aja, gue masih mikirin...Lara merengut sedih. Echa menatap sahabatnya dari kejauhan, dalam hatinya ia hanya bisa berdoa agar sobatnya tak lagi merasa kesepian dan menyedihkan, karena orang yang dicintainya tak berada di sisinya.
Dua Puluh
Sejak hari pertama tiba di Bali, semua beban yang ada di benak Lara hampir saja sirna. Ada Echa dan Ardio yang tak henti membuatnya tersenyum; Gavin yang selalu berusaha menjaga dan menyayanginya sepenuh hati.
Ia benar-benar bahagia karena orang-orang yang menyayanginya itu kini berada bersamanya, mencoba hal-hal baru yang tak pernah Lara rasakan sebelumnya. Seperti di hari ketiga, Lara baru saja mengalahkan rasa takutnya akan ketinggian dengan menantang dirinya sendiri, ikut menjajal Flying Fish, wahana water sport yang disediakan di Tanjung Benoa, Bali. Perasaan jantung berdebar Lara rasanya sama seperti waktu itu Keenan tiba-tiba saja menciumnya.
Deg-degan, tapi sangat membahagiakan. Ia pun berteriak-teriak senang yang tentu saja mengurai senyum ketiga orang yang mengasihinya tersebut. “Baru kali ini, sejak beberapa bulan terakhir... gue liat Lara senyum. Biasanya... jarang banget dia senyum-senyum gitu, Vin,” terang Echa di pelukan Ardio. “Yah... cuma itu yang bisa gue lakuin buat dia, Cha. Asal dia bahagia dan nggak sedih lagi, itu udah lebih membahagiakan gue dari apapun,” ucap cowok itu tersenyum manis pada Ardio dan Echa.
“Thank you ya, Vin. Udah bisa buat Lara senyum lagi,” Echa berterima kasih atas nama sobatnya, yang diikuti senyuman puas dari Ardio. “Oi! Gilaaaa.... Seru banget!!! Lo nggak mau coba, Cha?” tawar Lara sumringah, setelah selesai mencoba Flying Fish. Ardio menatap Lara galak dan langsung bersikap protektif pada kekasihnya, “Sayang, jangan ya. Aku nggak mau kenapa-napa. Ok?” Echa mengangkat bahu lemas, lalu mencium pipi Ardio lembut. Gavin dan Lara tersenyum, melirik ke arah keduanya.
Mereka membayangkan betapa bahagianya dua pasangan itu, ketika menikah nanti. Tiba-tiba saja Gavin pun melayangkan ciumannya pada Lara. “Viiin...” Lara merasa sedikit risih. Eh, cowok yang hari itu memakai topi terbalik itu malah melet-melet iseng padanya. Lara menggosok-gosok pipinya, dan dalam hati ia berkata lirih...maaf ya, Vin... (bersambung)
Oleh:
Vania M. Bernadette
Keenan...seandainya dia di sini, Lara berpikir jauh dalam hatinya. Menurut Gavin, kakaknya itu masih belum bisa meninggalkan rumah sakit karena pasienpasiennya akan melahirkan di akhir bulan ini. Namun Lara tetap tidak bisa menipu hatinya yang sejujurnya mengharapkan Keenan berada di sini bersama mereka. Lama sudah cowok itu tak berbicara padanya, menjahilinya, atau bahkan mengomelinya.
Buat Lara hal yang bagi sebagian orang menyebalkan, malah membuat hatinya menghangat. Semua tingkah menyebalkan Keenan malah sekarang menyerang pikirannya, ia benar-benar merindukan sosok itu. Pandangan mata Lara tersapu ke tangan besar Gavin, dan mulai berharap seandainya saja yang menggenggamnya adalah Keenan yang selalu memasang wajah dingin, tegas, nan arogan. Astaga, Lara tersadar akan apa yang baru saja dilakukannya.
Apaapaan nih? Pikir Lara, kenapa dia malah jadi berpikir soal Keenan lagi? Ia menghela napas diam-diam, bagaimana mungkin ia memutuskan Gavin tiba-tiba? Kalau tahu, pasti Gavin akan membenci Keenan dan dirinya mati-matian. Menatap wajah cowok itu yang terlihat bahagia hari ini saja, dia tak sanggup untuk mengatakannya. Dia tahu kali ini, ia sudah kelewat egois karena telah menyakiti Gavin yang begitu tulus padanya.
“Jalan aja nggak pernah lihat depan, gimana nggak gampang jatuh?” Suara berat nan dingin itu menyentak batin Lara. Keenan...? Dia di sini? Senyum manis Lara mengembang perlahan. “Sayang, kenapa kamu jadi ngeliatin aku begitu? Aku ganteng banget ya?” ujar suara yang berbeda dari yang dibayangkannya. Gavin... Lara berusaha tersenyum. Bahkan sampai sekarang dia nggak ada aja, gue masih mikirin...Lara merengut sedih. Echa menatap sahabatnya dari kejauhan, dalam hatinya ia hanya bisa berdoa agar sobatnya tak lagi merasa kesepian dan menyedihkan, karena orang yang dicintainya tak berada di sisinya.
Dua Puluh
Sejak hari pertama tiba di Bali, semua beban yang ada di benak Lara hampir saja sirna. Ada Echa dan Ardio yang tak henti membuatnya tersenyum; Gavin yang selalu berusaha menjaga dan menyayanginya sepenuh hati.
Ia benar-benar bahagia karena orang-orang yang menyayanginya itu kini berada bersamanya, mencoba hal-hal baru yang tak pernah Lara rasakan sebelumnya. Seperti di hari ketiga, Lara baru saja mengalahkan rasa takutnya akan ketinggian dengan menantang dirinya sendiri, ikut menjajal Flying Fish, wahana water sport yang disediakan di Tanjung Benoa, Bali. Perasaan jantung berdebar Lara rasanya sama seperti waktu itu Keenan tiba-tiba saja menciumnya.
Deg-degan, tapi sangat membahagiakan. Ia pun berteriak-teriak senang yang tentu saja mengurai senyum ketiga orang yang mengasihinya tersebut. “Baru kali ini, sejak beberapa bulan terakhir... gue liat Lara senyum. Biasanya... jarang banget dia senyum-senyum gitu, Vin,” terang Echa di pelukan Ardio. “Yah... cuma itu yang bisa gue lakuin buat dia, Cha. Asal dia bahagia dan nggak sedih lagi, itu udah lebih membahagiakan gue dari apapun,” ucap cowok itu tersenyum manis pada Ardio dan Echa.
“Thank you ya, Vin. Udah bisa buat Lara senyum lagi,” Echa berterima kasih atas nama sobatnya, yang diikuti senyuman puas dari Ardio. “Oi! Gilaaaa.... Seru banget!!! Lo nggak mau coba, Cha?” tawar Lara sumringah, setelah selesai mencoba Flying Fish. Ardio menatap Lara galak dan langsung bersikap protektif pada kekasihnya, “Sayang, jangan ya. Aku nggak mau kenapa-napa. Ok?” Echa mengangkat bahu lemas, lalu mencium pipi Ardio lembut. Gavin dan Lara tersenyum, melirik ke arah keduanya.
Mereka membayangkan betapa bahagianya dua pasangan itu, ketika menikah nanti. Tiba-tiba saja Gavin pun melayangkan ciumannya pada Lara. “Viiin...” Lara merasa sedikit risih. Eh, cowok yang hari itu memakai topi terbalik itu malah melet-melet iseng padanya. Lara menggosok-gosok pipinya, dan dalam hati ia berkata lirih...maaf ya, Vin... (bersambung)
Oleh:
Vania M. Bernadette
(ars)