Dua Pasang Hati
A
A
A
Meanwhile… “Astaga… Keenan? Baju lo… kenapa?” tanyanya heran, mendapati baju cowok itu sedikit basah dan berbau. Cowok itu nggak menjawab, malah mendelik tajam pada Lara.
“Ra, lo muntahin Keenan? Seserius lo?” tanyanya terbata-bata. Lara mengangguk lemah. Echa nggak tau mesti ketawa apa prihatin. Pasalnya, dua-duanya ini adalah orang-orang terdekatnya, membuatnya serba salah harus berpihak pada siapa. Baik Lara dan Keenan enggan beradu pandang. Keenan sibuk membersihkan bajunya, sementara Lara menegak air putih hangat.
Echa menyadari ada aura ketegangan dibalik sikap Lara dan Keenan yang seperti, meskipun ia tak mengerti apa penyebabnya. “Aduh, Nan. Maafin temen gue ya, ini si Lara,” kata Echa nggak enak hati. Dia berbisik, “Kerjaannya lagi banyak. Kalo lagi mabok dia emang suka nyalah-nyalahin orang.” Keenan tak menanggapi, hanya anggukan kepalanya yang mengisyaratkan jika dia memaklumkannya. Mata Keenan memandang dingin ke arah Lara.
Tidak satupun hatinya tergerak untuk membantu gadis belia itu. Pemandangan ini tentu saja membuat Echa dan Ardio, calon suaminya mengernyit heran. Ada apa sih sebenarnya dengan dua anak ini? Seperti ada sesuatu yang mereka tidak ketahui dari keduanya. “Ra, bangun, Ra. Udah enakan?” tanya Echa, sehabis menemani Lara di kamar mandi, muntah-muntah karena terlalu banyak minum. Cewek itu mengangguk lemah.
“Yuk sini, gue bantu,” ajak Echa pelan-pelan. Gadis itu menggopoh Lara hingga ke depan lobby Amoure. Penampilan Lara sudahlah tidak sesegar tadi. Rambut panjangnya kusut berantakan, matanya sembab dan bibirnya sudah tak cerah seperti beberapa jam yang lalu. Mood Lara saat itu juga sedang tidak baik, akibat pengaruh dari minuman keras yang ditelannya begitu banyak. Echa memandang iba sobatnya ini, sungguh malang nasib sobat setianya ini.
Nggak ada yang jadi tempat curhatannya, selain kakak satusatunya, Revan yang sudah pindah ke Finlandia beberapa tahun lalu, mengikuti istrinya Rara yang bekerja di sana. Belum lagi, kedua orang tua Lara yang sudah bercerai, lantas membuat sahabat yang dikenalnya sejak SMA itu kini merasa kesepian dan memilih clubbingsebagai pelipur laranya. “Sayang, gimana keadaan Lara? Dia baik-baik aja?” tanya Ardio, calon suami Echa.
Matanya ikut menatap Lara dengan raut wajah cemas, kasihan mendapati kondisi teman kekasihnya ini terpuruk. Echa hanya mengangguk. “Coba, kamu periksa dulu, Sayang.” Echa meminta dengan lembut. Echa membaringkan Lara di sebuah kursi panjang, di lobby depan Amoure. Cewek itu tampak begitu lemas terkulai. “Sebentar ya, Sayang. Aku ambilin stetoskop dulu,” pamit cowok itu dengan segera menuju mobil.
“Tunggu.” Suara dingin itu menghentikan langkah Ardio. “Kenapa, Nan?” “Biar gue yang meriksa aja. Kalian tunggu di sini, jagain dia. Gue ambil stetoskop dulu di mobil.” Kedua pasangan itu mengangguk. Nggak lama kemudian, Keenan sudah lenyap dari pandangan mereka. Tiba-tiba aja, perut Lara mulai bereaksi lagi. Mual-mual, dan ingin muntah. Tepat banget Keenan tiba dari mobil, Lara kembali muntahmuntah.
Kontan semua satpam memandangnya geli dan jijik. Tapi hal itu tidak menyurutkan keinginan Keenan untuk memeriksakan keadaan Lara. “Eh.. lo mau ngapain?” Lara mendadak bangun saat mendapati Keenan duduk di depannya.
“Nggak usah banyak nanya. Tidur buruan, gue mau meriksa lo,” sahutnya tanpa basa-basi. Ia segera memasang stetoskop di telinganya dan memeriksa bagian perut Lara. Lagi-lagi, Lara memalingkan wajahnya dari Keenan. (bersambung)
Oleh:
Vania M. Bernadette
“Ra, lo muntahin Keenan? Seserius lo?” tanyanya terbata-bata. Lara mengangguk lemah. Echa nggak tau mesti ketawa apa prihatin. Pasalnya, dua-duanya ini adalah orang-orang terdekatnya, membuatnya serba salah harus berpihak pada siapa. Baik Lara dan Keenan enggan beradu pandang. Keenan sibuk membersihkan bajunya, sementara Lara menegak air putih hangat.
Echa menyadari ada aura ketegangan dibalik sikap Lara dan Keenan yang seperti, meskipun ia tak mengerti apa penyebabnya. “Aduh, Nan. Maafin temen gue ya, ini si Lara,” kata Echa nggak enak hati. Dia berbisik, “Kerjaannya lagi banyak. Kalo lagi mabok dia emang suka nyalah-nyalahin orang.” Keenan tak menanggapi, hanya anggukan kepalanya yang mengisyaratkan jika dia memaklumkannya. Mata Keenan memandang dingin ke arah Lara.
Tidak satupun hatinya tergerak untuk membantu gadis belia itu. Pemandangan ini tentu saja membuat Echa dan Ardio, calon suaminya mengernyit heran. Ada apa sih sebenarnya dengan dua anak ini? Seperti ada sesuatu yang mereka tidak ketahui dari keduanya. “Ra, bangun, Ra. Udah enakan?” tanya Echa, sehabis menemani Lara di kamar mandi, muntah-muntah karena terlalu banyak minum. Cewek itu mengangguk lemah.
“Yuk sini, gue bantu,” ajak Echa pelan-pelan. Gadis itu menggopoh Lara hingga ke depan lobby Amoure. Penampilan Lara sudahlah tidak sesegar tadi. Rambut panjangnya kusut berantakan, matanya sembab dan bibirnya sudah tak cerah seperti beberapa jam yang lalu. Mood Lara saat itu juga sedang tidak baik, akibat pengaruh dari minuman keras yang ditelannya begitu banyak. Echa memandang iba sobatnya ini, sungguh malang nasib sobat setianya ini.
Nggak ada yang jadi tempat curhatannya, selain kakak satusatunya, Revan yang sudah pindah ke Finlandia beberapa tahun lalu, mengikuti istrinya Rara yang bekerja di sana. Belum lagi, kedua orang tua Lara yang sudah bercerai, lantas membuat sahabat yang dikenalnya sejak SMA itu kini merasa kesepian dan memilih clubbingsebagai pelipur laranya. “Sayang, gimana keadaan Lara? Dia baik-baik aja?” tanya Ardio, calon suami Echa.
Matanya ikut menatap Lara dengan raut wajah cemas, kasihan mendapati kondisi teman kekasihnya ini terpuruk. Echa hanya mengangguk. “Coba, kamu periksa dulu, Sayang.” Echa meminta dengan lembut. Echa membaringkan Lara di sebuah kursi panjang, di lobby depan Amoure. Cewek itu tampak begitu lemas terkulai. “Sebentar ya, Sayang. Aku ambilin stetoskop dulu,” pamit cowok itu dengan segera menuju mobil.
“Tunggu.” Suara dingin itu menghentikan langkah Ardio. “Kenapa, Nan?” “Biar gue yang meriksa aja. Kalian tunggu di sini, jagain dia. Gue ambil stetoskop dulu di mobil.” Kedua pasangan itu mengangguk. Nggak lama kemudian, Keenan sudah lenyap dari pandangan mereka. Tiba-tiba aja, perut Lara mulai bereaksi lagi. Mual-mual, dan ingin muntah. Tepat banget Keenan tiba dari mobil, Lara kembali muntahmuntah.
Kontan semua satpam memandangnya geli dan jijik. Tapi hal itu tidak menyurutkan keinginan Keenan untuk memeriksakan keadaan Lara. “Eh.. lo mau ngapain?” Lara mendadak bangun saat mendapati Keenan duduk di depannya.
“Nggak usah banyak nanya. Tidur buruan, gue mau meriksa lo,” sahutnya tanpa basa-basi. Ia segera memasang stetoskop di telinganya dan memeriksa bagian perut Lara. Lagi-lagi, Lara memalingkan wajahnya dari Keenan. (bersambung)
Oleh:
Vania M. Bernadette
(ars)