Dedikasi Sepenuh Hati untuk Anak

Minggu, 18 Maret 2018 - 09:19 WIB
Dedikasi Sepenuh Hati untuk Anak
Dedikasi Sepenuh Hati untuk Anak
A A A
SIAPA bilang menjadi ibu itu mudah? Bukan soal melahirkan dan menjaga anak saja, tetapi sesungguhnya tugas seorang ibu lebih dari itu. Ibulah yang dapat membangun peradaban dari dalam rumah.

Makanya Septi Peni Wulandani merasa perlu menumbuhkan jiwa profesionalisme para ibu. Septi merasa menjadi seorang ibu rumah tangga (IRT) adalah pekerjaan yang sangat serius sehingga harus dilakukan sepenuh hati dengan jiwa profesionalisme yang tinggi. Hal tersebut merupakan didikan suaminya sejak awal pernikahan.

Bekal ilmu dari sang suami itulah yang dirasakan manfaatnya hingga anak-anak mereka mampu mandiri di usia belasan tahun. Septi ingin menularkan pengalamannya agar setiap ibu bisa belajar menjadi profesional seperti dia. Maka lahirlah Komunitas Ibu Profesional dan berkembang menjadi Institut Ibu Profesional. Terdengar seperti sekolah? Ya.

Tidak ada sekolah untuk menjadi ibu, padahal peran ibu sangat besar bagi keluarganya. Institut Ibu Profesional adalah tempat belajar para ibu agar IRT bangga dengan profesi yang dipilihnya walau hanya “bertugas” di rumah mengurus suami, anak, dan pekerjaan rumah tangga.

Seperti apa institut besutan Septi itu dan bagaimana ia bisa merangkul belasan ribu kaum ibu di Indonesia, bahkan para ibu Indonesia yang tinggal di seluruh dunia? Berikut cerita ibu tiga anak ini kepada KORAN SINDO.

Bagaimana awal Komunitas Ibu Profesional berdiri?
Hasil dari didikan suami yang saya ingin bagikan kepada sesama ibu. Jadi, ketika saya menikah pada 1995, suami punya cita-cita anak dididik oleh ibunya, bukan orang lain. Sekalipun itu kakek dan neneknya. Akhirnya saya menjadi IRT, meninggalkan profesi saya sebagai PNS.

Ternyata menjadi IRT di Indonesia itu dikatakan sebagai perempuan yang menganggur, tidak punya pekerjaan, sehingga profesi IRT tidak menjadi pilihan banyak perempuan. Akhirnya saya berproses dari tahun 1995 sampai 2009 untuk bisa membuat IRT itu keren.

Berproses dari yang tadinya menjadi kasir keluarga punya ilmu untuk meningkatkan kemampuan menjadi manajer keuangan. Ketika jadi tukang masak harus naik tingkat menjadi manajer gizi. Saat saya menjadi tukang antar-jemput anak, harus juga meningkat menjadi manajer pendidikan keluarga.

Proses itu saya kerjakan dan dilatih langsung oleh suami saya, Pak Dodik Mariyanto. Ada tahapan yang harus dilalui dari 1995 hingga 2008 seperti Bunda Sayang, yaitu bagaimana mendidik anak dengan benar. Kemudian ada Bunda Cekatan, bagaimana menjadi manajer keluarga.

Bunda Produktif, bagaimana saya jadi mandiri secara finansial tanpa meninggalkan anak dan keluarga. Bunda Shalilah, bagaimana keberadaan saya ini bermanfaat bagi diri saya dan lingkungan. Setelah saya berproses, saya menyadari di Indonesia seharusnya tidak ada yang namanya IRT, yang ada hanya ibu bekerja. Ibu bekerja yang memilih di ranah publik dan ibu bekerja di ranah domestik.

Dua-duanya perlu kesungguhan, profesional, dan sama-sama mulia. Muncullah Komunitas Ibu Profesional pada 2011. Pada saat itu anak saya yang paling besar sudah berusia 15 tahun, yang kedua 14 tahun, dan yang ketiga 7 tahun. Ibu Profesional dimulai secara offline dari dua ibu.

Mereka tinggal di wilayah Salatiga. Setiap minggu kami belajar bersama. Dari dua ibu jadi empat, kemudian delapan dan seterusnya. Terus bertambah sampai setahun berjalan, anggota yang ikut belajar jadi sebanyak 100 ibu. Pada 2012 mulai diunggah online, kami punya website.
Dari situ mulai muncul Komunitas Ibu Profesional di Sumatera, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Selain online , mereka juga melakukan kopi darat di berbagai daerah. Tahun 2013 saya menjalankan Webinar atau seminar online . Saya mulai melakukan sistematisasi materi yang sudah saya lakukan dari 1995 hingga 2008 itu untuk dibuat bahan perkuliahan secara rutin tiap pekan.

Akhirnya komunitas ini disebut juga Institut Ibu Profesional karena memang layaknya di sebuah lembaga pendidikan. Seminar online pun terus dilakukan oleh ibu-ibu di seluruh Indonesia, bahkan beberapa ibu di ASEAN. Ada sekitar 3.000 ibu di luar negeri atau para diaspora yang ikut seminar secara online selama 2013-2015.

Mereka ibu yang berpendidikan tinggi. Biasanya ilmu mereka tidak terpakai ketika tinggal di luar negeri. Itu yang membuat mereka minder meskipun sudah menempuh jenjang pendidikan S-2 maupun S-3. Setelah bertemu Komunitas Ibu Profesional, mereka bisa kembali membangkitkan potensi di luar negeri. Membuat mereka berkomunitas dan eksis.

Merasa keren walau mengurus anak saja di rumah. Semakin tahun pembelajaran semakin mudah. Pada 2015 kami membuat kelas di aplikasi chatting Whattsapp. Ternyata cara ini membuat semakin banyak ibu dapat belajar di Institut Ibu Profesional. Tahun ini sudah ada 18.000 ibu yang belajar di Institut Ibu Profesional.

Dengan banyaknya ibu yang ingin belajar, siapa saja yang membantu Anda dan apakah Anda masih terlibat aktif di dalamnya?
Memang awal dimulai dari saya sendiri, kemudian mendapat tim yang mau belajar offline. Dari mereka yang offline, kemudian online. Pertama kali mereka jadi fasilitator adiknya di angkatan berikutnya. Mereka yang ikut awal akan naik kelas, yang sudah naik kelas akan memfasilitasi yang baru atau adik kelasnya. Pokoknya mereka yang aktif sejak awal akan menjadi fasilitator di kemudian hari.

Anak-anak Anda sekarang ikut bergabung untuk membesarkan Komunitas Ibu Profesional. Bagaimana ceritanya, apakah mereka yang bakal meneruskan komunitas yang Anda bangun ini?
Karena ini merupakan sebuah proses, kami tumbuh bersama di keluarga. Saya berbagi peran dengan anak. Mereka sudah punya dunia sendiri, namun satu jalur dengan saya. Seperti anak kedua saya, Ara Kusuma yang aktif di Ashoka Global, sehingga saya memberi peran untuk dia membuka jalan bagi Institut Ibu Profesional agar lebih dikenal.

Jadi sebenarnya saya yang nebeng ke anak saya. Tidak mungkin para emak selincah anak remaja. Ara membuka jalan untuk visi global kami. Dia juga mendelegasikan kakaknya untuk mempresentasikan tentang konsep komunitas Ibu Profesional, digabungkan dengan konsep sekolah yang sedang dia bangun.

Bagaimana pendidikan orang tua di dalam sekolah untuk dipresentasikan di Prancis. Sebenarnya Ara yang mendapat peluang itu, tapi mendelegasikannya kepada sang kakak, Enes Kusuma. Kesempatan ini yang akan membuka jalan untuk Institut Ibu Profesional non-Asia. Keliling Eropa untuk bertemu para ibu diaspora, belajar bersama, dan membangun komunitas bersama.

Apa yang mendasari anak-anak Anda mau ikut bergabung dan seperti apa kehidupan anak-anak hasil dari didikan Ibu Profesional yang Anda terapkan?
Kami menguatkan home base education sejak mereka kecil. Pendidikan keluarga dikuatkan. Itu bagian dari meningkatkan diri saya menjadi manajer pendidikan keluarga. Saya bersama suami meramu konsep pendidikan yang ramah anak dan layak untuk pendidikan anak.

Ternyata memang benar, ketika kami melakukan itu kepada anakanak di rumah, hasilnya mereka kami biayai hanya sampai usia 12 tahun. Setelah itu mereka bisa mencari cara sendiri, menemukan passion sendiri, menemukan komunitas sendiri, dan berkembang sampai sekarang. Anak pertama dan kedua sekolah formal.

Anak ketiga tidak sama sekali, tapi justru lebih cepat mandiri. Dia sudah melihat proses yang dijalani kedua kakaknya. Kakaknya kalau lewat sekolah formal, sayang sekali banyak waktu yang terbuang. Dia lalu minta izin kepada saya dan ayahnya untuk tidak sekolah. Alasannya sederhana, karena dia tidak mau cari ijazah.

Dia sudah semakin tahu karena memperhatikan kedua kakaknya. Kata dia, “Biarkan teman-temanku capai cari ijazah selama 15 tahun. Tapi aku mau membangun perusahaanku selama 15 tahun untuk menampung semua ijazah temantemanku.”

Karena pemikiran berbeda itu yang membuat saya dan ayahnya setuju. Tidak menempuh pendidikan formal dan ternyata lebih cepat mandiri daripada kakak-kakaknya. Sekarang si bungsu, Elan JM, sudah pisah rumah, sudah punya usaha. Dia punya karyawan dan tim sendiri.

Apa feedback yang paling berkesan dari para ibu itu?
Banyak ibu, khususnya yang mengambil profesi domestik, kehilangan jati diri mereka. Tapi, setelah ikut Institut Ibu Profesional, mereka kembali percaya diri, menemukan dunia yang selama ini dicari. Mereka bisa berkontribusi untuk tetap mendidik anak dengan benar, tapi jati diri mereka keluar sesuai dengan bakat.

Ada yang resign dari pekerjaan. Mereka selama ini ambisius terhadap pekerjaan. Tapi, setelah bergabung dengan Institut Ibu Profesional, mereka menyadari untuk fokus pada anak dulu di 12 tahun pertama anak mereka. Kemudian ada juga impact dari suami.

Mereka berterima kasih, menyadari sebenarnya ini tugas mereka mendidik para istri sehingga seperti beban mereka sedikit hilang lantaran istri sudah dididik di Institut Ibu Profesional. Hikmahnya lagi, saudara saya semakin banyak. Di ujung dunia mana pun, kalau saya terdampar pasti ada temannya.

Para anggota juga seperti itu. Saat ikut suami pindah ke luar kota, ada saja teman di kota itu yang dikenal. Bagi ibu yang single parent, ini menjadi kekuatan tersendiri buat mereka.

Menurut Anda, apa beda Institut Ibu Profesional dengan kelas parenting yang sering diselenggarakan psikolog?
Berbeda sekali. Kalau kelas parenting itu hanya teori dari psikolog. Beberapa ada yang belum mereka jalankan, jadi tidak merasakan. Kalau kami, pematerinya pernah menjalankannya. Saya membimbing sekumpulan ibu, lalu mereka menjadi fasilitator. Fasilitator dites, kami selesai batch setahun.

Mereka praktik dulu, sebulan satu materi. Kemudian praktik menulis 10 hari. Mereka banyak praktik lalu ganti lagi selama 12 kali dalam setahun. Perbedaannya, tentu kami banyak praktik dan menemukan teori baru dari hasil praktik tersebut.

Apa pandangan Anda tentang ibu masa kini dan pesan untuk mereka?
Ibu-ibu yang punya anak di bawah 10 tahun kebanyakan kelahiran 1980-1990-an. Mereka termasuk generasi Y yang digital native, tapi masih euforia, kadang berlebihan dalam menanggapi. Kalau bahasa orang Jawa, ojo kagetan ojo komunan, jangan terlalu kaget, jangan terlalu heran.

Fokus ke anak, jangan membandingkan anak kita dengan anak orang lain. Generasi ini kan sukanya update status, pamer berhasil mendidik anaknya. Bukan karena kesadaran membuat portofolio anak dan menjadi bagian dari perjalanan kehidupan anak. Kebanyakan sekarang hanya untuk melampiaskan kesenangan di dunia digital.

Makanya saya masuk ranah online agar mereka bisa eksis di dunia online, tapi bertanggung jawab. Jadi punya tulisan banyak yang rapi tentang tumbuh kembang anak, bukan hanya upload asal pamer. (Ananda Nararya)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4431 seconds (0.1#10.140)