Dua Pasang Hati
A
A
A
Ding! “Tunjukkin gue arah ke sana. Gue nggak tahu ke daerah rumah lo yang baru.” “Tapi kita di mana sekarang?” “Di jalanlah. Nggak bisa lihat banyak mobil lagi jalan di depan lo?” Lara melipat tangannya kesal, “Turunin gue di sini. Gue bisa jalan sendiri.”
Cowok itu tak menanggapi, dengan sengaja ia mengunci pintu mobil. “Turunin gue!” bentak Lara. Keenan tidak peduli dengan bentakan Lara barusan, malah cowok itu menancapkan gasnya dengan kecepatan tinggi. ”Heh kalo lo mau mati, jangan ajak-ajak orang!Mati aja sendiri sana!” Lara semakin berontak. “Lo bisa diem nggak!” Suara dingin Keenan membungkam mulut Lara dengan satu hentakan.
Lara memalingkan mukanya ke arah lain, sementara Keenan mengatur napasnya seusai teriak-teriak pada Lara. “Turunin gue di sini, Nan. Please.” “Lo jangan nguji kesabaran gue ya, Ra. Jangan main-main sama gue!” Cowok itu membalas tak kalah sengit. “Gue nggak peduli apa kata lo. Turunin gue disini!” Lara belum gerah dibentak Keenan.
Dia dengan sengaja mencoba membuka pintu mobil Keenan. Cowok itu dibuatnya tidak konsentrasi sama sekali, akibat kelakuan brutal Lara yang nggak berhenti mencoba membukanya. Tanpa disadari Lara, air matanya mulai terjatuh. Ia menyerah setelah mencoba membuka pintu mobil Keenan, ternyata hatinya masih belum bisa memaafkan laki-laki itu.
Jangankan memaafkan, melihat wajahnya saja dia tidak sudi. Malah, di tempat yang seharusnya menyenangkan bagi Lara–keduanya dipertemukan kembali. Cewek itu menahan tangisnya, kemudian tetap memalingkan wajahnya dari Keenan. Siapa sih yang nyangka di tempat sebesar itu saja dia masih dipertemukan oleh Keenan Bagaskara–pria yang dijodohkan dengannya sembilan tahun lalu, saat ia masih bau kencur?
Kenapa harus Keenan, bukan Brad Pitt atau Rami Malek, aktor Hollywood favoritnya. Kenapa? Batin Lara menjerit sebal. Hampir sembilan tahun lamanya keduanya tidak saling bertemu, apalagi sejak si Feli, cewek berengsek itu mengambil cowok ini darinya. Lara sengaja menenggelamkan dirinya pada kesibukan dengan bekerja sebagai manajer desain interior di sebuah perusahaan home and living, sekaligus melupakan Keenan, cinta pertamanya.
Dia nggak ada perubahan dari dulu. Masih ketus dan selalu sok tahu, mentang-mentang dia lulusan kedokteran, gaya bicaranya masih kaku dan terlampau serius sih. Bahkan dia masih mengingat kalo Lara adalah penderita maag, migraine, vertigo akut. Sejak SMA dulu, ibunda Lara banyak cerita tentang dirinya pada pria ini.
Eh, ujungnya sama aja… dia malah asyikasyikan pacaran dengan si cewek penggoda itu. Lara tidak mendapati beberapa perubahan pada fisik Keenan. Tubuhnya masih setegap dan sekokoh dulu, lengan-lengannya menonjolkan urat kecil di sekitarnya. Mungkin, keseringan operasi C-section kali ya? Hanya saja rahang cowok itu dipenuhi dengan janggut-janggut halus dan kumis tipis di atas bibirnya.
Berbeda dengan sembilan tahun lalu, ketika ia masih kuliah dulu, mulus dan nggak berjenggot. Walaupun usia Keenan sudah menginjak 30 tahun, tapi penampilan cowok itu masih tetap terjaga, bahkan ada yang menyanjung bahwa cowok itu terlihat semakin oke, ketika usianya menginjak tiga puluh tahun ke atas nanti.
Bagaimana bisa? Semua orang kan pasti akan bertambah tua. Biarpun banyak yang berkata seperti itu, namanya fisik nggak akan pernah bohong. Lara mampu melihat jelas ada kerutankerutan yang mulai tergambar di dahi dan pelipisnya. You deserve to be called ‘Om’, gumam Lara dalam hati.
“Sampe rumah, istirahat total ya, Ra. Besok jangan kerja dulu,” kata cowok itu seraya membanting setir ke kiri, tepat sebelah rumah Lara. Cowok itu memicingkan matanya dan mencondongkan tubuhnya dekat tubuh Lara. (bersambung)
Vania M. Bernadette
Cowok itu tak menanggapi, dengan sengaja ia mengunci pintu mobil. “Turunin gue!” bentak Lara. Keenan tidak peduli dengan bentakan Lara barusan, malah cowok itu menancapkan gasnya dengan kecepatan tinggi. ”Heh kalo lo mau mati, jangan ajak-ajak orang!Mati aja sendiri sana!” Lara semakin berontak. “Lo bisa diem nggak!” Suara dingin Keenan membungkam mulut Lara dengan satu hentakan.
Lara memalingkan mukanya ke arah lain, sementara Keenan mengatur napasnya seusai teriak-teriak pada Lara. “Turunin gue di sini, Nan. Please.” “Lo jangan nguji kesabaran gue ya, Ra. Jangan main-main sama gue!” Cowok itu membalas tak kalah sengit. “Gue nggak peduli apa kata lo. Turunin gue disini!” Lara belum gerah dibentak Keenan.
Dia dengan sengaja mencoba membuka pintu mobil Keenan. Cowok itu dibuatnya tidak konsentrasi sama sekali, akibat kelakuan brutal Lara yang nggak berhenti mencoba membukanya. Tanpa disadari Lara, air matanya mulai terjatuh. Ia menyerah setelah mencoba membuka pintu mobil Keenan, ternyata hatinya masih belum bisa memaafkan laki-laki itu.
Jangankan memaafkan, melihat wajahnya saja dia tidak sudi. Malah, di tempat yang seharusnya menyenangkan bagi Lara–keduanya dipertemukan kembali. Cewek itu menahan tangisnya, kemudian tetap memalingkan wajahnya dari Keenan. Siapa sih yang nyangka di tempat sebesar itu saja dia masih dipertemukan oleh Keenan Bagaskara–pria yang dijodohkan dengannya sembilan tahun lalu, saat ia masih bau kencur?
Kenapa harus Keenan, bukan Brad Pitt atau Rami Malek, aktor Hollywood favoritnya. Kenapa? Batin Lara menjerit sebal. Hampir sembilan tahun lamanya keduanya tidak saling bertemu, apalagi sejak si Feli, cewek berengsek itu mengambil cowok ini darinya. Lara sengaja menenggelamkan dirinya pada kesibukan dengan bekerja sebagai manajer desain interior di sebuah perusahaan home and living, sekaligus melupakan Keenan, cinta pertamanya.
Dia nggak ada perubahan dari dulu. Masih ketus dan selalu sok tahu, mentang-mentang dia lulusan kedokteran, gaya bicaranya masih kaku dan terlampau serius sih. Bahkan dia masih mengingat kalo Lara adalah penderita maag, migraine, vertigo akut. Sejak SMA dulu, ibunda Lara banyak cerita tentang dirinya pada pria ini.
Eh, ujungnya sama aja… dia malah asyikasyikan pacaran dengan si cewek penggoda itu. Lara tidak mendapati beberapa perubahan pada fisik Keenan. Tubuhnya masih setegap dan sekokoh dulu, lengan-lengannya menonjolkan urat kecil di sekitarnya. Mungkin, keseringan operasi C-section kali ya? Hanya saja rahang cowok itu dipenuhi dengan janggut-janggut halus dan kumis tipis di atas bibirnya.
Berbeda dengan sembilan tahun lalu, ketika ia masih kuliah dulu, mulus dan nggak berjenggot. Walaupun usia Keenan sudah menginjak 30 tahun, tapi penampilan cowok itu masih tetap terjaga, bahkan ada yang menyanjung bahwa cowok itu terlihat semakin oke, ketika usianya menginjak tiga puluh tahun ke atas nanti.
Bagaimana bisa? Semua orang kan pasti akan bertambah tua. Biarpun banyak yang berkata seperti itu, namanya fisik nggak akan pernah bohong. Lara mampu melihat jelas ada kerutankerutan yang mulai tergambar di dahi dan pelipisnya. You deserve to be called ‘Om’, gumam Lara dalam hati.
“Sampe rumah, istirahat total ya, Ra. Besok jangan kerja dulu,” kata cowok itu seraya membanting setir ke kiri, tepat sebelah rumah Lara. Cowok itu memicingkan matanya dan mencondongkan tubuhnya dekat tubuh Lara. (bersambung)
Vania M. Bernadette
(ftr)