Riset Baru Sebut Aksi Superhero Lebih Kasar Ketimbang Aksi Thanos
A
A
A
JAKARTA - Para penggemar Marvel Cinematic Universe (MCU) pasti tahu bahwa Thanos adalah penjahat utama di serial ini. Kejahatannya pun terlihat jelas di Avengers: Infinity War.
Setelah mendapatkan 6 Batu Keabadian (Infinity Stones), dia menjentikkan jari dan melenyapkan separuh semesta demi apa yang dia anggap sebagai keadilan. Padahal, apa yang dia lakukan itu jelas salah.
Namun, anggapan ini tidak berlaku bagi sebuah kajian baru yang dilakukan Pennsylvania State University yang dipresentasikan di American Academy of Pediatrics (via IFLScience). Kajian itu menemukan bahwa meskipun beberapa penjahat di film superhero memang punya moral dan nilai yang meragukan dengan aksi mereka, tapi para superhero yang melawan mereka justru lebih kasar.
Kesimpulan itu diambil setelah para periset menonton 10 film superhero laris yang dirilis natara 2015—2016, baik dari Marvel dan DC. Film-film itu antara lain Avengers: Age of Ultron, Suicide Squad dan Batman v Superman. Mereka kemudian mengategorisasikan para karakter utama menjadi tokoh protagonis/baik dan antagonis/jahat.
Dari situ, mereka memecah tiap aksi karakter dan menemukan sesuatu yang sedikit mengejutkan. Para tokoh protagonis rata-rata melakukan 23 aksi kekerasan per jam sementara para tokoh antagonis rata-rata hanya 18. Selain itu, para tokoh baik ini juga tercatat bertempur nyaris dua kali lipat dari rata-rata para tokoh jahat, dengan menggunakan senjata yang mematikan dan menghancurkan properti.
Tak hanya itu, para pahlawan ini juga melakukan pembunuhan dengan angka rata-rata yang cukup mengejutkan, yaitu 168 dibandingkan 93 yang dilakukan tokoh jahat. Menurut riset itu, hanya satu kategori aksi di mana tokoh jahat memimpin, yaitu pada kategori perundungan/penyiksaan/intimidasi dengan 237 dibandingkan dengan 144 oleh para pahlawan.
Bagi para periset, angka itu memberikan pandangan rumit mengenai superhero yang dianggap sebagai orang baik. Apalagi, anak-anak sering kali melihat superhero favorit mereka sebagai suri teladan.
“Anak-anak dan remaja melihat superhero ini sebagai orang baik dan mungkin dipengaruhi oleh deskripsi mereka dengan sikap mengambil risiko dan tindakan kekerasan. Penyedia asuransi kesehatan anak-anak seharusnya mendidik keluarga tentang kekerasan yang muncul di genre film ini dan potensi bahaya yang mungkin muncul ketika anak-anak berusaha meniru para pahlawan itu,” ujar penulis utama kajian ini dan juga dosen Penn State Robert Olympia, yang dikutip ComicBook.com.
Sementara angkanya cukup mengejutkan, kajian itu sepertinya tidak mempertimbangkan konteks aksi yang dilakukan para suphero tersebut. Para pengemar bisa berpendapat bahwa di beberapa kategori, seperti pertempuran yang merusak properti dan kemungkinan penggunaan senjata mematikan, aksi itu dipicu oleh ulah para tokoh jahat. Avengers mungkin tidak akan menyebabkan kerusakan besar di New York andaikan pasukan Chitauri tidak menginvasi Bumi seperti di film Avengers 1 (2012). Ini artinya, aksi para pahlawan ini tidak terjadi begitu saja, selalu ada alasannya.
Setelah mendapatkan 6 Batu Keabadian (Infinity Stones), dia menjentikkan jari dan melenyapkan separuh semesta demi apa yang dia anggap sebagai keadilan. Padahal, apa yang dia lakukan itu jelas salah.
Namun, anggapan ini tidak berlaku bagi sebuah kajian baru yang dilakukan Pennsylvania State University yang dipresentasikan di American Academy of Pediatrics (via IFLScience). Kajian itu menemukan bahwa meskipun beberapa penjahat di film superhero memang punya moral dan nilai yang meragukan dengan aksi mereka, tapi para superhero yang melawan mereka justru lebih kasar.
Kesimpulan itu diambil setelah para periset menonton 10 film superhero laris yang dirilis natara 2015—2016, baik dari Marvel dan DC. Film-film itu antara lain Avengers: Age of Ultron, Suicide Squad dan Batman v Superman. Mereka kemudian mengategorisasikan para karakter utama menjadi tokoh protagonis/baik dan antagonis/jahat.
Dari situ, mereka memecah tiap aksi karakter dan menemukan sesuatu yang sedikit mengejutkan. Para tokoh protagonis rata-rata melakukan 23 aksi kekerasan per jam sementara para tokoh antagonis rata-rata hanya 18. Selain itu, para tokoh baik ini juga tercatat bertempur nyaris dua kali lipat dari rata-rata para tokoh jahat, dengan menggunakan senjata yang mematikan dan menghancurkan properti.
Tak hanya itu, para pahlawan ini juga melakukan pembunuhan dengan angka rata-rata yang cukup mengejutkan, yaitu 168 dibandingkan 93 yang dilakukan tokoh jahat. Menurut riset itu, hanya satu kategori aksi di mana tokoh jahat memimpin, yaitu pada kategori perundungan/penyiksaan/intimidasi dengan 237 dibandingkan dengan 144 oleh para pahlawan.
Bagi para periset, angka itu memberikan pandangan rumit mengenai superhero yang dianggap sebagai orang baik. Apalagi, anak-anak sering kali melihat superhero favorit mereka sebagai suri teladan.
“Anak-anak dan remaja melihat superhero ini sebagai orang baik dan mungkin dipengaruhi oleh deskripsi mereka dengan sikap mengambil risiko dan tindakan kekerasan. Penyedia asuransi kesehatan anak-anak seharusnya mendidik keluarga tentang kekerasan yang muncul di genre film ini dan potensi bahaya yang mungkin muncul ketika anak-anak berusaha meniru para pahlawan itu,” ujar penulis utama kajian ini dan juga dosen Penn State Robert Olympia, yang dikutip ComicBook.com.
Sementara angkanya cukup mengejutkan, kajian itu sepertinya tidak mempertimbangkan konteks aksi yang dilakukan para suphero tersebut. Para pengemar bisa berpendapat bahwa di beberapa kategori, seperti pertempuran yang merusak properti dan kemungkinan penggunaan senjata mematikan, aksi itu dipicu oleh ulah para tokoh jahat. Avengers mungkin tidak akan menyebabkan kerusakan besar di New York andaikan pasukan Chitauri tidak menginvasi Bumi seperti di film Avengers 1 (2012). Ini artinya, aksi para pahlawan ini tidak terjadi begitu saja, selalu ada alasannya.
(alv)