Dua Pasang Hati

Selasa, 05 Mei 2015 - 09:27 WIB
Dua Pasang Hati
Dua Pasang Hati
A A A
”Ssshhh! Duh, Mbak Retnooo.” Cowok itu menundukkan kepalanya, wajahnya panik seketika jati dirinya diketahui oleh Lara. Retno mendelik tajam ke arah Lara. ”Lara Ardenia, ayo kita meeting sebentar.

Udah siapin bahan-bahan meeting-nya kan buat kepala rumah sakitnya?” Lara mengangguk. Ia pun mengikuti langkah Retno masuk ke ruang meeting. ”Gue duluan ya,” ucap Lara sedikit menundukkan kepada staf di sana. Lima menit berselang, batang hidung Lara sudah tak terlihat, ia sudah duduk manis di ruang meeting Magenta Architecture.

Tiga Lara meregangkan otot-otot pegalnya di kursi meeting , setelah hampir satu jam ia dan Retno berbincang tentang konsep ruang praktik yang diminta oleh pihak rumah sakit. Pukul satu siang nanti, Lara akan berkunjung ke rumah sakit tersebut, untuk meninjau lokasi rumah sakit tersebut dan berdiskusi dengan sang pemilik rumah sakit. Rasa kantuk Lara kembali menyerangnya, apalagi menjelang makan siang kayak gini nih, mata Lara seperti direkatkan oleh sebuah lem dengan sangat erat.

Bosan, Lara mengetuk-ngetukkan jemari lentiknya sambil membaca memo hasil rapat yang sudah disepakati oleh pihak Magenta Architecture. Ia melirik jam tangannya, tidak terasa sudah pukul dua belas siang, itu berarti kini ia harus bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit tersebut. Tok! Tok! Lara memalingkan wajahnya ke luar kaca bening. Echa? Sobatnya itu tiba-tiba memberinya kejutan. Tanpa sepengetahuan Lara, Echa datang, sekedar memberi ucapan selamat atas pindahnya Lara di tempat baru.

”Echaaa...” panggil Lara, raut wajah dua perempuan itu terlihat begitu senang. Seakan tidak saling bertemu sekian lama, mereka berdua memeluk erat-erat. ”Ih, kok lo nggak bilang-bilang sih, kalo mau dateng?” protes Lara sambil pura-pura merengut. ”Ya nggak surprise dong kalo gue kasih tau, Ra. Oh iya, by the way congrats ya udah pindah di tempat baru,” ujar Echa menatap wajah sahabatnya tulus.

”Thank you ya, Say. Eh, lo ke sini udah bilang sama laki lo belum tuh?” Echa mengangguk. ”Udah dong, Say. Selain mau ngucapin selamat ke sahabat gue yang paling nyebelin satu ini, gue juga mau ngajak lo ntar sore nemenin gue fitting baju pengantin, sekaligus baju pager ayu lo.” ”Aduh, Cha... maaf banget nih, gue ntar siang harus ke rumah sakit yang minta desain interior ruang praktiknya itu. Gue nggak janji bisa nemenin lo apa nggak, Cha...” ujar Lara nggak enak hati.

”Yaah... maaf ya Ra, gue nggak tahu kalo lo lagi sibuk gini. Ya nggak apa-apa sih, masih bisa besok kok,” Echa memakluminya. Ia menyapu punggung tangan Lara lalu tersenyum. ”Eh, Ra, gimana tuh si dokter pete udah nggak ngabar-ngabarin lo lagi? Minta ganti gitu, abis lo muntahin bajunya waktu itu?” tanya Echa penasaran dengan nada ngegodain Lara.

”Minta ganti ke gue? Awas aja tuh orang kalo berani! Masa gara-gara gitu dia minta ganti, namanya juga accident ,” Lara membalas galak. ”Hahaha. Ra, jangan benci-benci gitu loh sama si dokter pete. Ntar suka balik lo!” tukas Echa sambil menunjuk Lara. ”Idiiiihhhhh... gila lo ya, Cha?

Kalo sampe nggak ada satu cowok pun di dunia ini selain dia, mendingan gue ngejomblo seumur hidup,” sumpah Lara dengan sungguh-sungguh, diikuti wajah melet Echa padanya. ”Bener ya... jangan nyesel lo, kalo liat dia nikah sama perempuan lain nanti,” Echa bersikukuh meledek Lara.

Entah apa yang ada di benaknya, sepertinya terlihat jelas bahwa Lara bisa dipersatukan dengan Keenan. Lucu kali ya? Yang satu berisik banget, yang satu lagi diemdiem misterius gitu. Lagi pula apa salahnya sih, kalo mereka bersatu kembali? Its not a bad choice though. Keenan itu sesungguhnya laki-laki yang sangat baik. Hanya saja, dia terlampau serius, persis seperti apa yang dikatakan Lara. (bersambung)

OLEH: VANIA M. BERNADETTE
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6654 seconds (0.1#10.140)