Sekuel Sicario, Strategi Kotor demi Menangkan Perang

Sabtu, 30 Juni 2018 - 12:22 WIB
Sekuel Sicario, Strategi Kotor demi Menangkan Perang
Sekuel Sicario, Strategi Kotor demi Menangkan Perang
A A A
SEKUEL Sicario (2015) ini hadir dengan cerita yang lebih rumit, lengkap dengan strategi yang lebih kotor dan tanpa aturan.
Tiga tahun lalu, Sicario hadir membawa kisah kotor CIA yang berkolaborasi dengan pembunuh bayaran (sicario) Kolombia dalam meminimalisasi kekuatan kartel narkoba Meksiko. Kali ini Day of the Soldado masih berurusan dengan kartel narkoba, tapi dalam urusan yang lebih kompleks. Diceritakan, kartel Meksiko tak lagi sekadar mengekspor narkoba ke Amerika Serikat. Mereka kini juga membawa teroris menye bekang ke Negeri Paman Sam melalui perbatasan yang dikuasai kartel Matamoros.

Saat satu teroris tertangkap dan meledakkan diri saat akan menyeberang. Tak berapa lama kemudian tiga teroris melakukan bom bunuh diri di sebuah supermarket. Pemerintah Amerika Serikat pun langsung bertindak. Mereka ingin mengetahui dari mana para teroris itu berasal. Sekalian juga pemerintah ingin “balas dendam” dengan kartel-kartel di Meksiko dengan cara menciptakan perang di antara mereka. Tentu saja, untuk melakukannya, diperlukan sebuah operasi hitam bawah tanah, yang jika ketahuan, pemerintah akan langsung menyangkal keterlibatan mereka. Untuk melakukan operasi kotor ini, para ahli dipanggil.

Kita pun bertemu kembali dengan agen CIA Matt Graver (Josh Brolin) dan rekan lepasnya, sang sicario Alejandro Gillick (Benicio del Toro). Misi mereka adalah melakukan pembunuhan orang penting di kartel Matamoros, lalu menculik Isabela Reyes (Isabela Moner), putri dari penguasa kartel Reyes, dengan pesan bahwa kartel Matamoroslah yang melakukan penculikan tersebut. Dengan menciptakan hasut dan perang di antara dua kartel terkuat tersebut, Amerika Serikat berharap kedua kartel akan lebih mudah ditaklukkan. Sayangnya, operasi berubah kacau saat para polisi korup Meksiko terlibat dalam perebutan Isabela.

Takut dianggap cari ribut dengan pemerintah Meksiko dan membahayakan kekuasaan presiden Amerika Serikat, pemerintah pun langsung menutup operasi ini, meninggalkan kekacauan yang harus diatasi oleh Matt dan Alejandro. Soldado melipatgandakan semua elemen cerita dan adegan aksinya dari yang sudah diperlihatkan dalam Sicario. Film ini memberi porsi yang besar pada adegan aksi tembak-tembakan yang lebih brutal. Di tangan sutradara pengganti Stefano Sollima (sebelumnya dipegang Denis Villeneuve), adegan ini dibuat mendebarkan, dengan desingan peluru bertubi-tubi, baik dari jarak dekat maupun jauh, lengkap dengan ceceran darah di mana-mana. Didukung visual apik, adegan aksi tersaji dengan menyenangkan.

Sementara dari sisi cerita, konfliknya terasa lebih rumit. Sama seperti film pertamanya, film ini juga menyediakan subplot tentang Miguel Hernandez (Elijah Rodri quez), seorang remaja tanggung yang baru bergabung dengan kartel Matamoros, dengan tugas membawa imigran ilegal melewati perbatasan. Adapun yang membuat Soldado jadi sedikit berbeda dengan Sicario adalah, meski tetap berdasar pada aturan “tidak ada aturan” dan “bebas ikatan moral”, film ini mencoba menampilkan sisi humanis Alejandro dan Matt.

Dilihat dari satu sisi, ini hal yang menarik. Namun, dilihat dari sisi lain, bagian ini jadi membuat Soldado terasa klise karena berusaha membuat karakternya terlihat “baik”. Berbeda dengan Sicario yang karakterkarakternya bekerja secara efektif dengan cerita efisien, membuatnya sukses meninggalkan kesan pahit di akhir kisah. Dengan cerita yang punya banyak elemen dan adegan aksi yang lebih banyak ini, Soldado kadang jadi terasa “penuh” dan bising. Apa lagi dengan durasi panjang lebih dari dua jam.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7068 seconds (0.1#10.140)