Wisata Halal untuk Semua
A
A
A
JAKARTA - Industri pariwisata saat ini tengah diramaikan dengan sebuah tren baru, wisata halal. Seiring dengan meningkatnya populasi muslim dunia, kontribusi wisata halal diperkirakan mencapai 26,5% pada 2030.
Dari sisi jumlah pengeluaran, wisatawan muslim diprediksi akan membelanjakan USD200 miliar pada 2020. Potensi ini pun disambut baik negaranegara mulai dari Timur Tengah, Malaysia, Singapura, Jepang, Korea hingga Thailand dan lain-lain. Indonesia pun tidak tinggal diam sebagai negara mayoritas muslim.
Indonesia ingin berperan dalam menyelenggarakan wisata muslim. Sejak tiga tahun lalu pemerintah melalui Kementrian Pariwisata (Kemenpar) sudah serius dengan membentuk tim percepatan wisata halal. Sekretaris Tim Percepatan Wisata Halal Kemenpar Tazbir menegaskan, wisata halal merupakan potensi perekonomian baru yang sudah diyakini banyak negara. Pasar bisnisnya sangat besar sehingga harus segera digarap. Mulai dari produk-produk lokal besar maupun dari usaha kecil yang berlabel halal.
“Sekarang sudah banyak produk dari luar negeri datang ke Indonesia sudah sekalian dengan label halalnya. Padahal makanan yang sama di sini ada, tapi belum ada label halalnya. Nanti orang malah beli produk luar,” ungkapnya.
Asisten Deputi Bisnis dan Pemerintah Kemenpar ini mencontohkan sebuah produk sambal dari Malaysia yang sudah masuk dengan label halal. Dia menyayangkannya karena produk itu sangat dekat dengan pariwisata karena gampang dibawa bepergian.
Untuk lingkup yang lebih besar, Tazbir juga mengatakan, bisnis wisata halal sebagai bisnis yang besar karena tidak lagi hanya memisahkan produk yang beralkohol dan yang tidak, tetapi juga membuat restoran halal atau bahkan hotel halal.
Tazbir menyebut Korea Selatan (Korsel) sudah menerapkan hal tersebut. Ini berkat K-Pop dan KDrama yang mampu menghipnosis banyak warga dunia, termasuk negara muslim. Kondisi ini mendorong Korsel menyiapkan kedatangan turis muslim dengan membuat restoran berlabel halal.
“Sudah bukan lagi hanya memasang pengumuman tidak menggunakan babi, tetapi langsung mengumumkan restoran mereka besertifikat halal. Turis muslim mana yang tidak tertarik?” tandasnya. Saat ini baru tiga provinsi di Indonesia yang menyandang status sebagai tujuan wisata halal karena pernah mendapatkan World Halal Tourism Award di Abu Dhabi.
Ketiganya adalah Aceh, Sumatera Barat, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun, menurut Tazbir, penghargaan saja jelas tidak cukup. Indonesia butuh amunisi lain untuk menarik wisatawan muslim agar mau berkunjung ke Tanah Air.
Daerah-daerah tujuan wisata harus melengkapi diri dengan sertifikasi halal untuk produk. “Produk halal bukan hanya untuk muslim, tetapi untuk semua. Halal itu sudah pasti bersih dan sehat. Siapa pun wisatawannya dapat dengan tenang dengan label halal,” ujarnya.
Untuk lebih mendorong wisata halal, Kemenpar terus melakukan sosialisasi kepada sumber daya manusia (SDM) yang terlibat. Pelaku bisnis harus menyadari sertifikasi halal sangat penting, terlebih bagi wisatawan asing yang lebih percaya terhadap sebuah pengakuan dari lembaga terkait.
Bekerja sama dengan Kementerian Agama untuk memberi informasi bagaimana cara mengurus sertifikasi halal bagi usaha mereka. Di samping itu, pemerintah juga harus merespons inisiatif dari masyarakat yang sangat banyak seperti presentasi, pergelaran pameran, promosi-promosi berbasis produk halal semisal kosmetik halal, fashion halal.
Tazbir memprediksi pada 2018 akan semakin banyak produk yang memiliki sertifikasi halal karena sudah banyak yang mulai sadar dan ingin mengurus izin halalnya. Paket wisata halal juga diprediksi semakin berjamur.
“Kami baru bekerja sama dengan asosiasi biro perjalanan wisata dari daerah-daerah provinsi, baru 11 provinsi. Mereka sudah menyiapkan paket wisata. Diharapkan pada 2018, wisatawan ke Indonesia untuk paket halal itu. Ke depannya seluruh provinsi ada wisata halalnya,” ujar dia. Sementara itu pengamat pariwisata syariah Azril Azahari memiliki pandangan berbeda mengenai wisata halal.
Jika mengacu pada Fatwa MUI No 108 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah, bukan cuma makanan yang harus halal, tetapi seluruh produk wisata mesti sesuai dengan syariat Islam.
Azril yang juga Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia ini memang menyadari tidak bisa sepenuhnya wisata halal menerapkan syariat Islam. Untuk produk masih dimungkinkan. Namun untuk urusan layanan belum banyak yang menerapkan. Dia mencontohkan pemeriksaan kartu pengenal untuk memastikan wisatawan bersama muhrimnya.
Menurutnya, Indonesia sudah siap dengan tren wisata halal ini. Pemerintah dinilai sukses menangkap potensi yang ada dalam wisata halal. Namun dia mengharapkan Indonesia jangan fokus pada wisatawan muslimnya saja sebagai target pasar, tetapi juga wisatanya itu sendiri. Azril melihat wisata halal dapat menjadi wisata edukasi ataupun wisata sejarah.
“Kita mengenalkan ilmu sesuai dengan syariat Islam. Misalkan Rasulullah makan buah terlebih dahulu sebelum makan makanan utama, makan dengan tangan kanan, makan minum tidak boleh berdiri. Apa pun yang diajarkan Nabi atau sunah bagi kaum muslim dapat dibagikan kepada wisatawan,” ucapnya.
Menurut Azril, wisata halal bisa diterapkan untuk siapa pun karena pasarnya bukan hanya orang muslim. Mereka bisa datang dari negaranegara nonmuslim. “Mereka akan mengikuti kita memiliki konsep sendiri sesuai dengan syariat islam,” sambung Azril.
Maka konsep penamaan moslem friendly tourism atau wisata ramah muslim mungkin lebih tepat bagi wisata yang memang hanya ingin mempermudah muslim beraktivitas. Tak hanya makanannya yang halal, tapi juga kenyamanan beribadah. Yang harus diingat adalah wisata halal harus ramah bagi setiap pelancong.? (Ananda Naraya)
Dari sisi jumlah pengeluaran, wisatawan muslim diprediksi akan membelanjakan USD200 miliar pada 2020. Potensi ini pun disambut baik negaranegara mulai dari Timur Tengah, Malaysia, Singapura, Jepang, Korea hingga Thailand dan lain-lain. Indonesia pun tidak tinggal diam sebagai negara mayoritas muslim.
Indonesia ingin berperan dalam menyelenggarakan wisata muslim. Sejak tiga tahun lalu pemerintah melalui Kementrian Pariwisata (Kemenpar) sudah serius dengan membentuk tim percepatan wisata halal. Sekretaris Tim Percepatan Wisata Halal Kemenpar Tazbir menegaskan, wisata halal merupakan potensi perekonomian baru yang sudah diyakini banyak negara. Pasar bisnisnya sangat besar sehingga harus segera digarap. Mulai dari produk-produk lokal besar maupun dari usaha kecil yang berlabel halal.
“Sekarang sudah banyak produk dari luar negeri datang ke Indonesia sudah sekalian dengan label halalnya. Padahal makanan yang sama di sini ada, tapi belum ada label halalnya. Nanti orang malah beli produk luar,” ungkapnya.
Asisten Deputi Bisnis dan Pemerintah Kemenpar ini mencontohkan sebuah produk sambal dari Malaysia yang sudah masuk dengan label halal. Dia menyayangkannya karena produk itu sangat dekat dengan pariwisata karena gampang dibawa bepergian.
Untuk lingkup yang lebih besar, Tazbir juga mengatakan, bisnis wisata halal sebagai bisnis yang besar karena tidak lagi hanya memisahkan produk yang beralkohol dan yang tidak, tetapi juga membuat restoran halal atau bahkan hotel halal.
Tazbir menyebut Korea Selatan (Korsel) sudah menerapkan hal tersebut. Ini berkat K-Pop dan KDrama yang mampu menghipnosis banyak warga dunia, termasuk negara muslim. Kondisi ini mendorong Korsel menyiapkan kedatangan turis muslim dengan membuat restoran berlabel halal.
“Sudah bukan lagi hanya memasang pengumuman tidak menggunakan babi, tetapi langsung mengumumkan restoran mereka besertifikat halal. Turis muslim mana yang tidak tertarik?” tandasnya. Saat ini baru tiga provinsi di Indonesia yang menyandang status sebagai tujuan wisata halal karena pernah mendapatkan World Halal Tourism Award di Abu Dhabi.
Ketiganya adalah Aceh, Sumatera Barat, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun, menurut Tazbir, penghargaan saja jelas tidak cukup. Indonesia butuh amunisi lain untuk menarik wisatawan muslim agar mau berkunjung ke Tanah Air.
Daerah-daerah tujuan wisata harus melengkapi diri dengan sertifikasi halal untuk produk. “Produk halal bukan hanya untuk muslim, tetapi untuk semua. Halal itu sudah pasti bersih dan sehat. Siapa pun wisatawannya dapat dengan tenang dengan label halal,” ujarnya.
Untuk lebih mendorong wisata halal, Kemenpar terus melakukan sosialisasi kepada sumber daya manusia (SDM) yang terlibat. Pelaku bisnis harus menyadari sertifikasi halal sangat penting, terlebih bagi wisatawan asing yang lebih percaya terhadap sebuah pengakuan dari lembaga terkait.
Bekerja sama dengan Kementerian Agama untuk memberi informasi bagaimana cara mengurus sertifikasi halal bagi usaha mereka. Di samping itu, pemerintah juga harus merespons inisiatif dari masyarakat yang sangat banyak seperti presentasi, pergelaran pameran, promosi-promosi berbasis produk halal semisal kosmetik halal, fashion halal.
Tazbir memprediksi pada 2018 akan semakin banyak produk yang memiliki sertifikasi halal karena sudah banyak yang mulai sadar dan ingin mengurus izin halalnya. Paket wisata halal juga diprediksi semakin berjamur.
“Kami baru bekerja sama dengan asosiasi biro perjalanan wisata dari daerah-daerah provinsi, baru 11 provinsi. Mereka sudah menyiapkan paket wisata. Diharapkan pada 2018, wisatawan ke Indonesia untuk paket halal itu. Ke depannya seluruh provinsi ada wisata halalnya,” ujar dia. Sementara itu pengamat pariwisata syariah Azril Azahari memiliki pandangan berbeda mengenai wisata halal.
Jika mengacu pada Fatwa MUI No 108 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah, bukan cuma makanan yang harus halal, tetapi seluruh produk wisata mesti sesuai dengan syariat Islam.
Azril yang juga Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia ini memang menyadari tidak bisa sepenuhnya wisata halal menerapkan syariat Islam. Untuk produk masih dimungkinkan. Namun untuk urusan layanan belum banyak yang menerapkan. Dia mencontohkan pemeriksaan kartu pengenal untuk memastikan wisatawan bersama muhrimnya.
Menurutnya, Indonesia sudah siap dengan tren wisata halal ini. Pemerintah dinilai sukses menangkap potensi yang ada dalam wisata halal. Namun dia mengharapkan Indonesia jangan fokus pada wisatawan muslimnya saja sebagai target pasar, tetapi juga wisatanya itu sendiri. Azril melihat wisata halal dapat menjadi wisata edukasi ataupun wisata sejarah.
“Kita mengenalkan ilmu sesuai dengan syariat Islam. Misalkan Rasulullah makan buah terlebih dahulu sebelum makan makanan utama, makan dengan tangan kanan, makan minum tidak boleh berdiri. Apa pun yang diajarkan Nabi atau sunah bagi kaum muslim dapat dibagikan kepada wisatawan,” ucapnya.
Menurut Azril, wisata halal bisa diterapkan untuk siapa pun karena pasarnya bukan hanya orang muslim. Mereka bisa datang dari negaranegara nonmuslim. “Mereka akan mengikuti kita memiliki konsep sendiri sesuai dengan syariat islam,” sambung Azril.
Maka konsep penamaan moslem friendly tourism atau wisata ramah muslim mungkin lebih tepat bagi wisata yang memang hanya ingin mempermudah muslim beraktivitas. Tak hanya makanannya yang halal, tapi juga kenyamanan beribadah. Yang harus diingat adalah wisata halal harus ramah bagi setiap pelancong.? (Ananda Naraya)
(nfl)