Dua Pasang Hati
A
A
A
Dari mana dokter ini tahu kalau dia akan menggugurkan bayi yang akan dikandungnya? ”Kenapa kamu enggak berani ngeliat mata saya?” tanya Keenan pelan-pelan.
Ia terkejut saat mendapati gadis belia itu tiba-tiba saja menangis dan memohon padanya, ”Dokter, saya mohon. Bantu saya untuk menggugurkan kandungan saya. Kalau nggak, saya... akan diusir sama Papa dari rumah.” ”Saya akan bayar berapa pun yang Dokter mau, yang penting saya lepas dari tanggung jawab saya, Dok. Saya masih ingin sekolah...” Keenan bangkit dari kursinya, lalu berdiri menghadap gadis itu.
”Tanggung jawab kata kamu? Yang harusnya tanggung jawab itu, nggak cuma kamu, tapi juga cowok yang udah menghamili kamu.” ”Dokter.. please ...” ”Kamu tahu, kenapa saya di awalawal bilang ke kamu, banyak orang yang menginginkan kehadiran seorang anak?” Gadis itu menggeleng lemah. ”Karena, ketika seorang perempuan sudah menjadi seorang ibu, ia akan merasa lebih bahagia dari apa pun.
Kamu tahu kan, bagaimana perjuangan seorang ibu? Ia akan merasa bahagia sekali, kalau melihat anaknya bisa tumbuh dengan sempurna. Jadi anak yang baik, berhasil dan sukses.” Mendengar ucapan Keenan, tibatiba saja air mata gadis itu berhenti begitu saja, seperti ada ketegaran yang meluluhlantakkan segala ketakutan dan kelemahannya. Ia tidak tahu mengapa penjelasan Keenan seakan membuka mata hatinya akan sesuatu.
”Nggak semua orang mudah mendapatkan anugerah terindah kayak yang kamu punya sekarang, Jovani. Ada yang harus menunggu bertahun-tahun, bahkan sampai ikut program. Itu pun, chance -nya sangat minim untuk berhasil. Kamu nggak kepengen, ngeliat anak kamu itu bisa dengan bangga menyebut kamu Mama, terus bilang ke temen-temennya, Ini lho, Mama aku yang paling aku sayang dan cinta sedunia?” Isak tangis Jovani kembali pecah, ia tak lagi bisa menahannya.
Ia mengelus-elus perutnya itu dengan sayang. Ia tahu kini ia tak lagi sendiri, biarpun lelaki yang tega berbuat nista padanya itu meninggalkannya begitu saja. Keenan tersenyum bangga di balik kacamatanya. Ia merasa gadis itu perlu penyemangat hidup, yang tak lain ialah sang bayi yang dikandungnya. Ia memandang mata gadis itu yang kini berubah sembab.
”Makan sayur yang banyak dan gizi yang cukup, biar anak kamu bisa tumbuh sehat, pintar, dan cantik, seperti ibunya.” Gadis itu menghapus jejak air matanya, ”Pintar?” Keenan mengangguk, ”Pintar, karena kamu berani tanggung jawab dengan apa yang kamu lakukan.” Gadis itu tersenyum mendengar pujian tulus dari Keenan. ”Dok, mudah-mudahan anak saya laki-laki. Terus, saya akan kasih nama seusai dengan nama Dokter. Biar dia pintar, hebat, dan ganteng kayak Dokter.” Senyum itu lagi-lagi terurai di wajahnya.
”Hahaha, boleh-boleh. Gitu dong, kasihan kan anak kamu di perut, sedih juga kalau ibunya sedih.” ”Bisa gitu ya, Dok? Saya baru tau, hehehe. Makasih ya, Dok udah menyadarkan saya, kalau saya masih punya penyemangat hidup..” ujar cewek itu sambil berbaring sambil meringis kegelian, ketika gel pendeteksi dioleskan di perutnya. ”No problem , Jo.”
Keenan berkata sambil melihat posisi janin yang masih berbentuk titik di perut gadis itu. Seusai Keenan memeriksakan kandungan Jovani, ia berpesan pada gadis itu untuk tidak membayar biaya administrasi pemeriksaan kandungannya. Gadis muda itu tampak terkejut sekaligus tersentuh dengan kebaikan hati sang dokter tampan itu. ”Dokter serius?” Keenan lagi-lagi tersenyum hangat pada Jovani, ”Hadiah untuk kamu karena penuh tanggung jawab.”
”Terima kasih, Pak Hasan. Saya dan tim saya akan berusaha sebaik mungkin untuk mendesain ruang praktik yang baru dengan baik,” ucap Lara, membalas jabatan tangan dari kepala rumah sakit Harapan Bangsa itu. ”Sama-sama, Lara. Saya berharap Magenta Architecture bisa membuat kami kembali terkesan,” balas Pak Hasan disertai uraian senyum di bibirnya. (bersambung)
Vania M. Bernadette
Ia terkejut saat mendapati gadis belia itu tiba-tiba saja menangis dan memohon padanya, ”Dokter, saya mohon. Bantu saya untuk menggugurkan kandungan saya. Kalau nggak, saya... akan diusir sama Papa dari rumah.” ”Saya akan bayar berapa pun yang Dokter mau, yang penting saya lepas dari tanggung jawab saya, Dok. Saya masih ingin sekolah...” Keenan bangkit dari kursinya, lalu berdiri menghadap gadis itu.
”Tanggung jawab kata kamu? Yang harusnya tanggung jawab itu, nggak cuma kamu, tapi juga cowok yang udah menghamili kamu.” ”Dokter.. please ...” ”Kamu tahu, kenapa saya di awalawal bilang ke kamu, banyak orang yang menginginkan kehadiran seorang anak?” Gadis itu menggeleng lemah. ”Karena, ketika seorang perempuan sudah menjadi seorang ibu, ia akan merasa lebih bahagia dari apa pun.
Kamu tahu kan, bagaimana perjuangan seorang ibu? Ia akan merasa bahagia sekali, kalau melihat anaknya bisa tumbuh dengan sempurna. Jadi anak yang baik, berhasil dan sukses.” Mendengar ucapan Keenan, tibatiba saja air mata gadis itu berhenti begitu saja, seperti ada ketegaran yang meluluhlantakkan segala ketakutan dan kelemahannya. Ia tidak tahu mengapa penjelasan Keenan seakan membuka mata hatinya akan sesuatu.
”Nggak semua orang mudah mendapatkan anugerah terindah kayak yang kamu punya sekarang, Jovani. Ada yang harus menunggu bertahun-tahun, bahkan sampai ikut program. Itu pun, chance -nya sangat minim untuk berhasil. Kamu nggak kepengen, ngeliat anak kamu itu bisa dengan bangga menyebut kamu Mama, terus bilang ke temen-temennya, Ini lho, Mama aku yang paling aku sayang dan cinta sedunia?” Isak tangis Jovani kembali pecah, ia tak lagi bisa menahannya.
Ia mengelus-elus perutnya itu dengan sayang. Ia tahu kini ia tak lagi sendiri, biarpun lelaki yang tega berbuat nista padanya itu meninggalkannya begitu saja. Keenan tersenyum bangga di balik kacamatanya. Ia merasa gadis itu perlu penyemangat hidup, yang tak lain ialah sang bayi yang dikandungnya. Ia memandang mata gadis itu yang kini berubah sembab.
”Makan sayur yang banyak dan gizi yang cukup, biar anak kamu bisa tumbuh sehat, pintar, dan cantik, seperti ibunya.” Gadis itu menghapus jejak air matanya, ”Pintar?” Keenan mengangguk, ”Pintar, karena kamu berani tanggung jawab dengan apa yang kamu lakukan.” Gadis itu tersenyum mendengar pujian tulus dari Keenan. ”Dok, mudah-mudahan anak saya laki-laki. Terus, saya akan kasih nama seusai dengan nama Dokter. Biar dia pintar, hebat, dan ganteng kayak Dokter.” Senyum itu lagi-lagi terurai di wajahnya.
”Hahaha, boleh-boleh. Gitu dong, kasihan kan anak kamu di perut, sedih juga kalau ibunya sedih.” ”Bisa gitu ya, Dok? Saya baru tau, hehehe. Makasih ya, Dok udah menyadarkan saya, kalau saya masih punya penyemangat hidup..” ujar cewek itu sambil berbaring sambil meringis kegelian, ketika gel pendeteksi dioleskan di perutnya. ”No problem , Jo.”
Keenan berkata sambil melihat posisi janin yang masih berbentuk titik di perut gadis itu. Seusai Keenan memeriksakan kandungan Jovani, ia berpesan pada gadis itu untuk tidak membayar biaya administrasi pemeriksaan kandungannya. Gadis muda itu tampak terkejut sekaligus tersentuh dengan kebaikan hati sang dokter tampan itu. ”Dokter serius?” Keenan lagi-lagi tersenyum hangat pada Jovani, ”Hadiah untuk kamu karena penuh tanggung jawab.”
”Terima kasih, Pak Hasan. Saya dan tim saya akan berusaha sebaik mungkin untuk mendesain ruang praktik yang baru dengan baik,” ucap Lara, membalas jabatan tangan dari kepala rumah sakit Harapan Bangsa itu. ”Sama-sama, Lara. Saya berharap Magenta Architecture bisa membuat kami kembali terkesan,” balas Pak Hasan disertai uraian senyum di bibirnya. (bersambung)
Vania M. Bernadette
(bbg)