Ternyata Ini Alasan Kenapa Orang Tua Tega Membunuh Anak Kandung
A
A
A
KASUS kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak kandungnya sendiri hingga korban meninggal dunia tak kunjung berhenti. Kasus terakhir terjadi di Kota Surabaya, Jawa Timur. Gio, bayi berusia 16 bulan tewas karena diduga dibanting oleh ayahnya sendiri, Panji Adi Saputro,30. Saat diperiksa di Rumah Sakit Universitas Airlangga, Selasa (9/1/2018), korban diketahui mengalami luka parah di bagian kepala serta patah di rusuk kirinya.
Sehari sebelumnya, masyarakat juga dikagetkan dengan aksi nekat Sulistiyani, seorang ibu muda yang mengajak bunuh diri bayinya, 4 bulan, dengan terjun dari lantai 10 di sebuah hotel di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Tak jauh beda juga dilakukan Taufik,27, warga Babakan Losari, Kecamatan Waled, Kabupaten Cirebon pekan lalu. Taufik membunuh anak kandungnya yang masih berusia 14 bulan ini dengan memberi minuman susu bercampur racun tikus. Aksi nekat Taufik bunuh diri bersama sang anak ini diduga karena depresi setelah istrinya yang tengah bekerja di Batam menolak pulang untuk mengurusi buah hatinya.
Psikolog dari Universitas Kristen Maranatha Bandung Efnie Indriyani menilai, munculnya kasus-kasus orang tua nekat membunuh anaknya sendiri lantaran adanya patologi perilaku. Penyimpangan perilaku ini juga tampak peran orang tua kandung pada kasus video porno anak di Bandung. Kasus ini sangat memprihatinkan karena ibu kandung bocah laki-laki tersebut menyaksikan saat pembuatan video porno tersebut.
Patologi dan gangguan fungsi mental itu, kata Efnie, terjadi akibat individu telah kehilangan akal sehat. Ini bisa terjadi karena pelaku mengalami stres berat berkepanjangan, menahun, dan tak terselesaikan. Akumulasi masalah menumpuk, sementara secara ketahanan mental, seseorang tak mampu menanggulanginya.
Umumnya, ujar Efnie, tindakan ekstrem muncul karena fungsi otak depan terhambat. Yang aktif justru amigdala di limbic system otak. Amigdala itu bersifat membajak logika, sehingga pelaku memberikan respons emosi sangat dahsyat dan spontan. Saat amigdala mengambil peran, orang seperti gelap mata dan tak mampu berpikir rasional.
Pembajakan amigdala terhadap fungsi otak depan atau logika terjadi dalam hitungan detik. Emosi negatif yang tersimpan di amigdala sudah begitu berat, memicu seseorang untuk melakukan tindakan tak rasional. Otak depan berfungsi sebagai pertimbangan rasional dan logika manusia, analisa berpikir yang baik, saat itu sama sekali tidak berfungsi. Sehingga, pada suatu titik, pelaku mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan persoalannya.
"Orang yang logika berpikirnya berfungsi baik, tentu tidak akan melakukan hal demikian," kata Efnie.
Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Bagong Suyanto menuturkan, maraknya aksi kekerasan yang dilakukan para orang tua selalu memposisikan anaknya sebagai korban. Kondisi ini tak lepas dari belum siapnya mereka memiliki momongan dan menghadapi kenyataan hidup. "Faktor kemiskinan tetap paling dominan menjadi penyebab semua ini. Makanya banyak korban itu berasal dari keluarga menengah ke bawah," ujar Bagong.
Psikis orang tua yang melakukan kekerasan pada anaknya pun selalu berada pada tekanan. Ada seorang ibu yang mengalami masalah dengan suaminya, dalam situasi ini pelampiasan yang dilakukan mengarah pada anaknya. Demikian juga dengan problem lainnya, kehadiran anak kerap dianggap sebagai biang masalah.
Selain itu, katanya, kebiasaan buruk dari orang tua yang sejak muda menjadi rutinitas kerap memicu terjadinya kekerasan. Kebiasaan seperti minum-minuman keras, kecanduan obat sampai berjudi yang masih dilakukan setelah mereka berumah tangga. Kondisi ini tentu menimbulkan gejolak pada keluarganya. "Mereka (pelaku) belum siap untuk menjadi orang tua. Bahkan banyak juga anak-anak yang jadi korban itu memang lahir tidak dikehendaki orang tuanya," ucapnya.
Bagong melihat kondisi ini masih berpotensi terjadi di berbagai kota besar yang ada di Indonesia. Pembinaan keluarga yang sehat serta kesiapan individu dalam membina rumah tangga menjadi kunci untuk menghindari kejadian kekerasan itu terulang. Kasus-kasus ini butuh pendampingan yang panjang. Komunikasi dengan keluarga pun menjadi penting, sehingga jika ada masalah bisa dibicarakan dengan baik.
Untuk kasus bunuh diri seorang ibu dan anaknya di Pati, menurut psikolog Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Ahmad M Akung, bisa dipengaruhi beberapa hal. Di antara faktor tersebut adalah meniru peristiwa lain. "Bisa jadi, cara ibu itu meniru orang lain dengan melakukan hal yang sama," ungkap Akung.
Kemudian, faktor prediposisi yang menurutnya lebih menyangkut kepribadian seseorang. Kepribadian ini sangat rentan untuk dipengaruhi seperti ketika seseorang mendapat tekanan, stres, depresi hingga tak berdaya. Dia menambahkan, faktor lainnya yang mempengaruhi seorang nekat bunuh diri adalah risiko. "Risiko tersebut bisa karena adanya tekanan ekonomi, problem rumah tangga. Jika semua itu tak ada saluran, seorang bisa melakukan dengan segala risikonya," jelas Akung.
Menyikapi maraknya kasus-kasus kekerasan yang dilakukan para orang tua tersebut, menurut Akung, yang paling urgen adalah menangani masalah psikologis. Karena selama ini, orang lebih menaruh perhatian pada soal kesehatan. "Padahal psikologis ini sangat penting, bisa jadi menjadi faktor kunci," katanya.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan para orang tua zaman sekarang harus menyiapkan diri menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam mendidik dan mengasuh anak-anak. Orang tua harus benar-benar memiliki kematangan emosional dan siap menyelesaikan problematika rumah tangga dengan bijak. Di saat yang sama orangtua perlu mengajarkan anak-anak akan nilai-nilai agama, moral dan etika agar kelak mereka bijak dalam menggunakan teknologi.
Sehari sebelumnya, masyarakat juga dikagetkan dengan aksi nekat Sulistiyani, seorang ibu muda yang mengajak bunuh diri bayinya, 4 bulan, dengan terjun dari lantai 10 di sebuah hotel di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Tak jauh beda juga dilakukan Taufik,27, warga Babakan Losari, Kecamatan Waled, Kabupaten Cirebon pekan lalu. Taufik membunuh anak kandungnya yang masih berusia 14 bulan ini dengan memberi minuman susu bercampur racun tikus. Aksi nekat Taufik bunuh diri bersama sang anak ini diduga karena depresi setelah istrinya yang tengah bekerja di Batam menolak pulang untuk mengurusi buah hatinya.
Psikolog dari Universitas Kristen Maranatha Bandung Efnie Indriyani menilai, munculnya kasus-kasus orang tua nekat membunuh anaknya sendiri lantaran adanya patologi perilaku. Penyimpangan perilaku ini juga tampak peran orang tua kandung pada kasus video porno anak di Bandung. Kasus ini sangat memprihatinkan karena ibu kandung bocah laki-laki tersebut menyaksikan saat pembuatan video porno tersebut.
Patologi dan gangguan fungsi mental itu, kata Efnie, terjadi akibat individu telah kehilangan akal sehat. Ini bisa terjadi karena pelaku mengalami stres berat berkepanjangan, menahun, dan tak terselesaikan. Akumulasi masalah menumpuk, sementara secara ketahanan mental, seseorang tak mampu menanggulanginya.
Umumnya, ujar Efnie, tindakan ekstrem muncul karena fungsi otak depan terhambat. Yang aktif justru amigdala di limbic system otak. Amigdala itu bersifat membajak logika, sehingga pelaku memberikan respons emosi sangat dahsyat dan spontan. Saat amigdala mengambil peran, orang seperti gelap mata dan tak mampu berpikir rasional.
Pembajakan amigdala terhadap fungsi otak depan atau logika terjadi dalam hitungan detik. Emosi negatif yang tersimpan di amigdala sudah begitu berat, memicu seseorang untuk melakukan tindakan tak rasional. Otak depan berfungsi sebagai pertimbangan rasional dan logika manusia, analisa berpikir yang baik, saat itu sama sekali tidak berfungsi. Sehingga, pada suatu titik, pelaku mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan persoalannya.
"Orang yang logika berpikirnya berfungsi baik, tentu tidak akan melakukan hal demikian," kata Efnie.
Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Bagong Suyanto menuturkan, maraknya aksi kekerasan yang dilakukan para orang tua selalu memposisikan anaknya sebagai korban. Kondisi ini tak lepas dari belum siapnya mereka memiliki momongan dan menghadapi kenyataan hidup. "Faktor kemiskinan tetap paling dominan menjadi penyebab semua ini. Makanya banyak korban itu berasal dari keluarga menengah ke bawah," ujar Bagong.
Psikis orang tua yang melakukan kekerasan pada anaknya pun selalu berada pada tekanan. Ada seorang ibu yang mengalami masalah dengan suaminya, dalam situasi ini pelampiasan yang dilakukan mengarah pada anaknya. Demikian juga dengan problem lainnya, kehadiran anak kerap dianggap sebagai biang masalah.
Selain itu, katanya, kebiasaan buruk dari orang tua yang sejak muda menjadi rutinitas kerap memicu terjadinya kekerasan. Kebiasaan seperti minum-minuman keras, kecanduan obat sampai berjudi yang masih dilakukan setelah mereka berumah tangga. Kondisi ini tentu menimbulkan gejolak pada keluarganya. "Mereka (pelaku) belum siap untuk menjadi orang tua. Bahkan banyak juga anak-anak yang jadi korban itu memang lahir tidak dikehendaki orang tuanya," ucapnya.
Bagong melihat kondisi ini masih berpotensi terjadi di berbagai kota besar yang ada di Indonesia. Pembinaan keluarga yang sehat serta kesiapan individu dalam membina rumah tangga menjadi kunci untuk menghindari kejadian kekerasan itu terulang. Kasus-kasus ini butuh pendampingan yang panjang. Komunikasi dengan keluarga pun menjadi penting, sehingga jika ada masalah bisa dibicarakan dengan baik.
Untuk kasus bunuh diri seorang ibu dan anaknya di Pati, menurut psikolog Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Ahmad M Akung, bisa dipengaruhi beberapa hal. Di antara faktor tersebut adalah meniru peristiwa lain. "Bisa jadi, cara ibu itu meniru orang lain dengan melakukan hal yang sama," ungkap Akung.
Kemudian, faktor prediposisi yang menurutnya lebih menyangkut kepribadian seseorang. Kepribadian ini sangat rentan untuk dipengaruhi seperti ketika seseorang mendapat tekanan, stres, depresi hingga tak berdaya. Dia menambahkan, faktor lainnya yang mempengaruhi seorang nekat bunuh diri adalah risiko. "Risiko tersebut bisa karena adanya tekanan ekonomi, problem rumah tangga. Jika semua itu tak ada saluran, seorang bisa melakukan dengan segala risikonya," jelas Akung.
Menyikapi maraknya kasus-kasus kekerasan yang dilakukan para orang tua tersebut, menurut Akung, yang paling urgen adalah menangani masalah psikologis. Karena selama ini, orang lebih menaruh perhatian pada soal kesehatan. "Padahal psikologis ini sangat penting, bisa jadi menjadi faktor kunci," katanya.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan para orang tua zaman sekarang harus menyiapkan diri menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam mendidik dan mengasuh anak-anak. Orang tua harus benar-benar memiliki kematangan emosional dan siap menyelesaikan problematika rumah tangga dengan bijak. Di saat yang sama orangtua perlu mengajarkan anak-anak akan nilai-nilai agama, moral dan etika agar kelak mereka bijak dalam menggunakan teknologi.
(amm)