Loung Menjadi Saksi Sejarah Perang Sejak Usia 5 Tahun
A
A
A
Loung Ung memiliki pengalaman tak biasa sebagai anak kecil karena tumbuh di masa perang. Di usianya yang masih lima tahun, Loung menjadi saksi sejarah perang di Kamboja. Dia ingat betul saat para prajurit datang dengan senjata, granat, dan mengevakuasi semua orang dari kota.
“Kami beralih dari kehidupan beradab menjadi tinggal di pabrik tanpa listrik, air mengalir, atau toilet. Saya beralih dari menjalani kehidupan normal menjadi menjalani perang ini,” ujarnya, saat wawancara dengan Your Teen Magazine. Dia mengatakan sejak saat itu, satu per satu haknya diambil. Setiap orang memiliki potongan rambut yang sama dan mengenakan pakaian yang sama.
Pada tahun pertama, dia dan keluarganya menderita kelaparan sehingga nyaris tidak bisa berjalan. Kemudian para prajurit mulai memisahkan dia dari keluarganya. Mulai dari saudara perempuannya yang berusia 14 tahun dan dua saudara lelakinya. Tak lama berselang, mereka mengambil ayahnya dan kemudian membunuhnya.
Dalam kurun waktu empat tahun, hampir dua juta warga Kamboja meninggal sebanyak tujuh juta orang. “Tidak akan ada yang membawa keluarga ke negara ini dan berpikir untuk membesarkan anak anak mereka dan mencintai mereka. Orang tua saya membawa saya ke dunia dengan niat penuh untuk berada di sini, dan memberi saya cinta kemudian, mereka mengambilnya dari saya,” terangnya.
Ketika perang usai, Loung pun harus berjuang melawan depresi dan stress yang dideritanya. Termasuk fisiknya yang sangat kurus karena kekurangan gizi. Namun tidak ada yang membantunya melalui Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan stres pascatrauma. Loung pun mengalami trauma sangat besar dan menyembuhkan dirinya dengan cara refleksi.
“Saya masuk ke dalam untuk menyembuhkan diri sendiri. Kemudian, saya berbalik dan menjadi seorang aktivis yang bekerja pada kampanye untuk melarang ranjau darat, mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, dan melarang penggunaan tentara anak-anak. Sekarang, saya menjangkau dan membantu dengan cara apa pun, dalam kapasitas apa pun,” ujarnya.
Lalu apa yang membantunya terus bergerak maju? “Hidup adalah perjalanan panjang. Terkadang, Anda mencapai satu tujuan hanya untuk menemukan bahwa Anda harus terus berjalan. Tepat setelah kehilangan orang tua saya, saya tetap hidup karena saya tidak tahu cara mati. Saya terlalu muda untuk mengakhiri hidup saya.
Setelah momen itu berlalu, saya menyadari saya tidak ingin mati. Saya ingin tetap hidup untuk ayah saya. Dia pikir saya begitu istimewa dan dia ingin saya bertahan hidup. Saya sangat mencintai ayah saya dan saya harus menghormatinya. Dalam beberapa hal, saya hanya mengambil apa pun yang tersedia untuk saya, dan mengambil napas berikutnya. Hanya itu yang saya miliki,” ungkapnya.
Selain itu, hingga saat ini Loung masih memiliki saudara perempuan dan saudara lelaki di Kamboja, dan dua saudara lelaki di Amerika. Mereka masih saling berhubungan satu sama lain dan saling menguatkan. Loung masih kerap menyambangi Kamboja sembari mengurus pekerjaannya di Veterans of America Foundation yang berbasis di Kamboja.
“Kami beralih dari kehidupan beradab menjadi tinggal di pabrik tanpa listrik, air mengalir, atau toilet. Saya beralih dari menjalani kehidupan normal menjadi menjalani perang ini,” ujarnya, saat wawancara dengan Your Teen Magazine. Dia mengatakan sejak saat itu, satu per satu haknya diambil. Setiap orang memiliki potongan rambut yang sama dan mengenakan pakaian yang sama.
Pada tahun pertama, dia dan keluarganya menderita kelaparan sehingga nyaris tidak bisa berjalan. Kemudian para prajurit mulai memisahkan dia dari keluarganya. Mulai dari saudara perempuannya yang berusia 14 tahun dan dua saudara lelakinya. Tak lama berselang, mereka mengambil ayahnya dan kemudian membunuhnya.
Dalam kurun waktu empat tahun, hampir dua juta warga Kamboja meninggal sebanyak tujuh juta orang. “Tidak akan ada yang membawa keluarga ke negara ini dan berpikir untuk membesarkan anak anak mereka dan mencintai mereka. Orang tua saya membawa saya ke dunia dengan niat penuh untuk berada di sini, dan memberi saya cinta kemudian, mereka mengambilnya dari saya,” terangnya.
Ketika perang usai, Loung pun harus berjuang melawan depresi dan stress yang dideritanya. Termasuk fisiknya yang sangat kurus karena kekurangan gizi. Namun tidak ada yang membantunya melalui Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan stres pascatrauma. Loung pun mengalami trauma sangat besar dan menyembuhkan dirinya dengan cara refleksi.
“Saya masuk ke dalam untuk menyembuhkan diri sendiri. Kemudian, saya berbalik dan menjadi seorang aktivis yang bekerja pada kampanye untuk melarang ranjau darat, mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, dan melarang penggunaan tentara anak-anak. Sekarang, saya menjangkau dan membantu dengan cara apa pun, dalam kapasitas apa pun,” ujarnya.
Lalu apa yang membantunya terus bergerak maju? “Hidup adalah perjalanan panjang. Terkadang, Anda mencapai satu tujuan hanya untuk menemukan bahwa Anda harus terus berjalan. Tepat setelah kehilangan orang tua saya, saya tetap hidup karena saya tidak tahu cara mati. Saya terlalu muda untuk mengakhiri hidup saya.
Setelah momen itu berlalu, saya menyadari saya tidak ingin mati. Saya ingin tetap hidup untuk ayah saya. Dia pikir saya begitu istimewa dan dia ingin saya bertahan hidup. Saya sangat mencintai ayah saya dan saya harus menghormatinya. Dalam beberapa hal, saya hanya mengambil apa pun yang tersedia untuk saya, dan mengambil napas berikutnya. Hanya itu yang saya miliki,” ungkapnya.
Selain itu, hingga saat ini Loung masih memiliki saudara perempuan dan saudara lelaki di Kamboja, dan dua saudara lelaki di Amerika. Mereka masih saling berhubungan satu sama lain dan saling menguatkan. Loung masih kerap menyambangi Kamboja sembari mengurus pekerjaannya di Veterans of America Foundation yang berbasis di Kamboja.
(don)