Mengunjungi Monumen Prestisius di Prancis
A
A
A
DI BEBERAPA sudut kompleks objek Mont Saint Michel, tampak maket dan papan proyek pengembangan yang cukup gigantik. Pengelolanya ingin menjadikan Mont Saint Michel sebagai situs yang tetap lestari dan tak pernah mati.
“The future of The Mont, a treasure to be protected, returning the Mont to its maritime setting ,” begitulah kalimat yang ada di dalam brosur Mont Saint Michel. Sebuah semangat besar yang mencerminkan pandangan ke depan dan pentingnya memelihara situs wisata dan sejarah, berikut kawasan penyangganya.
Sebuah komitmen akan pentingnya pemeliharaan dan pelestarian yang holistik. Mont Saint Michel sebagai salah satu monumen prestisius di Prancis ini, baik ditilik dari sejarah berdirinya maupun sejarah pergolakan panjang sosial politik lokal dan regional, melahirkan dinamika yang begitu intens. Terlebih jika dikaitkan dengan kebijakan pemerintah Prancis dalam usahanya untuk mempertahankan pangsa pasar wisata utama dunia.
Sejenak menengok ke belakang, Mont Saint Michel pada awalnya dikenal sebagai Mont Tombe, merupakan hunian (commune ) yang sangat ideal dalam konteks keamanan. Terletak di atas karang di wilayah barat laut Normandi, kawasan ini dikenal sebagai hunian yang garang karena senantiasa diterpa gelombang air laut yang tidak ramah. Kehadiran bangunan kuno tersebut sepertinya ditasbihkan untuk menjadi saksi bisu pergolakan sosial politik di wilayah Eropa, khususnya di kawasan budaya Mediteranian.
Pada zaman Romawi, tempat ini dikenal sebagai Armorican, pusat budaya Gallo-Roman, sebuah wajah budaya gado-gado, (lokal dan Romawi). Drama terus berlanjut menyusuri lorong waktu dan peristiwa di wilayah tersebut. Sejak beralih fungsi sebagai monastori, tak ayal lagi Mont Saint Michel menjadi salah satu tujuan ziarah religi Katolik dan dikenal sebagai salah satu tempat ziarah bagi penganut agama Katolik yang paling berbahaya karena para peziarah mesti melawan keganasan gelombang pasang surut yang mengepung “karang religi” tersebut.
Masih pada abad pertengahan -ketika wilayah Prancis masih terbagi menjadi beberapa wilayah kekuasaan kerajaan- gempuran bangsa Viking yang ganas memaksa penguasa setempat (Kerajaan Franks) menyerahkan sebagian wilayahnya, termasuk Mont Saint Michel, kepada penguasa Bretons. Walaupun secara de facto , penguasa baru tersebut tidak pernah benar-benar menggenggamnya.
Pada saat meletus perang 100 tahun (1337- 1453) antara Kerajaan Inggris dan Prancis, Mont Saint Michel yang menjadi wilayah Kerajaan Prancis, berusaha direbut oleh Inggris. Usaha ini ditempuh sebanyak dua kali, yaitu pada 1423-1424 dan pada 1433-1444, dan kedua usaha tersebut gagal. Ketangguhan pasukan Kerajaan Prancis terinspirasi oleh pahlawan wanita mereka, yaitu Jeanne dArc (Joan of Arc), pada peperangan 100 tahun tersebut.
Selama revolusi Prancis, Mont Saint Michel kembali mengalami kontraksi sejarah yang ditandai dengan dialihfungsikannya situs sejarah tersebut menjadi penjara bagi lawan-lawan kaum republikan. Penutupan penjara bagi tokoh politik ternama ini terjadi pada 1863. Sebelumnya para tokoh terkemuka Prancis, termasuk seniman sekaliber Victor Hugo, mengkritik kebijakan politik di atas. Bahkan, pada 1874, Mont Saint Michel dinobatkan menjadi salah satu warisan arsitektur Nasional Prancis.
Dinamika situs sejarah tersebut tampaknya mengalami wajah yang berbeda dengan “gelar” baru di atas. Terlebih sejak bangunan tua tersebut, satu abad kemudian (1979), dinobatkan menjadi salah satu situs warisan dunia (world heritage sites ) oleh UNESCO. Sejak saat itu, pemerintah Prancis tidak pernah berhenti berbenah. Terbukti pada 2006 Dominique de Villepin, sebagai perdana menteri pemerintahan Chirac, mencanangkan proyek Mont Saint Michel, sebuah proyek lingkungan dengan menggelontorkan dana sebesar 164 juta euro.
Keputusan ini merupakan hasil kerja keras antara pemerintahan lokal, pusat, dan lembaga regional (Uni Eropa). Tidak tanggung-tanggung, dana tersebut dipakai untuk membiayai pembangunan bendungan hidrolik untuk mengatur aliran Sungai Couesnon dan air pasang surut laut sekaligus. Proyek ini merupakan proyek 10 tahun (direncanakan selesai pada 2015).
Sebuah pendekatan holistik yang mengintegrasikan cagar budaya dengan daerah penyangganya. Inilah sebuah sinkronisasi yang integral dan ditangani secara profesional. Usaha keras tersebut ternyata tidak sia-sia. Inilah sebuah daerah wisata nan luas dan tertata rapi. Tidak berlebihan jika daerah tersebut, setiap tahun dijejali 3 juta pasang kaki wisatawan.
Adam harnadi
“The future of The Mont, a treasure to be protected, returning the Mont to its maritime setting ,” begitulah kalimat yang ada di dalam brosur Mont Saint Michel. Sebuah semangat besar yang mencerminkan pandangan ke depan dan pentingnya memelihara situs wisata dan sejarah, berikut kawasan penyangganya.
Sebuah komitmen akan pentingnya pemeliharaan dan pelestarian yang holistik. Mont Saint Michel sebagai salah satu monumen prestisius di Prancis ini, baik ditilik dari sejarah berdirinya maupun sejarah pergolakan panjang sosial politik lokal dan regional, melahirkan dinamika yang begitu intens. Terlebih jika dikaitkan dengan kebijakan pemerintah Prancis dalam usahanya untuk mempertahankan pangsa pasar wisata utama dunia.
Sejenak menengok ke belakang, Mont Saint Michel pada awalnya dikenal sebagai Mont Tombe, merupakan hunian (commune ) yang sangat ideal dalam konteks keamanan. Terletak di atas karang di wilayah barat laut Normandi, kawasan ini dikenal sebagai hunian yang garang karena senantiasa diterpa gelombang air laut yang tidak ramah. Kehadiran bangunan kuno tersebut sepertinya ditasbihkan untuk menjadi saksi bisu pergolakan sosial politik di wilayah Eropa, khususnya di kawasan budaya Mediteranian.
Pada zaman Romawi, tempat ini dikenal sebagai Armorican, pusat budaya Gallo-Roman, sebuah wajah budaya gado-gado, (lokal dan Romawi). Drama terus berlanjut menyusuri lorong waktu dan peristiwa di wilayah tersebut. Sejak beralih fungsi sebagai monastori, tak ayal lagi Mont Saint Michel menjadi salah satu tujuan ziarah religi Katolik dan dikenal sebagai salah satu tempat ziarah bagi penganut agama Katolik yang paling berbahaya karena para peziarah mesti melawan keganasan gelombang pasang surut yang mengepung “karang religi” tersebut.
Masih pada abad pertengahan -ketika wilayah Prancis masih terbagi menjadi beberapa wilayah kekuasaan kerajaan- gempuran bangsa Viking yang ganas memaksa penguasa setempat (Kerajaan Franks) menyerahkan sebagian wilayahnya, termasuk Mont Saint Michel, kepada penguasa Bretons. Walaupun secara de facto , penguasa baru tersebut tidak pernah benar-benar menggenggamnya.
Pada saat meletus perang 100 tahun (1337- 1453) antara Kerajaan Inggris dan Prancis, Mont Saint Michel yang menjadi wilayah Kerajaan Prancis, berusaha direbut oleh Inggris. Usaha ini ditempuh sebanyak dua kali, yaitu pada 1423-1424 dan pada 1433-1444, dan kedua usaha tersebut gagal. Ketangguhan pasukan Kerajaan Prancis terinspirasi oleh pahlawan wanita mereka, yaitu Jeanne dArc (Joan of Arc), pada peperangan 100 tahun tersebut.
Selama revolusi Prancis, Mont Saint Michel kembali mengalami kontraksi sejarah yang ditandai dengan dialihfungsikannya situs sejarah tersebut menjadi penjara bagi lawan-lawan kaum republikan. Penutupan penjara bagi tokoh politik ternama ini terjadi pada 1863. Sebelumnya para tokoh terkemuka Prancis, termasuk seniman sekaliber Victor Hugo, mengkritik kebijakan politik di atas. Bahkan, pada 1874, Mont Saint Michel dinobatkan menjadi salah satu warisan arsitektur Nasional Prancis.
Dinamika situs sejarah tersebut tampaknya mengalami wajah yang berbeda dengan “gelar” baru di atas. Terlebih sejak bangunan tua tersebut, satu abad kemudian (1979), dinobatkan menjadi salah satu situs warisan dunia (world heritage sites ) oleh UNESCO. Sejak saat itu, pemerintah Prancis tidak pernah berhenti berbenah. Terbukti pada 2006 Dominique de Villepin, sebagai perdana menteri pemerintahan Chirac, mencanangkan proyek Mont Saint Michel, sebuah proyek lingkungan dengan menggelontorkan dana sebesar 164 juta euro.
Keputusan ini merupakan hasil kerja keras antara pemerintahan lokal, pusat, dan lembaga regional (Uni Eropa). Tidak tanggung-tanggung, dana tersebut dipakai untuk membiayai pembangunan bendungan hidrolik untuk mengatur aliran Sungai Couesnon dan air pasang surut laut sekaligus. Proyek ini merupakan proyek 10 tahun (direncanakan selesai pada 2015).
Sebuah pendekatan holistik yang mengintegrasikan cagar budaya dengan daerah penyangganya. Inilah sebuah sinkronisasi yang integral dan ditangani secara profesional. Usaha keras tersebut ternyata tidak sia-sia. Inilah sebuah daerah wisata nan luas dan tertata rapi. Tidak berlebihan jika daerah tersebut, setiap tahun dijejali 3 juta pasang kaki wisatawan.
Adam harnadi
(ars)