Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 12 Bagian 2
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
Melihat harimau itu, Soan Cu lalu berseru, "Kucing besar, kau nakal sekali!" Harimau itu menggereng dan menoleh. Ketika dia melihat seorang wanita memegang cambuk, dia menggereng dan cepat sekali, berlawanan dengan tubuhnya yang besar, dia sudah membalik dan menubruk.
"Celaka...!" A-siong berseru kaget, memeluk batang pohon dan menahan napas, membelalakkan matanya.
Akan tetapi, tanpa mengelak Soan Cu sudah menggerakkan cambuknya. "Tar-tar!" ujung cambuk itu menyambar dan membelit kaki depan kanan harimau itu dan sekali tarik, tubuh harimau yang sedang meloncat itu terbanting ke atas tanah.
Harimau itu menggereng dan kelihatan marah sekali. Kembali dia menubruk, akan tetapi sekali ini, Soan Cu yang sedang gembira meloncat ke kiri dan melihat tubuh harimau itu menyambar lewat, dengan tangan kirinya dia menangkap ekor, harimau yang panjang dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah berada di atas punggung harimau!
Sambil tersenyum-senyum dan membuat gerakan seperti orang menunggang kuda, Soan Cu menggerak-gerakkan ujung cambuk menyabeti moncong harimau itu. Tentu saja harimau itu merasa kesakitan karena ujung cambuk itu berduri.
Dengan kemarahan meluap harimau itu berusaha mencakar dan menggigit ujung cambuk yang mungkin dikira seekor ular yang ganas, namun tak pernah berhasil bahkan bagaikan buntut seekor ular, ujung cambuk itu terus melecuti hidung dan bibirnya sampai berdarah!
"Hiyoooo... kucing binal, hayo jalan baik-baik!" Seperti seorang pemain sirkus yang mahir, Soan Cu menunggang harimau, tangan kiri mencengkeram kulit leher, tangan kanan mempermainkan cambuknya dan harimau itu yang mengejar ujung cambuk yang digerak-gerakkan, melangkah perlahan-lahan!
A-siong yang menonton sambil berusaha menyembunyikan diri di balik batang pohon, terbelalak dan hampir tak percaya kepada matanya sendiri. Beberapa kali tangan kirinya menggosok kedua matanya dengan ujung lengan baju karena dia mengira bahwa dia sedang dalam mimpi, akan tetapi tetap saja penglihatan yang luar biasa itu masih tampak oleh kedua matanya.
"Soan Cu, turunlah...!!" Tiba-tiba terdengar teguran dan mengenal suara Sin Liong, lenyaplah semua kegembiraan yang liar dari gadis itu. Dia masih tersenyum, akan tetapi matanya kehilangan sinar yang berapi-api dan liar tadi, dan dia berkata, "Liong-koko, dia... dia hendak menerkam orang..." ucapannya ini bersifat membela diri karena dia ketahuan oleh pemuda itu sedang mengganggu harimau.
"Turunlah berbahaya sekali permainanmu itu!"
Soan Cu meloncat turun dan tentu saja harimau yang marah itu cepat mencakar dengan kecepatan luar biasa. Namun dia hanya mencakar tempat kosong karena gerakan Soan Cu lebih cepat lagi. Dara ini telah meloncat ke dekat Sin Liong dan mengejek ke arah harimau dengan meruncingkan mulutnya dan mengeluarkan bunyi, "Hiii...! Hiiiii!!"
Sementara itu, biruang yang tadinya sudah dapat ditenangkan oleh Sin Liong dan diajak menyusul Soan Cu, setelah kini melihat harimau, timbul kembali kemarahannya, bahkan lebih hebat dari pada tadi. Pada saat Sin Liong lengah karena menegur gadis itu, tiba-tiba biruang itu melompat ke depan dan menggereng sambil memperlihatkan taringnya, memandang harimau dengan mata merah.
Harimau itu agaknya tidak merasa gentar menghadapi tantangan ini. Dia pun meggereng dan menubruk. Akan tetapi biruang itu sudah siap. Ketika harimau itu menubruk dengan kedua kaki depan lebih dulu, dia menggerakkan kaki depan kanan yang amat kuat, memukul dari samping dan menangkis kedua kaki depan harimau.
Karena tubuh harimau itu berada di udara, tentu saja dia kalah kuat dan tubuhnya terlempar ke bawah. Akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan siap untuk melanjutkan serangannya.
"Hushhh...! Biruang yang baik, jangan berkelahi!" Sin Liong sudah menangkap kaki depan biruangnya dan mengelus kepalanya, menenangkannya. Akan tetapi sekali ini agak sukar karena biruang itu marah sekali, meronta-ronta dan apa lagi melihat harimau itu masih menggereng hendak menyerangnya.
"Ihh, kucing licik! Hayo mundur kau!" Soan Cu melangkah maju, menggerakkan cambuknya ke depan untuk menghalau harimau itu. "Tar-tar-tarr...!!" Harimau merasa jerih menghadapi cambuk, akan tetapi bukan berarti dia takut karena dia masih menggereng-gereng memperlihatkan taringnya dan matanya merah bersinar-sinar.
"Hayo pergi! Kalau tidak akan kuhajar kau!" Soan Cu membentak. (Bersambung)
Melihat harimau itu, Soan Cu lalu berseru, "Kucing besar, kau nakal sekali!" Harimau itu menggereng dan menoleh. Ketika dia melihat seorang wanita memegang cambuk, dia menggereng dan cepat sekali, berlawanan dengan tubuhnya yang besar, dia sudah membalik dan menubruk.
"Celaka...!" A-siong berseru kaget, memeluk batang pohon dan menahan napas, membelalakkan matanya.
Akan tetapi, tanpa mengelak Soan Cu sudah menggerakkan cambuknya. "Tar-tar!" ujung cambuk itu menyambar dan membelit kaki depan kanan harimau itu dan sekali tarik, tubuh harimau yang sedang meloncat itu terbanting ke atas tanah.
Harimau itu menggereng dan kelihatan marah sekali. Kembali dia menubruk, akan tetapi sekali ini, Soan Cu yang sedang gembira meloncat ke kiri dan melihat tubuh harimau itu menyambar lewat, dengan tangan kirinya dia menangkap ekor, harimau yang panjang dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah berada di atas punggung harimau!
Sambil tersenyum-senyum dan membuat gerakan seperti orang menunggang kuda, Soan Cu menggerak-gerakkan ujung cambuk menyabeti moncong harimau itu. Tentu saja harimau itu merasa kesakitan karena ujung cambuk itu berduri.
Dengan kemarahan meluap harimau itu berusaha mencakar dan menggigit ujung cambuk yang mungkin dikira seekor ular yang ganas, namun tak pernah berhasil bahkan bagaikan buntut seekor ular, ujung cambuk itu terus melecuti hidung dan bibirnya sampai berdarah!
"Hiyoooo... kucing binal, hayo jalan baik-baik!" Seperti seorang pemain sirkus yang mahir, Soan Cu menunggang harimau, tangan kiri mencengkeram kulit leher, tangan kanan mempermainkan cambuknya dan harimau itu yang mengejar ujung cambuk yang digerak-gerakkan, melangkah perlahan-lahan!
A-siong yang menonton sambil berusaha menyembunyikan diri di balik batang pohon, terbelalak dan hampir tak percaya kepada matanya sendiri. Beberapa kali tangan kirinya menggosok kedua matanya dengan ujung lengan baju karena dia mengira bahwa dia sedang dalam mimpi, akan tetapi tetap saja penglihatan yang luar biasa itu masih tampak oleh kedua matanya.
"Soan Cu, turunlah...!!" Tiba-tiba terdengar teguran dan mengenal suara Sin Liong, lenyaplah semua kegembiraan yang liar dari gadis itu. Dia masih tersenyum, akan tetapi matanya kehilangan sinar yang berapi-api dan liar tadi, dan dia berkata, "Liong-koko, dia... dia hendak menerkam orang..." ucapannya ini bersifat membela diri karena dia ketahuan oleh pemuda itu sedang mengganggu harimau.
"Turunlah berbahaya sekali permainanmu itu!"
Soan Cu meloncat turun dan tentu saja harimau yang marah itu cepat mencakar dengan kecepatan luar biasa. Namun dia hanya mencakar tempat kosong karena gerakan Soan Cu lebih cepat lagi. Dara ini telah meloncat ke dekat Sin Liong dan mengejek ke arah harimau dengan meruncingkan mulutnya dan mengeluarkan bunyi, "Hiii...! Hiiiii!!"
Sementara itu, biruang yang tadinya sudah dapat ditenangkan oleh Sin Liong dan diajak menyusul Soan Cu, setelah kini melihat harimau, timbul kembali kemarahannya, bahkan lebih hebat dari pada tadi. Pada saat Sin Liong lengah karena menegur gadis itu, tiba-tiba biruang itu melompat ke depan dan menggereng sambil memperlihatkan taringnya, memandang harimau dengan mata merah.
Harimau itu agaknya tidak merasa gentar menghadapi tantangan ini. Dia pun meggereng dan menubruk. Akan tetapi biruang itu sudah siap. Ketika harimau itu menubruk dengan kedua kaki depan lebih dulu, dia menggerakkan kaki depan kanan yang amat kuat, memukul dari samping dan menangkis kedua kaki depan harimau.
Karena tubuh harimau itu berada di udara, tentu saja dia kalah kuat dan tubuhnya terlempar ke bawah. Akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan siap untuk melanjutkan serangannya.
"Hushhh...! Biruang yang baik, jangan berkelahi!" Sin Liong sudah menangkap kaki depan biruangnya dan mengelus kepalanya, menenangkannya. Akan tetapi sekali ini agak sukar karena biruang itu marah sekali, meronta-ronta dan apa lagi melihat harimau itu masih menggereng hendak menyerangnya.
"Ihh, kucing licik! Hayo mundur kau!" Soan Cu melangkah maju, menggerakkan cambuknya ke depan untuk menghalau harimau itu. "Tar-tar-tarr...!!" Harimau merasa jerih menghadapi cambuk, akan tetapi bukan berarti dia takut karena dia masih menggereng-gereng memperlihatkan taringnya dan matanya merah bersinar-sinar.
"Hayo pergi! Kalau tidak akan kuhajar kau!" Soan Cu membentak. (Bersambung)
(dwi)