Geliat Desainer Muda di Islamic Fashion Institute
A
A
A
ISLAMIC Fashion Institute (IFI) Bandung mengadakan acara kelulusan batch keempat. Bertajuk Notre Voyage, acara kelulusan sekaligus peragaan busana ini menampilkan 10 calon desainer muda yang bersiap bersaing di pasar busana muslim yang kian kompetitif.
Notre Voyage menjadi tajuk acara kelulusan, sekaligus peragaan busana para lulusan IFI. Director IFI Hanni Haerani menyebutkan, Notre Voyage diambil dari nama lahir setelah para siswa berusaha menyatukan apa yang menjadi inspirasi masing-masing, lalu mencari kaitannya.
“Tema ini diambil karena menyatukan para desainer dalam satu pengalaman dan ikatan yang kuat,” ujar Hanni saat ditemui di Click Square Kota Bandung, Rabu (19/12).
Hanni menerangkan, tidak mudah baginya meyakinkan para siswa menyadari bahwa dari ratusan sketsa yang dibuatnya, ternyata mempunyai kekuatan yang akan membawa pada mimpi menjadi desainer.
“Koleksi busana ready to wear yang ditampilkan para siswa merupakan hasil belajar siswa selama 9 bulan dan tiga bulan sisanya untuk diskusi dan produksi,” ujar Hanni.
Menurut desainer busana syari sekaligus pengajar IFI, Irna Mutiara, pasar busana muslim di Indonesia terbagi menjadi empat lini pasar, yakni modest modern, modest konvensional, syari modern dan syari konvensional.
Semua memiliki pasar sendirisendiri, namun segmen pasar yang paling besar adalah pasar kelas menengah. “Para siswa dibebaskan memilih pasar untuk menjual karya mereka. Mereka bebas berkreasi dengan ide-ide mereka,” ujar Irna.
Irna menjelaskan, pihak pengajar tidak menghalangi para murid berekspresi. Namun, hal yang perlu diingat bahwa karya yang diciptakan para siswa masih sesuai kaidah Islam, yakni tertutup.
“Setiap siswa dituntut untuk memiliki storytelling. Mereka harus memiliki konsep yang matang saat menciptakan busana,” ujar Irna. Menariknya, sebelum acara kelulusan, para siswa ditantang untuk menciptakan konsep busana zero waste. Setiap siswa diberi kain sepanjang 5 meter dan diwajibkan mendesainnya tanpa menyisakan bahan sedikit pun.
Saat acara kelulusan, para siswa pun tampil kompak dengan busana serbahitam dengan desain yang beragam dan unik. “Para siswa mampu mengubah kain tersebut dengan pakaian yang sesuai dengan ciri khasnya masing-masing,” ujar Irna. Menjelang sore hari, sepuluh siswa melakukan peragaan busana.
Kesepuluh siswa tersebut, yakni Rifdatul Khoiro, Haliza Apriana, Dwi Mustika Dantika, Minatilah Maupurah, Siti Salma Nursabila, Putri Nur Kharisma, Felicia Joufrinne, Shafiradita Farhani, Mashita Andhani Prieska, dan M Firman Nurimansyah.
Secara umum, para siswa tersebut menampilkan busana yang tentunya sesuai dengan kaidah Islam yang dipadukan dengan gaya modern. “Busana dibuat dengan mengedepankan kaidah Islam yang dipadu dengan gaya konvensional. Inspirasinya sangat beragam, mulai dari taksi hingga video game,” ujar Hanni.
Kharisma melalui label Kanau memperoleh inspirasi dari video game Jepang. Kharisma berhasil menghadirkan busana yang playful dengan warna-warna cerah, serta aksen flounce dan frills untuk melambangkan sisi feminin. Sementara itu, Rifdatul Khoiro terinspirasi dari batik Jambi yang ikonik melalui busana bertajuk Elok.
Notre Voyage menjadi tajuk acara kelulusan, sekaligus peragaan busana para lulusan IFI. Director IFI Hanni Haerani menyebutkan, Notre Voyage diambil dari nama lahir setelah para siswa berusaha menyatukan apa yang menjadi inspirasi masing-masing, lalu mencari kaitannya.
“Tema ini diambil karena menyatukan para desainer dalam satu pengalaman dan ikatan yang kuat,” ujar Hanni saat ditemui di Click Square Kota Bandung, Rabu (19/12).
Hanni menerangkan, tidak mudah baginya meyakinkan para siswa menyadari bahwa dari ratusan sketsa yang dibuatnya, ternyata mempunyai kekuatan yang akan membawa pada mimpi menjadi desainer.
“Koleksi busana ready to wear yang ditampilkan para siswa merupakan hasil belajar siswa selama 9 bulan dan tiga bulan sisanya untuk diskusi dan produksi,” ujar Hanni.
Menurut desainer busana syari sekaligus pengajar IFI, Irna Mutiara, pasar busana muslim di Indonesia terbagi menjadi empat lini pasar, yakni modest modern, modest konvensional, syari modern dan syari konvensional.
Semua memiliki pasar sendirisendiri, namun segmen pasar yang paling besar adalah pasar kelas menengah. “Para siswa dibebaskan memilih pasar untuk menjual karya mereka. Mereka bebas berkreasi dengan ide-ide mereka,” ujar Irna.
Irna menjelaskan, pihak pengajar tidak menghalangi para murid berekspresi. Namun, hal yang perlu diingat bahwa karya yang diciptakan para siswa masih sesuai kaidah Islam, yakni tertutup.
“Setiap siswa dituntut untuk memiliki storytelling. Mereka harus memiliki konsep yang matang saat menciptakan busana,” ujar Irna. Menariknya, sebelum acara kelulusan, para siswa ditantang untuk menciptakan konsep busana zero waste. Setiap siswa diberi kain sepanjang 5 meter dan diwajibkan mendesainnya tanpa menyisakan bahan sedikit pun.
Saat acara kelulusan, para siswa pun tampil kompak dengan busana serbahitam dengan desain yang beragam dan unik. “Para siswa mampu mengubah kain tersebut dengan pakaian yang sesuai dengan ciri khasnya masing-masing,” ujar Irna. Menjelang sore hari, sepuluh siswa melakukan peragaan busana.
Kesepuluh siswa tersebut, yakni Rifdatul Khoiro, Haliza Apriana, Dwi Mustika Dantika, Minatilah Maupurah, Siti Salma Nursabila, Putri Nur Kharisma, Felicia Joufrinne, Shafiradita Farhani, Mashita Andhani Prieska, dan M Firman Nurimansyah.
Secara umum, para siswa tersebut menampilkan busana yang tentunya sesuai dengan kaidah Islam yang dipadukan dengan gaya modern. “Busana dibuat dengan mengedepankan kaidah Islam yang dipadu dengan gaya konvensional. Inspirasinya sangat beragam, mulai dari taksi hingga video game,” ujar Hanni.
Kharisma melalui label Kanau memperoleh inspirasi dari video game Jepang. Kharisma berhasil menghadirkan busana yang playful dengan warna-warna cerah, serta aksen flounce dan frills untuk melambangkan sisi feminin. Sementara itu, Rifdatul Khoiro terinspirasi dari batik Jambi yang ikonik melalui busana bertajuk Elok.
(don)