Dua Pasang Hati
A
A
A
Lara menghela nafas panjang, merasa lelah sekaligus sebenernya senang, begitu tahu Keenan menyusul ke Bali.
Dalam hati... ia penasaran, kenapa Keenan nyusul ke sini ya? Ia pun tersenyum diam-diam, saat semua orang tengah sibuk mempersiapkan acara barbeque malam nanti. Tepat jam setengah delapan malam, Echa, Ardio, Keenan, Lara dan Gavin berkumpul di halaman belakang Villa. Di sana ketiga cowok seksi itu benar-benar menjadi rejeki anak soleh di malam hari.
Ardio memukau mata Echa, karena jarang banget lihat cowok berumur tiga puluh satu tahun itu hanya memakai kaus singlet, celana tiga per empat, dengan ikatan kepala berwarna biru. Tangan kekar dan atletis dokter bedah jantung itu, begitu piawai membolakbalikkan beef yang terpanggang di bara api. Echa sampai-sampai tak berkutik, memandangi otot bisep serta wajah tampan Ardio yang keringetan, akibat panasnya bara api.
Keenan, pria yang punya postur tubuh paling tinggi dari ketiganya itu, hanya mengenakan kaus berwarna biru laut dan celana pendek saja. Alis tebal dan sorot mata tajamnya berkonsentrasi saat mengukur suhu kompor panggang untuk memanggang daging ayam. Ia tampak berjongkok sebentar untuk mengecek gasnya baik-baik saja. Terakhir, yang paling muda dari ketiganya itu berduel dengan kakaknya yang sedang mengecek gas, sambil mengipas-ngipas sate ayam hasil panggangannya sendiri.
Sesekali, Gavin melirik Lara yang tampak termangu memandang ketiga cowok di depannya itu. Lima belas menit kemudian, semua hidangan selesai. Lara dan Echa kebagian tugas untuk mengatur piring makan serta peralatannya di meja kayu yang sudah disediakannya. Kedua gadis cantik itu kini gantian memukau ketiga cowok di hadapannya. Lara dan Echa meletakkan daging-daging itu di piring makan. Echa nggak malu-malu menyuapi Ardio, kekasihnya sambil memeluk hangat pinggul calon suaminya itu.
Sementara Lara...sejujurnya ia ingin sekali seperti Echa, yang begitu bahagia dengan Ardio. Hanya saja... dia nggak sampai hati, kalau bermesraan di depan Keenan. “Ra, kamu mau apa? Biar aku ambilin,” tawar Gavin, sambil mengambil segelas coke di hadapannya. “Mau ini?” tanyanya kemudian. Lara menggeleng lalu tersenyum pada Gavin.
“Lara nggak minum coke ,” suara datar Keenan menyentak keduanya disaat Gavin hampir saja mengambil coke itu. Meski dalam hati Lara harus mengaku senang, karena ternyata cowok itu tahu mengenai kebiasaannya, dan nggak bilang ke siapa-siapa. Gavin melempar pandangan sebal ke arah abangnya, meletakkan coke itu di meja kasar. Lalu, mengambil teh hangat sebagai gantinya.
“Ini buat kamu, Ra.” Cowok itu menyodorkan segelas teh itu pada Lara. Keenan bangkit berdiri, “Lo nggak tau, Vin, kalo teh hijau kafeinnya tinggi? Lo mau pacar lo ini nggak bisa tidur ntar malem?” Lagi, Keenan menatap Gavin tajam, lalu merampas teh itu dari tangan adiknya. Gavin menahan amarahnya dalam hati, menyadari tingkah kakaknya yang seolah membalasnya saat itu.
“Nan, apa-apaan sih lo?” Lara yang sengit, mendapati tingkah Keenan yang mulai menunjukkan tanduknya. “Emang kenapa? Pacar lo itu, harus tau apa yang lo suka dan lo nggak suka. Emang gue salah, ngasih tau dia?” Wajahnya dipasang nyolot. Ia memandang Gavin dengan lirikan dingin. Kemudian menyerahkan segelas air putih pada Lara. Lara mendelik marah pada Keenan, ia merasa kelakuannya itu sudah mulai keterlaluan pada adiknya.
Tak seharusnya Keenan ikut campur soal masalahnya dengan Gavin. Maka sebab itu, ia menolak segelas air putih yang diberikan Keenan padanya. Ia mendorong tangan cowok itu dengan kasar. Namun, tanpa sepengetahuan Lara, rupanya air itu adalah air hangat. Dan akibatnya, air hangat itu tersiram di lengan Keenan. Cowok itu meringis kesakitan, menahan rasa panas yang membasahi sekujur lengannya.
“Nan...ma-maaf. Gu...gue nggak sengaja...” desah Lara menyesal, hatinya mendadak sedih juga, menyaksikan Keenan harus menahan rasa panas yang membakar lengannya. Keenan menahan amarahnya, melepaskan tangannya dari genggaman Lara yang begitu menyesal setelahnya. (bersambung)
Oleh:
Vania M. Bernadette
Dalam hati... ia penasaran, kenapa Keenan nyusul ke sini ya? Ia pun tersenyum diam-diam, saat semua orang tengah sibuk mempersiapkan acara barbeque malam nanti. Tepat jam setengah delapan malam, Echa, Ardio, Keenan, Lara dan Gavin berkumpul di halaman belakang Villa. Di sana ketiga cowok seksi itu benar-benar menjadi rejeki anak soleh di malam hari.
Ardio memukau mata Echa, karena jarang banget lihat cowok berumur tiga puluh satu tahun itu hanya memakai kaus singlet, celana tiga per empat, dengan ikatan kepala berwarna biru. Tangan kekar dan atletis dokter bedah jantung itu, begitu piawai membolakbalikkan beef yang terpanggang di bara api. Echa sampai-sampai tak berkutik, memandangi otot bisep serta wajah tampan Ardio yang keringetan, akibat panasnya bara api.
Keenan, pria yang punya postur tubuh paling tinggi dari ketiganya itu, hanya mengenakan kaus berwarna biru laut dan celana pendek saja. Alis tebal dan sorot mata tajamnya berkonsentrasi saat mengukur suhu kompor panggang untuk memanggang daging ayam. Ia tampak berjongkok sebentar untuk mengecek gasnya baik-baik saja. Terakhir, yang paling muda dari ketiganya itu berduel dengan kakaknya yang sedang mengecek gas, sambil mengipas-ngipas sate ayam hasil panggangannya sendiri.
Sesekali, Gavin melirik Lara yang tampak termangu memandang ketiga cowok di depannya itu. Lima belas menit kemudian, semua hidangan selesai. Lara dan Echa kebagian tugas untuk mengatur piring makan serta peralatannya di meja kayu yang sudah disediakannya. Kedua gadis cantik itu kini gantian memukau ketiga cowok di hadapannya. Lara dan Echa meletakkan daging-daging itu di piring makan. Echa nggak malu-malu menyuapi Ardio, kekasihnya sambil memeluk hangat pinggul calon suaminya itu.
Sementara Lara...sejujurnya ia ingin sekali seperti Echa, yang begitu bahagia dengan Ardio. Hanya saja... dia nggak sampai hati, kalau bermesraan di depan Keenan. “Ra, kamu mau apa? Biar aku ambilin,” tawar Gavin, sambil mengambil segelas coke di hadapannya. “Mau ini?” tanyanya kemudian. Lara menggeleng lalu tersenyum pada Gavin.
“Lara nggak minum coke ,” suara datar Keenan menyentak keduanya disaat Gavin hampir saja mengambil coke itu. Meski dalam hati Lara harus mengaku senang, karena ternyata cowok itu tahu mengenai kebiasaannya, dan nggak bilang ke siapa-siapa. Gavin melempar pandangan sebal ke arah abangnya, meletakkan coke itu di meja kasar. Lalu, mengambil teh hangat sebagai gantinya.
“Ini buat kamu, Ra.” Cowok itu menyodorkan segelas teh itu pada Lara. Keenan bangkit berdiri, “Lo nggak tau, Vin, kalo teh hijau kafeinnya tinggi? Lo mau pacar lo ini nggak bisa tidur ntar malem?” Lagi, Keenan menatap Gavin tajam, lalu merampas teh itu dari tangan adiknya. Gavin menahan amarahnya dalam hati, menyadari tingkah kakaknya yang seolah membalasnya saat itu.
“Nan, apa-apaan sih lo?” Lara yang sengit, mendapati tingkah Keenan yang mulai menunjukkan tanduknya. “Emang kenapa? Pacar lo itu, harus tau apa yang lo suka dan lo nggak suka. Emang gue salah, ngasih tau dia?” Wajahnya dipasang nyolot. Ia memandang Gavin dengan lirikan dingin. Kemudian menyerahkan segelas air putih pada Lara. Lara mendelik marah pada Keenan, ia merasa kelakuannya itu sudah mulai keterlaluan pada adiknya.
Tak seharusnya Keenan ikut campur soal masalahnya dengan Gavin. Maka sebab itu, ia menolak segelas air putih yang diberikan Keenan padanya. Ia mendorong tangan cowok itu dengan kasar. Namun, tanpa sepengetahuan Lara, rupanya air itu adalah air hangat. Dan akibatnya, air hangat itu tersiram di lengan Keenan. Cowok itu meringis kesakitan, menahan rasa panas yang membasahi sekujur lengannya.
“Nan...ma-maaf. Gu...gue nggak sengaja...” desah Lara menyesal, hatinya mendadak sedih juga, menyaksikan Keenan harus menahan rasa panas yang membakar lengannya. Keenan menahan amarahnya, melepaskan tangannya dari genggaman Lara yang begitu menyesal setelahnya. (bersambung)
Oleh:
Vania M. Bernadette
(ars)