Suguhan Kisah Bawang Merah dan Putih Bergaya Broadway
A
A
A
JAKARTA - Pagelaran drama teater pop musikal "Bunga untuk Mira" menghadirkan kisah cerita rakyat tradisional (mitos) "Bawang Merah dan Bawang Putih" dengan kemasan kekinian dengan gaya broadway. Pertunjukan ini dipentaskan di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 22 dan 23 Desember 2018.
Dibesut Mia Johannes atau yang akrab disapa Mhyajo, "Bunga untuk Mira" memiliki konsep pementasan yang berbeda. Mulai dari komposisi, gerak, tari, lagu dan musik disajikan dengan begitu impresif dan memukau. Mhyajo seperti ingin menawarkan sebuah konsep pertunjukan baru atau setidaknya jarang ditampilkan di Indonesia.
"Konsep pertunjukan berlangsung live orchestra, begitu pula dengan nyanyian dari pemain. Untuk menggarap pertunjukan ini, saya ingin menghadirkan tradisi musikal Broadway," ujar Mhyajo.
Dalam pertunjukan tersebut, tak hanya sekadar mengadaptasi cerita rakyat kuno dan dianggap ketinggalan jaman, Mia juga menyajikan teater musikal dengan berbagai konflik, mulai dari cinta, ambisi sampai kematian yang akan dibalut dalam kemasan kekinian.
Menurut Mhyajo, adaptasi legenda dari "Bawang Merah dan Bawang Putih" ini adalah adaptasi bebas yang dia balut dalam imajinasi fiksi ilmiah. "Saya memang mengganti nama dua tokoh utama menjadi Mira dan Puti agar bisa diterima banyak orang. Saya juga akan mengaitkan benang merah kisah yang sama dengan cerita aslinya," terangnya.
Untuk menggarap pertunjukan ini, Mhyajo memberikan kebebasan kepada sang penata musik, Mondo Gascaro untuk memberikan sentuhan apapun, mulai dari modern, pop dan sampai dark dan menyuguhkan jazz fantasi. Di sini Mondo Gascaro bekerjasama dengan Indra Prakarsa, yang membesut orkestrasinya.
Selain Mondo Gascaro, Mhyajo juga melibatkan sejumlah seniman yang sudah kenyang makan asam garam dunia pertunjukan, seperti penata gerak tari Ufa Sofura, penyanyi Shae, aktor Daniel Adnan, pemain harpa Maya Hasan, dan Johan Yanuar.
Kendati demikian, bukan hal yang mudah untuk membuat sebuah gebrakan baru dalam bidang teater apalagi menghadirkan kemasan broadway di dalamnya. Persoalan pertama adalah bagaimana menarik perhatian masyarakat, khususnya generasi milenial untuk datang menyaksikan pertunjukkan ini. "Oleh karena itu kami mengemas teater musikal ini secara modern, untuk menarik minat generasi milenial," ucap Mhyajo.
Persoalan lain yang dihadapi adalah sulitnya mendapatkan gedung pertunjukkan seni yang sesuai dengan jadwal yang diinginkan, karena semua gedung pertunjukkan di Jakarta sudah penuh. "Tidak semua gedung digunakan hanya khusus untuk pertunjukan kesenian, sehingga kita sulit mendapatkan jadwal sesuai rencana. Sekarang ini gedung yang menentukan jadwal, bukan kesenian yang menentukan," tegasnya.
Sebelum dipentaskan untuk khalayak pada 22 dan 23 Desember, "Bunga untuk Mira" sudah dipentaskan secara singkat khusus untuk jurnalis di Teater Jakarta TIM, Jumat (21/12) malam.
Dibesut Mia Johannes atau yang akrab disapa Mhyajo, "Bunga untuk Mira" memiliki konsep pementasan yang berbeda. Mulai dari komposisi, gerak, tari, lagu dan musik disajikan dengan begitu impresif dan memukau. Mhyajo seperti ingin menawarkan sebuah konsep pertunjukan baru atau setidaknya jarang ditampilkan di Indonesia.
"Konsep pertunjukan berlangsung live orchestra, begitu pula dengan nyanyian dari pemain. Untuk menggarap pertunjukan ini, saya ingin menghadirkan tradisi musikal Broadway," ujar Mhyajo.
Dalam pertunjukan tersebut, tak hanya sekadar mengadaptasi cerita rakyat kuno dan dianggap ketinggalan jaman, Mia juga menyajikan teater musikal dengan berbagai konflik, mulai dari cinta, ambisi sampai kematian yang akan dibalut dalam kemasan kekinian.
Menurut Mhyajo, adaptasi legenda dari "Bawang Merah dan Bawang Putih" ini adalah adaptasi bebas yang dia balut dalam imajinasi fiksi ilmiah. "Saya memang mengganti nama dua tokoh utama menjadi Mira dan Puti agar bisa diterima banyak orang. Saya juga akan mengaitkan benang merah kisah yang sama dengan cerita aslinya," terangnya.
Untuk menggarap pertunjukan ini, Mhyajo memberikan kebebasan kepada sang penata musik, Mondo Gascaro untuk memberikan sentuhan apapun, mulai dari modern, pop dan sampai dark dan menyuguhkan jazz fantasi. Di sini Mondo Gascaro bekerjasama dengan Indra Prakarsa, yang membesut orkestrasinya.
Selain Mondo Gascaro, Mhyajo juga melibatkan sejumlah seniman yang sudah kenyang makan asam garam dunia pertunjukan, seperti penata gerak tari Ufa Sofura, penyanyi Shae, aktor Daniel Adnan, pemain harpa Maya Hasan, dan Johan Yanuar.
Kendati demikian, bukan hal yang mudah untuk membuat sebuah gebrakan baru dalam bidang teater apalagi menghadirkan kemasan broadway di dalamnya. Persoalan pertama adalah bagaimana menarik perhatian masyarakat, khususnya generasi milenial untuk datang menyaksikan pertunjukkan ini. "Oleh karena itu kami mengemas teater musikal ini secara modern, untuk menarik minat generasi milenial," ucap Mhyajo.
Persoalan lain yang dihadapi adalah sulitnya mendapatkan gedung pertunjukkan seni yang sesuai dengan jadwal yang diinginkan, karena semua gedung pertunjukkan di Jakarta sudah penuh. "Tidak semua gedung digunakan hanya khusus untuk pertunjukan kesenian, sehingga kita sulit mendapatkan jadwal sesuai rencana. Sekarang ini gedung yang menentukan jadwal, bukan kesenian yang menentukan," tegasnya.
Sebelum dipentaskan untuk khalayak pada 22 dan 23 Desember, "Bunga untuk Mira" sudah dipentaskan secara singkat khusus untuk jurnalis di Teater Jakarta TIM, Jumat (21/12) malam.
(nug)