Masa Depan Museum

Selasa, 20 Januari 2015 - 12:30 WIB
Masa Depan Museum
Masa Depan Museum
A A A
Tentu Anda masih ingat film tentang Night at Museum yang dibintangi oleh Ben Stiller yang memerankan seorang penjaga malam di sebuah museum. Film komedi yang memasuki sekuel ke-3 pada akhir tahun lalu, dan debutnya pada 2006 silam meraih box office dengan narasi utama “menghidupkan” artefak bersejarah, seperti tulang Tyrannosaurus.

Adegan-adegannya kocak, misalnya patung Theodore Roosevelt yang tibatiba bangun memburu Pharaoh yang membuat onar. Trilogi film ini mengambil tempat di museum besar seperti American Museum of Science and Natural History di Kota New York. Nah yang menarik pada sekuel ke-2, Battle of the Smithsonian , diceritakan Larry (Ben Stiller) menemui kenyataan bahwa museum sedang tutup.

Mantan bos Larry mengeluh bahwa museum mengalami masa sulit, tidak banyak pengunjung datang, dan ia diminta memindahkan program ekshibisi sampai 90% ke the Smithsonian Institution. Sebagai gantinya, museumnya diarahkan untuk pameran holografi saja. Dialog itu bukanlah fiksi semata, namun semacam simbol. Itu karena kegelisahan memang sedang meruap di dunia nyata dari banyak kalangan, terutama para pekerja dan ahli permuseuman. Bahwa dari hari ke hari, museum bisa jadi ditinggalkan pengunjungnya jika tidak memiliki program yang unik.

Museum memang telah mengalami transformasi, semenjak ratusan tahun lalu, yang dimulai dengan orientasi mengoleksi dan mengonservasi artefak budaya. Dan, disusul dengan keutamaan pada studi-riset membuka seluasluasnya bagi dunia pendidikan, utamanya sejarah dan ilmu pengetahuan serta seni.

Namun, era telah berganti, tantangan baru muncul dengan banyak hal, seperti berkurangnya pendanaan baik dari sektor privat atau negara, tuntutan pengembangan sumber daya yang memadai sesuai zaman, dan kemampuan memikat pengunjung dengan program yang menghibur adalah sebuah keharusan. Antarmuseum menjadi berkompetisi, mereka yang paling kreatif menjadi pemenang. Tak peduli museum raksasa seperti Louevre di Prancis, Rijks di Belanda sampai British Museum di Inggris, semuanya berintrospeksi diri.

Karena itu, forum-forum diskusi dan konferensi digelar, dengan pertanyaan tunggal, “Bagaimana masa depan museum?” Dari beberapa sesi konferensi, semenjak awal 2000-an, para praktisi, akademisi, bahkan sampai pakar bisnis pemasaran dilibatkan. Mereka sepakat, salah satu kiat mencitrakan museum yang menarik adalah program yang berorientasi menggugah pengalaman emosi personal pengunjung museum.

Pengalaman Intim

Albert Boswijk, salah satu penulis buku dari A New Perspective on the Experience Economy: Meaningful Experiences, menyatakan bahwa ekonomi yang berfokus pengalaman adalah upaya yang lebih dari sekadar membuat orang terkagum-kagum. Selanjutnya mendapatkan makanan (di kafe dan restoran museum) serta pentas hiburan.

Namun, mampu menikmati pengalaman yang bermakna. Pada saat inilah, menurut Boswijk, mereka yang mendapatkan akan meningkatkan kebutuhannya untuk hadir, mengulanginya lagi, karena merasakannya. Sebagai contoh, pada 2011 tatkala Art Science Museum di Marina Bay, Singapura, dibuka, langsung serial ekshibisi sejarah dunia yang memikat dipertontonkan. Arsitektur bangunannya sudah menarik perhatian dengan sebentuk bunga lotus. Salah satu acaranya adalah Genghis Khan: The Exhibition.

Pengunjung dipastikan mengalami pengalaman khusus karena ketika memasuki interior museum seolah mengantarkannya ke gurun sahara. Ada kuda dan persenjataan, serta pakaian perang zaman bahuela tersampir di tenda-tenda. Apalagi jenazah seorang prajurit tar-tar yang diawetkan seperti terlihat baru terbunuh kemarin, tersembul di dipan khusus. Membangkitkan rasa ngeri dengan pencahayaan yang dibuat temaram.

Atau kita sejenak mengunjungi Museum Yayasan Louis Vuitton di Paris, dirancang oleh arsitek Frank Gehry, yang memadukan bentuk bongkahan es dengan layar-layar gelas raksasa yang menjulang tinggi. Tentu saja pengunjung akan terpikat dengan struktur bangunan yang tidak biasa, pastinya pengunjung akan mengulang kehadirannya karena penasaran. Museum ini kreatif menggelar penghargaan seniman muda kontemporer dengan beragam acara performance art .

Museum tentu saja terbantu dengan citra produk berkelas Louis Vuitton. Sebenarnya kita tak seberapa kalah, meskipun sumber daya manusia dan infrastruktur masih ketinggalan jauh dibandingkan negara-negara Eropa. Apalagi soal pendanaan. Tapi, mari kita coba tengok ke Aceh, arsitek Ridwan Kamil memberi sentuhan berbeda dengan merancang Museum Tsunami. Pengunjung dipastikan tercekam ngeri, di koridor depan menuju ruang dalam, kita akan menelusuri lorong gelap dengan sebelah kiri-kanan air terasa merembesi dinding.

Sebelum akhirnya cahaya terang memandu kita menyaksikan objek-objek bersejarah. Ingatan akan tsunami, air dan kegelapan adalah sebuah ajakan mengalami sensasi tragedi kemanusiaan yang dahsyat. Museum ini selain menjadi monumen ingatan, sekaligus tempat perlindungan dengan beton tinggi sebagai wahana pengungsian penduduk jika tsunami terjadi lagi. Pengalaman intim sejatinya yang menjadi kunci masa depan museum, tatkala era berubah; dan wisata museum pun menjadi agenda yang memang layak untuk tak dilewatkan begitu saja.

Bambang Asrini Widjanarko
Kurator dan Pengamat Seni
(bhr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5345 seconds (0.1#10.140)