Dua Pasang Hati
A
A
A
”Pasti, Pak.” Begitulah, akhir dari meeting tentang konsep ruang dan desain dari ruang praktik para dokter yang ada di sini.
Sesuai dengan keinginan Pak Hasan, selaku kepala rumah sakit ini, meminta agar desain ruangannya diberi nuansa biru dengan tambahan jam dinding berbentuk jangkar kapal serta ornamen-ornamen yang berhubungan dengan laut. Katanya, biar kelihatan lebih fresh dan memberi kenyamanan bagi pasien yang datang. Kini saatnya bagi Lara untuk melakukan survei denah lokasi ruang dokter yang baru, di lantai 2.
Ketika mereka sampai di depan lift, tiba-tiba perasaan Lara tak menentu. Seperti ada ketakutan yang hendak menyerangnya. Daripada nantinya ia menyusahkan dua anak buahnya itu, ia memilih menuruni anak tangga, yang tentu saja membuat Dodo dan Silvia lantas keheranan. ”Mbak Lara, mau nggak saya temenin turun tangga?” tawar Silvia dengan khawatir pada cewek itu. ”Nggak apa-apa, Sil, nggak usah,” tolak Lara halus.
”Yakin nih, Mbak? Apa perlu tak kancani sekalian, biar kalau ada apaapa, Dodo bisa jagain Mbak Lara.” Satu lagi anak buahnya menawarkan bantuan sambil memperagakan jurus-jurus silatnya. ”Eh Kribo, maneh teh jangan malumaluin kita ya. Masa depan umum kayak gitu sih? Nggak lucu, tau nggak?” omel Silvia pada cowok lugu itu. Lara sampai-sampai tak habis pikir, kenapa sih ini anak dua berantem terus?
Kayak kucing sama anjing aja, dia jadi teringat kata-kata Echa... jangan terlalu benci sama orang, nanti bisa... Lara membuang jauh-jauh pikirannya tentang Keenan. Ah, kenapa belakangan jadi keingat nama itu lagi sih? Setelah sembilan tahun berlalu, hidup Lara berangsur membaik tanpa ada nama Keenan di benaknya. Semuanya terasa lebih indah, tenang, dan damai.
Eh, karena accident empat hari lalu itu, nama Keenan lagilagi menghantui pikirannya. Idih, amitamit gue punya laki macam patung begitu, yakin Lara dalam hati. ”Aduh, udah dong, kalian ini satu tim tapi kok berantem terus sih? Jangan kayak gitu dong. Gimana kita bisa solid kalau kalian pada nggak bisa nahan emosi seperti itu?” Lara akhirnya membuka mulut, melempar wajah kesal kepada keduanya.
”Saya bisa turun sendiri. Udah ya, kalian berdua naik lift sana.” Cewek itu lantas meninggalkan keduanya yang memandang punggung Lara bergeming. Sepuluh menit berlalu, Lara kini sudah berada di lantai dua. Lokasi yang akan menjadi ruangnya berkarya sebagai desainer interior. Saat hendak memulai peninjauannya di ruang pertama, Lara mendapati seorang gadis berseragam SMA melenggang di hadapannya.
Bisa dipastikan jika gadis itu habis menangis, sebab matanya terlihat begitu sembab. Pasti dia sedih, karena sanak saudaranya meninggal dunia, begitu yang terlintas di benaknya. Tapi... kalau ada saudaranya yang meninggal, kenapa dia ada di bagian obatobatan begini ya? Sepertinya dugaan Lara salah. Saat ia duduk manis di bangku penunggu, ia terus memandangi perutnya, lalu sejurus kemudian ia mengelus perutnya itu.
Seolah dia... Astaga, jangan-jangan pikirannya benar, anak SMA itu pasti lagi hamil. Ia bergidik ngeri kalau sampe pikirannya ini benar. Lara menangkupkan tangannya di bibirnya, ia merasa simpati dengan gadis muda yang harus menanggung akibat dari perbuatannya tersebut. Mana dia sendirian, lagi. Si calon ayah tidak tampak batang hidungnya. Ya ampun... Lara menyipitkan matanya samar-samar berusaha mengenali wajah gadis itu.
Berhubung harus menunggu dua anak buahnya yang belum keluar dari toilet, Lara pun mengistirahatkan kakinya di dekat bangku anak itu. Kerongkongan Lara terasa sekering gurun Sahara, saat mendapati anak itu terlihat begitu tenang pembawaannya. Apa dia nggak takut digampar sama orang tuanya, lalu dicoret namanya dari KK? Wajahnya sama sekali tidak menyiratkan kesedihan, malah mata sendunya itu memancarkan kasih sayang seorang ibu pada anaknya.
”Mbak... mau berobat juga?” tanya anak itu tiba-tiba. Suara halusnya membuat jantung Lara sedikit terbangun. ”Dari tadi kayaknya Mbak ngeliatin saya terus.” Gadis itu tersenyum padanya. (bersambung)
OLEH:
Vania M. Bernadette
Sesuai dengan keinginan Pak Hasan, selaku kepala rumah sakit ini, meminta agar desain ruangannya diberi nuansa biru dengan tambahan jam dinding berbentuk jangkar kapal serta ornamen-ornamen yang berhubungan dengan laut. Katanya, biar kelihatan lebih fresh dan memberi kenyamanan bagi pasien yang datang. Kini saatnya bagi Lara untuk melakukan survei denah lokasi ruang dokter yang baru, di lantai 2.
Ketika mereka sampai di depan lift, tiba-tiba perasaan Lara tak menentu. Seperti ada ketakutan yang hendak menyerangnya. Daripada nantinya ia menyusahkan dua anak buahnya itu, ia memilih menuruni anak tangga, yang tentu saja membuat Dodo dan Silvia lantas keheranan. ”Mbak Lara, mau nggak saya temenin turun tangga?” tawar Silvia dengan khawatir pada cewek itu. ”Nggak apa-apa, Sil, nggak usah,” tolak Lara halus.
”Yakin nih, Mbak? Apa perlu tak kancani sekalian, biar kalau ada apaapa, Dodo bisa jagain Mbak Lara.” Satu lagi anak buahnya menawarkan bantuan sambil memperagakan jurus-jurus silatnya. ”Eh Kribo, maneh teh jangan malumaluin kita ya. Masa depan umum kayak gitu sih? Nggak lucu, tau nggak?” omel Silvia pada cowok lugu itu. Lara sampai-sampai tak habis pikir, kenapa sih ini anak dua berantem terus?
Kayak kucing sama anjing aja, dia jadi teringat kata-kata Echa... jangan terlalu benci sama orang, nanti bisa... Lara membuang jauh-jauh pikirannya tentang Keenan. Ah, kenapa belakangan jadi keingat nama itu lagi sih? Setelah sembilan tahun berlalu, hidup Lara berangsur membaik tanpa ada nama Keenan di benaknya. Semuanya terasa lebih indah, tenang, dan damai.
Eh, karena accident empat hari lalu itu, nama Keenan lagilagi menghantui pikirannya. Idih, amitamit gue punya laki macam patung begitu, yakin Lara dalam hati. ”Aduh, udah dong, kalian ini satu tim tapi kok berantem terus sih? Jangan kayak gitu dong. Gimana kita bisa solid kalau kalian pada nggak bisa nahan emosi seperti itu?” Lara akhirnya membuka mulut, melempar wajah kesal kepada keduanya.
”Saya bisa turun sendiri. Udah ya, kalian berdua naik lift sana.” Cewek itu lantas meninggalkan keduanya yang memandang punggung Lara bergeming. Sepuluh menit berlalu, Lara kini sudah berada di lantai dua. Lokasi yang akan menjadi ruangnya berkarya sebagai desainer interior. Saat hendak memulai peninjauannya di ruang pertama, Lara mendapati seorang gadis berseragam SMA melenggang di hadapannya.
Bisa dipastikan jika gadis itu habis menangis, sebab matanya terlihat begitu sembab. Pasti dia sedih, karena sanak saudaranya meninggal dunia, begitu yang terlintas di benaknya. Tapi... kalau ada saudaranya yang meninggal, kenapa dia ada di bagian obatobatan begini ya? Sepertinya dugaan Lara salah. Saat ia duduk manis di bangku penunggu, ia terus memandangi perutnya, lalu sejurus kemudian ia mengelus perutnya itu.
Seolah dia... Astaga, jangan-jangan pikirannya benar, anak SMA itu pasti lagi hamil. Ia bergidik ngeri kalau sampe pikirannya ini benar. Lara menangkupkan tangannya di bibirnya, ia merasa simpati dengan gadis muda yang harus menanggung akibat dari perbuatannya tersebut. Mana dia sendirian, lagi. Si calon ayah tidak tampak batang hidungnya. Ya ampun... Lara menyipitkan matanya samar-samar berusaha mengenali wajah gadis itu.
Berhubung harus menunggu dua anak buahnya yang belum keluar dari toilet, Lara pun mengistirahatkan kakinya di dekat bangku anak itu. Kerongkongan Lara terasa sekering gurun Sahara, saat mendapati anak itu terlihat begitu tenang pembawaannya. Apa dia nggak takut digampar sama orang tuanya, lalu dicoret namanya dari KK? Wajahnya sama sekali tidak menyiratkan kesedihan, malah mata sendunya itu memancarkan kasih sayang seorang ibu pada anaknya.
”Mbak... mau berobat juga?” tanya anak itu tiba-tiba. Suara halusnya membuat jantung Lara sedikit terbangun. ”Dari tadi kayaknya Mbak ngeliatin saya terus.” Gadis itu tersenyum padanya. (bersambung)
OLEH:
Vania M. Bernadette
(ars)