Bukan Penulis Biasa, Loung Ung Menyingkap Sejarah yang Kelam
A
A
A
Loung Ung bukanlah penulis biasa. Dia adalah penulis yang sekaligus menjadi saksi betapa pahit dan kelamnya sejarah di negara asalnya Kamboja. Apa yang membuatnya spesial sampai-sampai aktris sekelas Angelina Jolie mengangkat karyanya ke sebuah film? Loung Ung adalah nama yang sangat spesial buat warga Kamboja.
Selama hampir 15 tahun dia telah mendedikasikan hidupnya untuk kampanye kesetaraan dan Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah kelahirannya dan dunia internasional. Dikutip Vermont Edition, nama Loung mulai dikenal ketika dirinya menulis memoar pribadi yang menjadi buku terlaris internasional yakni ‘First They Killed My Father’. Buku ini juga diangkap ke layar lebar pada 2017 lalu.
Buku ini seolah membuka mata dunia tentang apa yang terjadi sesesungguhnya di Kamboja. Loung baru berusia lima tahun ketika kaum revolusioner komunis yang dikenal sebagai Khmer Merah mengambil alih Kamboja. Hampir seperempat dari populasi meninggal dalam genosida. Dia dan keluarganya dipaksa pindah ke pedesaan.
Lalu pada saat berusia delapan tahun, dia menyaksikan orang tuanya dan dua saudara kandungnya dibunuh Khmer Merah. Setelah itu dia dipaksa menjadi seorang tentara anak-anak. Pada 1980, Loung, Meng kakak laki-lakinya dan istrinya, melarikan diri dengan perahu ke Thailand, lalu menghabiskan lima bulan di kamp pengungsi sebelum pindah ke Vermont, Amerika Serikat (AS).
Setelah berimigrasi ke AS dia mulai menyesuaikan diri dengan negara barunya. Di negara Paman Sam, Loung kemudian menulis dua buku yang menceritakan pengalaman hidupnya dari tahun 1975 hingga 2003. Termasuk buku ‘First They Killed My Father’. Tidak mudah menerbitkan buku First They Killed My Father. Buku pertamanya ini sempat ditolak 25 penerbit.
Namun dia tidak pernah putus asa. Dia mengaku telah ‘jatuh’ berkali-kali di kehidupannya. Dia pernah mencoba menjadi tim pemandu sorak saat sekolah namun berakhir gagal. Dia juga ditolak beberapa universitas ternama yang menjadi favoritnya. Tapi dia tak pernah menyerah.
Dikutip situs pribadinya, sebagai seorang anak, Loung tidak pernah bermimpi dia akan menjadi seorang penulis. Lagipula, Bahasa Inggris adalah bahasa keempatnya. Sejak kecil dia tidak belajar membaca, menulis, atau berbicara dengan bahasa Inggris. Tapi sejak kecil, dia suka membaca dan menulis. Dia kerap mencatat pikiran dan mimpinya dalam buku hariannya.
Perkenalannya ke dunia menulis terjadi secara tidak sengaja. Jadi pada suatu malam, saat bekerja di Washington DC dalam Kampanye Anti Ranjau Darat, dia mendengar berita jika Pol Pot, pemimpin Khmer Merah telah meninggal, dan dalam wawancara terakhirnya, dia mengatakan jika semua yang dia lakukan di Kamboja dilakukan untuk cinta.
Mendengarnya Loung langsung naik pitam. Bagi dia, jika benar-benar cinta Pol Pot tidak akan melakukan genosida atau membunuh 1,7 juta-2 juta warga Kamboja. Malam itu, Loung mulai menulis dengan semangat baru. Yakni menceritakan kebenaran yang terjadi di Kamboja. Dia menceritakan apa arti cinta yang sesungguhnya. Cinta keluarga, budaya, dan bangsa. Menulis juga membantu dia melewati dan bangkit dari masa duka.
“Sebagai seorang anak, saya sering marah ketika mendengar orang mengatakan betapa beruntungnya saya karena masih begitu muda dalam perang. Seolah menyiratkan jika saya entah bagaimana lupa atau tidak ingat apa yang terjadi. Saya ingin berteriak kepada mereka yang bicara tetapi saya tidak memiliki kata-kata untuk menjelaskan apa yang saya lihat. Jadi saya tetap diam,” terangnya dikutip situs Banana Writers.
Melalui buku pertamanya itu, Loung ’bersuara’ untuk mereka yang ‘diam’ dan agar bisa membebaskan. “Ketika saya menulis, saya kembali menjerit, menangis, merindukan keluarga saya dan menjadi marah pada kejahatan dan kekejaman dengan kekasaran hati seorang anak. Ketika saya selesai, entah bagaimana saya merasa lepas. Dan saya datang untuk melihat saya tidak hanya beruntung selamat dari perang, tetapi berkat masa anak-anak saya, saya juga kuat untuk berjuang keluar dari ladang pembunuhan,” ungkapnya.
Miliki kehidupan sulit
Dikutip situs My Hero, Loung memiliki kehidupan yang sulit dan itulah sebabnya dia begitu lantang menentang menentang ranjau darat, perang, memaksa anak-anak untuk menjadi tentara anak-anak, dan kekerasan dalam rumah tangga. Saat ini Loung aktif di berbagai kegiatan sosial. Dia adalah salah satu dari ‘100 Global Leaders of Tomorrow’.
Dia telah menerima penghargaan (APALA) untuk ‘Excellence in Adult Non-fiction Literature’. Perempuan berusia 49 tahun pada 17 April lalu ini juga bekerja untuk Vietnam Veterans of America Foundation. Dia telah tampil di banyak majalah. Loung bukan hanya pahlawan bagi Kamboja, tetapi ia juga pahlawan bagi seluruh dunia.
Menurut situs pribadinya, sejak 1995, Loung telah kembali ke Kamboja selama lebih dari 30 kali dan telah mengabdikan dirinya untuk membantu tanah asalnya sembuh dari trauma perang. Dia telah bekerja sebagai aktivis untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, tentara anak-anak, dan Kampanye untuk Dunia Bebas Ranjau Darat.
Pada 2013, Loung memperluas jangkauan aktivisme sebagai salah satu penulis untuk ‘Girl Rising’, film dokumenter inovatif yang disutradarai nominasi Academy Award Richard Robbins. Film ini menceritakan kisah 9 gadis luar biasa dari 9 negara dan kisah-kisah mereka tentang pernikahan paksa, perbudakan rumah tangga, perdagangan seks, kekerasan gender dan kekuatan pendidikan untuk mengubah dunia mereka.
Dia juga kerap menjadi pembicara di berbagai forum internasional. Seperti National Cambodian Heritage Museum, Stanford University, Dartmouth College, Philips Academy, Taipei American School, Hong Kong American School, Facing History and Ourselves, American Library Associations, Women in the World Summit, Omega Institute for Women & Leadership, the U.S.
Coast Guard Academy, Mexico 1 Million Youth Summit, Young Presidents Organization, UN Conference on Women di Beijing, UN Conference Against Racism and Discrimination di Afrika Selatan, dan UN Conference on Child Soldiers Summit di Nepal. Adapun di kehidupan pribadinya Loung diketahui menikah dengan warga AS Mark Priemer. Mereka membuka tiga restoran yang sukses dan dua pabrik mikro di Cleveland, Ohio.
Selama hampir 15 tahun dia telah mendedikasikan hidupnya untuk kampanye kesetaraan dan Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah kelahirannya dan dunia internasional. Dikutip Vermont Edition, nama Loung mulai dikenal ketika dirinya menulis memoar pribadi yang menjadi buku terlaris internasional yakni ‘First They Killed My Father’. Buku ini juga diangkap ke layar lebar pada 2017 lalu.
Buku ini seolah membuka mata dunia tentang apa yang terjadi sesesungguhnya di Kamboja. Loung baru berusia lima tahun ketika kaum revolusioner komunis yang dikenal sebagai Khmer Merah mengambil alih Kamboja. Hampir seperempat dari populasi meninggal dalam genosida. Dia dan keluarganya dipaksa pindah ke pedesaan.
Lalu pada saat berusia delapan tahun, dia menyaksikan orang tuanya dan dua saudara kandungnya dibunuh Khmer Merah. Setelah itu dia dipaksa menjadi seorang tentara anak-anak. Pada 1980, Loung, Meng kakak laki-lakinya dan istrinya, melarikan diri dengan perahu ke Thailand, lalu menghabiskan lima bulan di kamp pengungsi sebelum pindah ke Vermont, Amerika Serikat (AS).
Setelah berimigrasi ke AS dia mulai menyesuaikan diri dengan negara barunya. Di negara Paman Sam, Loung kemudian menulis dua buku yang menceritakan pengalaman hidupnya dari tahun 1975 hingga 2003. Termasuk buku ‘First They Killed My Father’. Tidak mudah menerbitkan buku First They Killed My Father. Buku pertamanya ini sempat ditolak 25 penerbit.
Namun dia tidak pernah putus asa. Dia mengaku telah ‘jatuh’ berkali-kali di kehidupannya. Dia pernah mencoba menjadi tim pemandu sorak saat sekolah namun berakhir gagal. Dia juga ditolak beberapa universitas ternama yang menjadi favoritnya. Tapi dia tak pernah menyerah.
Dikutip situs pribadinya, sebagai seorang anak, Loung tidak pernah bermimpi dia akan menjadi seorang penulis. Lagipula, Bahasa Inggris adalah bahasa keempatnya. Sejak kecil dia tidak belajar membaca, menulis, atau berbicara dengan bahasa Inggris. Tapi sejak kecil, dia suka membaca dan menulis. Dia kerap mencatat pikiran dan mimpinya dalam buku hariannya.
Perkenalannya ke dunia menulis terjadi secara tidak sengaja. Jadi pada suatu malam, saat bekerja di Washington DC dalam Kampanye Anti Ranjau Darat, dia mendengar berita jika Pol Pot, pemimpin Khmer Merah telah meninggal, dan dalam wawancara terakhirnya, dia mengatakan jika semua yang dia lakukan di Kamboja dilakukan untuk cinta.
Mendengarnya Loung langsung naik pitam. Bagi dia, jika benar-benar cinta Pol Pot tidak akan melakukan genosida atau membunuh 1,7 juta-2 juta warga Kamboja. Malam itu, Loung mulai menulis dengan semangat baru. Yakni menceritakan kebenaran yang terjadi di Kamboja. Dia menceritakan apa arti cinta yang sesungguhnya. Cinta keluarga, budaya, dan bangsa. Menulis juga membantu dia melewati dan bangkit dari masa duka.
“Sebagai seorang anak, saya sering marah ketika mendengar orang mengatakan betapa beruntungnya saya karena masih begitu muda dalam perang. Seolah menyiratkan jika saya entah bagaimana lupa atau tidak ingat apa yang terjadi. Saya ingin berteriak kepada mereka yang bicara tetapi saya tidak memiliki kata-kata untuk menjelaskan apa yang saya lihat. Jadi saya tetap diam,” terangnya dikutip situs Banana Writers.
Melalui buku pertamanya itu, Loung ’bersuara’ untuk mereka yang ‘diam’ dan agar bisa membebaskan. “Ketika saya menulis, saya kembali menjerit, menangis, merindukan keluarga saya dan menjadi marah pada kejahatan dan kekejaman dengan kekasaran hati seorang anak. Ketika saya selesai, entah bagaimana saya merasa lepas. Dan saya datang untuk melihat saya tidak hanya beruntung selamat dari perang, tetapi berkat masa anak-anak saya, saya juga kuat untuk berjuang keluar dari ladang pembunuhan,” ungkapnya.
Miliki kehidupan sulit
Dikutip situs My Hero, Loung memiliki kehidupan yang sulit dan itulah sebabnya dia begitu lantang menentang menentang ranjau darat, perang, memaksa anak-anak untuk menjadi tentara anak-anak, dan kekerasan dalam rumah tangga. Saat ini Loung aktif di berbagai kegiatan sosial. Dia adalah salah satu dari ‘100 Global Leaders of Tomorrow’.
Dia telah menerima penghargaan (APALA) untuk ‘Excellence in Adult Non-fiction Literature’. Perempuan berusia 49 tahun pada 17 April lalu ini juga bekerja untuk Vietnam Veterans of America Foundation. Dia telah tampil di banyak majalah. Loung bukan hanya pahlawan bagi Kamboja, tetapi ia juga pahlawan bagi seluruh dunia.
Menurut situs pribadinya, sejak 1995, Loung telah kembali ke Kamboja selama lebih dari 30 kali dan telah mengabdikan dirinya untuk membantu tanah asalnya sembuh dari trauma perang. Dia telah bekerja sebagai aktivis untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, tentara anak-anak, dan Kampanye untuk Dunia Bebas Ranjau Darat.
Pada 2013, Loung memperluas jangkauan aktivisme sebagai salah satu penulis untuk ‘Girl Rising’, film dokumenter inovatif yang disutradarai nominasi Academy Award Richard Robbins. Film ini menceritakan kisah 9 gadis luar biasa dari 9 negara dan kisah-kisah mereka tentang pernikahan paksa, perbudakan rumah tangga, perdagangan seks, kekerasan gender dan kekuatan pendidikan untuk mengubah dunia mereka.
Dia juga kerap menjadi pembicara di berbagai forum internasional. Seperti National Cambodian Heritage Museum, Stanford University, Dartmouth College, Philips Academy, Taipei American School, Hong Kong American School, Facing History and Ourselves, American Library Associations, Women in the World Summit, Omega Institute for Women & Leadership, the U.S.
Coast Guard Academy, Mexico 1 Million Youth Summit, Young Presidents Organization, UN Conference on Women di Beijing, UN Conference Against Racism and Discrimination di Afrika Selatan, dan UN Conference on Child Soldiers Summit di Nepal. Adapun di kehidupan pribadinya Loung diketahui menikah dengan warga AS Mark Priemer. Mereka membuka tiga restoran yang sukses dan dua pabrik mikro di Cleveland, Ohio.
(don)