Geliat Kehidupan Masyarakat Sebatik di Antara Tawau dan Surabaya

Minggu, 28 Oktober 2018 - 09:53 WIB
Geliat Kehidupan Masyarakat...
Geliat Kehidupan Masyarakat Sebatik di Antara Tawau dan Surabaya
A A A
SEBATIK - Empat perahu kecil bersandar di kawasan Sungai Limau di sisi utara Patok 3, Aji Kuning, Kecamatan Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara, Kamis (18/10/2018) siang.

Kedatangan perahu menjadi suasana yang paling sibuk di siang itu. Beberapa orang mulai menyambut, mereka yang berdatangan dari sejumlah golongan melakukan bongkar muat barang, mulai dari tabung gas, beras, hingga makanan kecil lainnya.

Bak gula dengan semut, kian lama warga mulai menyemuti dermaga ini. Pasar kaget seketika bermunculan, beberapa orang mulai berdatangan menyambut barang.

Ibu menggunakan sepeda motor matik tampak mengangkut sejumlah beras dengan karung kecil, para pria dewasa mencoba mengangkut tabung gas, sementara anak-anak membeli beberapa makanan ringan.

Aktivitas di Sungai Limau sudah terjadi sejak lama, jauh sebelum Indonesia dan Malaysia memproklamirkan kemerdekaannya. Kawasan ini memang dikenal sebagai salah satu pintu masuk jalur perdagangan dan aktivitas ekonomi di Pulau Sebatik.

Beberapa hari sekali kapal kayu dari Malaysia datang membawa sejumlah bahan makanan. Kondisi tak jauh beda terjadi di Pasar Sei Nyamuk, yang berlokasi hampir delapan kilometer dari Patok 3.

Aktivitas di sana tampak hidup dengan mengandalkan barang dari Malaysia. Sejumlah warung toko kelontong maupun sembako tampak menjual beberapa barang Malaysia, mulai dari susu, minuman kemasan, makanan ringan, hingga beras.

Barang itu sengaja didatangkan langsung dari Malaysia demi memenuhi isi perut masyarakat Sebatik yang berjumlah ribuan orang. “Kalau barang dari Surabaya, harganya mahal dan bisa makan waktu lama,” kata Lizah, 24, pemilik toko UD Nur Syaidah, salah satu toko kelontong di Sebatik.

Bagi masyarakat Sebatik, kondisi demikian merupakan hal yang biasa. Pulau Sebatik merupakan pulau yang berbatasan langsung dengan Malaysia sehingga pulau ini terbagi dua, Indonesia dan Malaysia. Untuk mendatangkan barang dan memenuhi kebutuhan sembako masyarakat di sana, warga mengandalkan dari Tawau, Malaysia yang berjarak beberapa kilometer.

Sementara bila mengandalkan pasokan dalam negeri, memakan waktu berhari-hari lantaran pasokan terdekat berasal dari Makassar atau Surabaya. “Apa mau dikata, kalau dari Makassar atau Surabaya membutuhkan 4-5 hari, produk baru sampai.

Tentu harga operasi logistik melambung, ini akan sangat berat untuk perbatasan,” jelas Advisor Human Resources Division Kadin Kalimantan Utara (Kaltara) Mohammad Aidi Hendrik.

Melihat kondisi demikian, tak heran di Sebatik pembelian uang masih menggunakan dua mata uang, yakni ringgit Malaysia dan rupiah Indonesia. Para pedagang pun tak merasa kerepotan bila ada masyarakat yang membeli barang menggunakan mata uang ringgit sebab uang ringgit nanti digunakan untuk mengambil dan menyetok barang dari Malaysia.

Meskipun demikian, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di sana, pemerintah pusat melalui tol laut yang dicanangkan Presiden Jokowi telah mengupayakan barang produk Indonesia untuk sampai ke Nunukan dan Sebatik.

Namun, karena lokasi yang jauh dan kondisi alam yang tak menentu, barang yang tersuplai tak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Aidi mengakui kondisi ini menimbulkan sikap dilematis, sistem tradisional barter trade yang terjadi tak bermaksud mengdiskreditkan barang dalam negeri.

Asalkan suplai barang terpenuhi, masyarakat bisa akan mengonsumsi produk lokal. Sikap sama juga diungkapkan Asisten Deputi Pengelolaan Batas Negara Wilayah Darat, Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara (BNPP), Indra Purnama yang mengakui ekonomi masyarakat di sini saling membutuhkan.

Kondisi yang berbatasan mengharuskan masyarakat Nunukan dan Sebatik mengandalkan langsung pasokan barang dari Malaysia, terutama pasokan sembako. “Yah suka tidak suka, kita butuh mereka.

Ini bukan persoalan ilegal, tapi untuk kebutuhan perut. Satu sisi pemerintah pusat juga tengah mengupayakan pasokan barang bisa terus disuplai hingga ke sini,” ucapnya.

Potensi Ekonomi dan Wisata

Kondisi alam Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik yang asri dan belum terjamah pembangunan membuat dua pulau ini dipenuhi potensi wisata dan ekonomi. Hamparan bukit hijau dan sejuk dan liukan jalan membuat pemandangan cukup menyenangkan.

Kicau burung dan embusan angin pantai terdengar begitu jelas. Di Pos Bambangan, Sebatik misalnya kawasan ini memiliki letak yang cukup tinggi di antara kawasan lainnya di Pulau Sebatik. Tebing yang curam, hamparan pohon indah, menjadi kesejukan mata.

Daerah ini juga jauh dari bising kendaraan dan hiruk-pikuk perkotaan. Kicau burung-burung terdengar di sisi jalanan. Kepakan sayap burung elang gunung terdengar begitu jelas.

Bila beruntung, kita akan disajikan bagaimana elang menerkam mangsanya. Kondisi tak jauh berbeda juga terlihat di bibir pantai. Belum terjamah dari masyarakat membuat dua pantai, Batu Lamampu dan Kayu Angin, menjadi lokasi beristirahat yang enak.

Dua pantai ini memiliki karakteristik berbeda. Pantai Batu Lamampu nyaris tak terjamah dengan orang. Untuk mengaksesnya membutuhkan jarak sekitar 500 meter dari mobil yang terparkir di kebun sawit.

Pantai ini cukup sepi, tak ada orang yang beraktivitas. Pasir-pasir pantai lembut membuat kaki malas melangkah, angin sepoi membuat rasa kantuk muncul. Desiran ombak membuat badan ingin bermain air.

Di sisi pantai terdapat bukit yang terdapat tempat beristirahat. Beberapa warga yang selesai bermain kerap beristirahat di tempat itu. Kondisi berbeda di Pantai Kayu Angin, berlokasi tak jauh dari Pantai Batu Lamampu.

Kondisi pantai terlihat sedikit ramai karena berlokasi dengan permukiman nelayan. Bermain di pantai ini kita bisa menikmati ikan yang merupakan hasil tangkapan nelayan lokal.

“Biasanya kalau wisata di sini, banyak yang sambil makan ikan,” kata Sardi, 45, warga di Pantai Kayu Angin. Tak hanya keindahan alam, Kabupaten Nunukan juga memiliki tempat menarik untuk berswafoto.

Satu di antaranya Tugu Dwikora yang berlokasi di alun-alun. Tugu ini setiap sore dipenuhi banyak pelancong yang berswafoto untuk mengabadikan monumen bersejarah konfrontasi Malaysia era Presiden Soekarno itu.

Untuk wisata religi, ada pula Masjid Hidayaturrrahman yang berlokasi di Islamic Centre. Masjid ini cukup megah berdiri di lahan 10 hektare, empat tiang dengan lima kubah membuat masjid ini cukup kokoh. Taman-taman hijau di bibir pantai membuat masjid sayang tak dikunjungi bila berada di Nunukan.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0598 seconds (0.1#10.140)