Dietrich Mateschitz Dirikan Red Bull Karena Jet Lag

Selasa, 03 Juli 2018 - 12:16 WIB
Dietrich Mateschitz Dirikan Red Bull Karena Jet Lag
Dietrich Mateschitz Dirikan Red Bull Karena Jet Lag
A A A
DIETRICH Mateschitz mendirikan Red Bull bersama seorang pengusaha Thailand bernama Chaleo Yoovidhya pada 1984.
Sejak awal, Dietrich tahu bahwa dia akan menghadapi tantangan besar saat memasarkan minuman yang menjanjikan dapat meningkatkan energi itu. Sebab, produk itu sangat sulit dipasarkan karena sejumlah alasan. Pertama, karena rasanya yang aneh. Kedua, minuman energi tidak dianggap sebagai bisnis yang menguntungkan saat itu karena ada susu dan suplemen sehat. Konsumen lebih memilih beralih ke pil dan kapsul jika membutuhkan tambahan energi ekstra.

Tidak ada pasar peminum energi untuk memulainya. Akhirnya, Red Bull diberi dua kali lipat dari produk minuman lainnya. Lalu, bagaimana Red Bull tumbuh dari USD1 juta menjadi investasi miliaran dolar? Dietrich Mateschitz menerjang jalan yang belum pernah dilalui siapa pun. Puncak kesuksesannya sekarang bukan perjalanan mudah. Dietrich harus menginvestasikan semua yang dia miliki dan mengandalkan pengalaman dan keahliannya untuk mendapatkan konsumen. Butuh waktu tiga tahun baginya untuk menyempurnakan formula dengan bantuan perusahaan farmasi Thailand.

Dietrich bukanlah tipe orang yang menghindar dari tantangan. Keberaniannya menginvestasikan semua tabungannya dalam Red Bull membuat dia tidak bisa gagal atau akan kehilangan segalanya, baik uang maupun kredibilitas. Red Bull kini diakui tidak hanya sebagai merek minuman energi, tetapi lebih dikenal sebagai sponsor utama tim balap, tim sepak bola, serta acara olahraga ekstrem. Rasaya yang aneh tidak mengubah apa pun untuk menghalangi pertumbuhan pasar Red Bull. Lahir di Sankt Marein im Mürztal, Stiria, Austria, Dietrich berasal dari keluarga konservatif. Ibunya melahirkan Dietrich pada 20 Mei 1944 saat Perang Dunia II berkecamuk.

Kedua orang tuanya adalah guru sekolah dasar. Sayangnya, mereka berpisah ketika Dietrich masih sangat muda. Setelah menyelesaikan sekolah menengah di Styria, Dietrich melanjutkan kuliah di Wina mengambil Jurusan Ekonomi dan Administrasi Bisnis. Berasal dari kota kecil, Dietrich mudah terpikat dengan berbagai godaan kota besar. Dia menghabiskan 10 tahun hidupnya berkuliah di Hochschule für Welthandel. Mulai kuliah di usia 18 tahun dan selesai 28 tahun.

Mungkin Dietrich adalah satusatunya orang kaya yang tidak memiliki catatan pendidikan yang membanggakan. Keba nyakan orang yang sukses akan memiliki gelar doktor pada usia Dietrich akhirnya menyelesaikan studi sarjananya. Untuk membiayai kuliahnya, dia harus bekerja paruh waktu sebagai instruktur ski. Sepuluh tahun di perguruan tinggi pasti mengajarkan Dietrich banyak hal tentang periklanan. Lulus di usia 28, Dietrich ingin langsung mengaplikasikan apa yang dia pelajari ke praktik. Unilever melihat dorongan itu dalam dirinya dan menerimanya terlepas catatan kuliahnya yang tidak mengesankan.

Dia mengundurkan diri dari Unilever dan bergabung dengan Blendax, sebuah perusahaan pasta gigi Jerman yang kemu dian dibeli Procter & Gamble. Dietrich menghabiskan 10 ta hun memasarkan produk sampo dan pasta gigi. Blendax meng akui bakat Dietrich, menugaskannya lebih banyak ke luar negeri. Sepuluh tahun berlalu, di usia 38 tahun dia mulai bosan. Dia tidak yakin apakah bisa bertahan dalam siklus yang mem bosan kan selama 10 tahun lagi. Tugas memanggilnya ke Thailand. Penerbangan panjang (hampir 11 jam) dari Wina ke Bangkok menguras energi Dietrich.

Sepuluh tahun ber keliling dunia hanya sedikit membuatnya terbiasa dengan perjalanan jauh. Dia sering menderita kasus jet lag serius setiap kali dia pergi ke negara-negara Asia. Menemukan Krating Daeng Dalam perjalanan dari bandara ke hotel, supir taksi Thailand memperhatikan bagaimana penerbangan panjang membuat penumpangnya kesal. Dia merekomendasikan Dietrich mencoba Krating Daeng. Sesampainya di hotelnya, kelelahan Dietrich semakin mengganggu pikirannya. Lalu, dia meminta sebotol Krating Daeng dari apotek terdekat. Baginya, berani mencicipi minuman energi lokal Thailand lebih baik daripada rapat dalam kondisi sakit kepala.

Waktu pertama meneguk Krating Daeng, dia hampir muntah, tetapi tetap diteruskan dengan kedua mata tertutup dan ternyata jet lag-nya hilang. Hanya butuh beberapa menit baginya untuk mendapatkan kembali energi dan menyingkirkan jet lag-nya. Tidak ada yang seperti Krating Daeng di Eropa. Memang ada kopi untuk menyemangati mereka pada pagi hari, tapi Krating Daeng akan menjawab apa yang tidak bisa ditangani kopi; jet lag dan kurangnya vitalitas. Namun, dia berpikir untuk mengubah resepnya agar lebih enak, membuatnya berkarbonasi.

Jika Anda telah berada di industri pemasaran selama Dietrich pada saat itu, tidak akan butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Menggunakan koneksi di Blen dax, dia menghubungi rekannya, Chaleo Yoovidhya. Chaleo memiliki afiliasi di TCBG Pharmaceuticals yang mem produksi Krating Daeng. Chaleo, pemilik Krating Daeng itu, mengambil ide minuman energi dari merek Jepang bernama Lipovitan-D. Terintimidasi oleh persaing an ketat di kota, Chaleo me nyadap pa sar pedesaan dan mulai menjual Krating Daeng pada 1962. Krating Daeng dijajakan penduduk setempat kepada supir truk dan pekerja keras lainnya. Segera setelah itu, minuman energi Chaleo menjadi populer, bahkan di Bangkok. Kisah sukses Chaleo meyakinkan Dietrich untuk menciptakan minuman toniknya sen diri dengan gaya Eropa. Untuk memulai bisnis minuman energinya, Dietrich harus membayar besar.

Bagi Dietrich yang mencari nafkah dengan bekerja di Blendax, uang USD500.000 adalah semua tabungan pribadinya. Dia berani mem pertaruhkan semua simpanan seumur hidupnya dalam sebuah bisnis yang tidak ada seorang pun yang dijamin akan berhasil. Chaleo melihat kesungguhan Dietrich dan setuju menginvestasikan USD500.000 yang sama untuk mewujudkannya. Keduanya juga memutuskan untuk memiliki bagian yang sama sebesar 49% di perusahaan dengan sisa 2% diberikan kepada Chalerm Yoovidhya, putra Chaleo. Sangat mudah bagi Dietrich untuk menyerahkan pengunduran dirinya ke manajemen Blendax.

Dia merasa bahwa 10 tahun sudah lebih dari cukup pengalaman kerja. Pertamatama, dia membutuhkan nama merek. Krating daeng diterjemahkan ke bahasa Inggris berarti ëkerbau airí. “Red Bull” terdengar lebih keren daripada “Water Buffalo“, jadi dia mengadopsi nama itu. Dengan bantuan TCBG Pharmaceuticals, Dietrich menyesuaikan selera dan konsistensi Red Bull dengan mengubah sirup menjadi minuman berkarbonasi. Selanjutnya, branding dan pemasaran. Inilah dua faktor penentu yang membedakan Red Bull dari minuman tonik Asia Tenggara. Untuk melakukan itu, dia meminta bantuan teman lamanya, Johannes Kastner, yang memiliki biro iklan di Frankfurt.

Johannes pusing karena hanya untuk tata letak kemasan saja membutuhkan waktu 1,5 tahun dan 50 bentuk desain untuk disetujui. Ini karena Dietrich ingin Red Bull tidak ingin menjadi minuman biasa. Apa yang tertuang dalam rasa harus diolah dalam kemasan. Terakhir, ada tagline . Johan neslah yang datang dengan tagline Gives You Wings (Memberi Anda Sayap). Karena tujuannya untuk menambah energi, Dietrich merasa minumannya paling cocok digunakan para atlet. Lalu, dia meminta bantuan pem - balap Austria, pemenang 10 kali kejuaraan Formula 1, Gerhard Berger.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5144 seconds (0.1#10.140)