Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 8 Bagian 2

Selasa, 21 Februari 2017 - 17:38 WIB
loading...
Kho Ping Hoo : Bukek...
Bukek Siansu, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu

Sin Liong lalu menceritakan niat perjalanannya bersama Swat Hong, yaitu untuk mencari ibu Swat Hong yang sampai kini tidak diketahui berada di mana. Dan betapa di jalan mereka menjadi bingung dan tersesat karena badai telah menciptakan pemandangan yang berbeda di permukaan laut sehingga mereka mendarat di gunung es dan betapa dia menemukan biruang hitam.

"Sumoi berangkat melanjutkan perjalanan mencari Pulau Neraka karena disangkanya ibunya berada di sini, sedangkan aku mengobati biruang." Sin Liong menutup ceritanya, tentu saja dia segan menceritakan kemarahan Swat Hong kepadanya. "Apakah dalam beberapa hari ini dia tidak datang ke sini?"

Soan Cu menjawab, "Untung saja dia tidak datang, Sin... eh, Taihiap."

"Soan Cu mengapa engkau meniru Kakekmu, bersungkan kepadaku dan menyebut Taihiap segala?"

"Biarlah, Taihiap," kata Ouw Kong Ek. "Tidak pantas kalau dia menyebut namamu begitu saja. Dan engkau memang penolong kami dan pantas disebut taihiap karena memang kepandaianmu tinggi sekali."

"Kaukatakan tadi untung Sumoi tidak datang ke sini, mengapa?"

"Andaikata dia datang, tentu akan terjadi apa-apa yang tidak baik antara dia dan Kong-kong. Ketahuilah, semenjak Raja Pulau Es datang mengacau di sini, Kong-kong jatuh sakit dan kebencian kami semua terhadap Pulau Es makin mendalam. Maka kalau Sumoimu, Swat Hong datang, tentu akan terjadi hal yang tidak baik."

Sin Liong mengangguk-angguk, merasa lega bahwa sumoinya tidak mendahuluinya datang ke Pulau Neraka, akan tetapi juga menimbulkan kegelisahannya karena dia jadi tidak tahu ke mana sumoinya yang pemarah itu kini berada!

"Bajak-bajak laut itu, dari mana datangnya dan mengapa mengacau ke sini?" tanyanya.

"Entah. Tahu-tahu mereka muncul dan perahu besar mereka terdampar di tepi pulau."

"Agaknya mereka juga diamuk badai."

"Mungkin." Soan Cu melanjutkan. "Kami diserang selagi Kong-kong sakit. Kong-kong tidak dapat turun dari pembaringan, maka aku yang menggantikannya, aku keluar menyambut mereka, akan tetapi karena kurang hati-hati, karena memandang rendah am-gi mereka, aku hampir celaka kalau tidak ada engkau yang datang di waktu yang tepat. Taihiap."

"Akan tetapi akhirnya, biarpun sakit, Kong-kongmu dapat membunuh semua bajak laut itu." Sin Liong bergidik ngeri mengenangkan kematian para bajak itu.

"Ugh-ugh...!" Kakek itu terbatuk-batuk. "Bajak-bajak macam itu saja kalau aku tidak sakit, kalau Soan Cu tidak memandang rendah dan kalau para penghuni tidak baru saja diamuk badai, tidak ada artinya bagi kami. Kalau binatang-binatang Pulau Neraka tidak bersembunyi ketakutan diamuk badai, mana mereka mampu masuk? Sudahlah, sekarang saya hendak menyampaikan permohonan yang amat penting bagi Taihiap."

"Ah, Tocu, Di antara kita yang sudah menjadi sahabat, perlu apa banyak sungkan lagi? Kalau ada sesuatu, katakanlah saja, mana perlu menggunakan permohonan lagi?" jawab Sin Liong.

Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu turun dari bangkunya dan menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Liong! Tentu saja pemuda ini menjadi sibuk sekali, cepat membangunkan kakek itu dan berkata, "Tocu, harap jangan begini. Aku yang muda mana berani menerimanya? Ada keperluan apakah? Katakan saja, aku tentu akan membantumu sedapat mungkin." Sin Liong berkata dengan hati tidak enak, mengira akan menghadapi hal yang sulit.

Seteiah duduk kembali dan mengatur napasnya yang terengah-engah karena kesehatannya belum pulih kembali dan tubuhnya terasa amat lelah, kakek itu berkata, "Kwa-taihiap, aku sudah tua dan tidak mempunyai keturunan lain kecuali Soun Cu. Taihiap sudah melihat sendiri keadaan di Pulau Neraka yang merupakan tempat tidak baik untuk seorahg dara seperti Soan Cu. Oleh karena itu, setelah kini Kerajaan Pulau Es tidak ada, berarti bahwa Pulau Neraka telah bebas dan kami bukanlah orang-orang buangan lagi. Soan Cu juga bukan keturunan orang buangan lagi dan sewaktu-waktu kami boleh meninggalkan pulau ini. Karena itu, aku mohon dengan sepenuh hatiku, sudilah Taihiap membawa Soun Cu bersama Taihiap untuk mengenal dunia ramai, dan syukur kalau Taihiap dapat mengatur agar cucuku ini tidak usah lagi kembali dan tinggal di Pulau Neraka ini. Kuharap permohonan ini tidak akan ditolak oleh Taihiap."

Sin Liong mengerutkan alisnya. Permintaan yang sama sekali tidak pernah disangkanya!

"Akan tetapi, Ouw-tocu, hendaknya diingat bahwa aku sendiri adalah seorang sebatangkara yang tidak mempunyai apa-apa, tidak mempunyai tempat tinggal dan masih belum kuketahui apa akan jadinya dengan diriku ini."

"Kalau Taihiap merantau, bawalah dia merantau, ke mana saja aku sudah pasrah sepenuhnya. Baik dia akan Taihiap anggap sebagai sahabat, sebagai saudara, atau kalau mungkin... dari lubuk hatiku kuharap sebagai calon jodoh, aku sudah merasa lega dan senang, asal dia tidak tersiksa tinggal di neraka ini."

Sin Liong merasa sukar untuk menolak, akan tetapi juga berat untuk menerima, maka dia menoleh kepada Soan Cu dan berkata, "Soal ini sebaiknya kita serahkan kepada Soan Cu sendiri. Kalau memang dia suka merantau meninggalkan pulau ini, tentu saja aku tidak keberatan mengadakan perjalanan bersama. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa aku menerima usul perjodohan Tocu, dan sewaktu-waktu dia boleh pergi ke mana saja, jadi aku tidak terikat oleh perjanjian apapun juga."

"Taihiap, jangan khawatir. Memang aku sejak dahulu tidak kerasan tinggal di sini, hanya karena kedudukanku sebagai seorang keluarga buangan saja yang mencegah aku meninggalkan Pulau Neraka. Sekarang aku telah bebas, dan betapapun juga, aku akan pergi dari sini. Hanya kalau bersama Taihiap, tentu hati Kong-kong akan merasa lebih aman, dan juga untukku sendiri yang tidak ada pengalaman, melakukan perjalanan bersamamu merupakan hal yang menyenangkan sekali. Aku hendak pergi mencari Ayahku, Taihiap."

"Dan aku hendak mencari Swat Hong dan Ibunya."

"Kalau begitu, mari kita mencari berdua, siapa tahu dalam mencari Sumoimu itu, aku dapat "bertemu dengan Ayahku."

Setelah mendapat banyak pesan dan nasihat kong-kongnya, membawa pula bekal berupa pakaian dan sekantung emas simpanan kong-kongnya, berangkatlah Soan Cu bersama Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka dengan sebuah perahu. Selama hidupnya yang lima belas tahun itu, belum pernah Soan Cu meninggalkan pulau, maka setelah perahu meluncur jauh dan dia hampir tidak dapat melihat lagi Kong-kongnya bersama semua sisa penghuni Pulau Neraka yang mengantarkannya sampai ke pantai, Soan Cu tak dapat menahan bercucurnya air matanya.

"Soan Cu, mengapa kau menangis? Kalau kau tidak tega meninggalkan Kakekmu, masih belum terlambat untuk kembali," kata Sin Liong yang sebetulnya merasa tidak enak sekali memikul kewajiban ini. Biarpun dia tidak terikat sesuatu, namun sedikit banyak dia dibebani keselamatan dara ini, dan kalau dara ini wataknya seaneh Swat Hong, dia tentu akan menjadi lebih pusing lagi!

"Ah, tidak, Taihiap. Aku hanya merasa perih hatiku meninggalkan tempat yang sejak kulahir menjadi tempat tinggalku itu. Orang sedunia boleh menyebutnya Pulau Neraka, akan tetapi setelah aku berangkat meninggalkan pulau itu, terasa olehku bahwa di situ adalah sorga."

Sin Liong tersenyum dan mendayung perahunya lebih cepat lagi. Pernyataan yang keluar dari mulut dara ini merupakan pelajaran yang amat penting baginya, membuka matanya melihat kenyataan bahwa sorga maupun neraka itu berada dalam hati manusia itu sendiri! Betapapun indahnya suatu tempat kalau tidak berkenan di hatinya, akan merupakan neraka, sebaliknya betapapun buruknya suatu tempat kalau berkenan di hatinya akan menjadi sorga! Jadi, baik buruk, senang, susah, puas, kecewa, semua ini bukan ditentukan oleh keadaan di luar, melainkan ditentukan oleh keadaan hati dan pikiran sendiri. Keadaan di luar merupakan kenyataan yang wajar, dan hanya pikiranlah yang menentukan dengan menilai, membandingkan, maka lahirlah puas, kecewa, senang, susah, baik, buruk, dan lain-lain hal yang saling bertentangan itu. Bahagialah orang yang dapat menghadapi segala sesuatu dengan mata terbuka, memandang segala sesuatu seperti APA ADANYA, tanpa penilaian, tanpa perbandingan. Orang bahagia tidak mengenal susah senang, karena bahagia bukan susah bukan pula senang, bukan puas bukan pula kecewa, melainkan suatu keadaan di atas itu semua, sama sekali tidak terganggu oleh pertentangan-pertentangan itu.

Perahu yang ditumpangi Sin Liong dan Soan Cu meluncur terus, ujung depannya yang meruncing membelah air yang tenang seperti sebuah pisau membelah agar-agar biru. Soan Cu sudah melupakan kesedihan hatinya dan kini dara itu memandang ke depan dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar penuh harapan akan masa depan yang berlainan sama sekali dengan keadaan di Pulau Neraka. Banyak sudah dia mendengar dongeng kakeknya yang juga hanya mendengar dari nenek moyangnya tentang keadaan di dunia ramai, dan sekarang dia sedang menuju kepada kenyataan yang akan dilihatnya dengan mata sendiri!

***

Pusat perkumpulan Pat-jiu-kaipang (Perkumpulan Pengemis Tangan Delapan) berada di lereng Pegunungan Heng-san. Dari luar, tempat itu memang pantas disebut pusat perkumpulan pengemis karena hanya merupakan tempat di dataran tinggi yang dikelilingi pagar bambu yang tingginya hampir dua kali tinggi orang, pagar yang butut dan bambu-bambu itu mengingatkan orang akan tongkat bambu yang biasa dibawa oleh para pengemis. Akan tetapi kalau orang sempat menjenguk di dalamnya, dia akan terheran-heran menyaksikan sebuah rumah gedung yang pantas juga disebut sebuah istana kecil berdiri megah dan mewah sekali! Inilah tempat tinggal Pat-jiu Kai-ong, Si Raja Pengemis yang menjadi ketua Pat-jiu Kai-pang di lereng Heng-san!

Pat-jiu Kai-ong sudah berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, akan tetapi dia masih kelihatan tangkas dan belum begitu tua, sungguhpun pakaiannya selalu butut, sebutut tongkatnya, sama sekali tidak sesuai dengan keadaan gedungnya. Hanya kalau hari sudah menjadi gelap saja maka berubahlah raja pengemis ini, pakaiannya diganti dengan pakaian tidur yang layaknya dipakai seorang pangeran! Dan mulailah kehidupan yang berlawanan dengan keadaan hidupnya di waktu siang, berbeda jauh seperti bumi dengan langit. Di waktu siang, dia lebih patut disebut seorang pengemis kelaparan yang berkeliaran di sekitar rumah gedung itu. Akan tetapi di waktu malam, dengan pakaian indah dan tubuh bersih, dia bersenang-senang makan minum dengan hidangan serba lezat dan mahal, dilayani oleh lima orang selirnya yang muda-muda, cantik dan genit.

Pat-jiu Kai-ong tinggal di dalam istananya yang mewah akan tetapi yang dikelilingi pagar bambu tinggi sehingga tidak tampak dari luar itu bersama lima orang selirnya, lima orang pelayan dan selosin orang anak buahnya yang merupakan pengawal-pengawalnya. Selosin orang ini tentu saja merupakan tokoh-tokoh dalam Pat-jiu Kai-pang, karena mereka adalah pembantu yang boleh diandalkan, atau juga murid-murid tingkat satu dari raja pengemis itu. Para pengawal itu melakukan penjagaan siang malam secara bergilir dan mereka tinggal di dalam rumah samping di kanan kiri istana ketua mereka.

Adapun Pat-jiu Kai-pang mempunyai anggauta yang banyak dan yang tersebar luas di kota-kota. Dengan mengandalkan nama besar perkumpulan itu, terutama sekali nama besar Kai-ong, para anggauta itu dapat mengumpulkan sumbangan-sumbangan yang besar dan sebagian dari pada hasil sumbangan ini mereka setorkan kepada Pat-jiu Kai-ong. Inilah yang membuat raja pengemis itu menjadi kaya raya dan dapat hidup mewah sekali. Selosin orang pembantunya, selain mengawal dan menjaga istananya, juga bertugas untuk turun tangan mewakili ketua mereka apabila ada cabang yang kurang dalam memberi setoran!

Pat-jiu Kai-ong sendiri yang sudah hidup makmur jarang meninggalkan istananya di Heng-san. Hanya urusan besar saja yang dapat menariknya pergi meninggalkan tempat yang amat menyenangkan hatinya itu. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu dia ikut pula memperebutkan Sin-tong Si Anak Ajaib karena dia pada waktu itu ingin cepat-cepat menyempurnakan ilmu yang sedang diciptakan dan dilatihnya, yaitu Ilmu Hiat-ciang-hoatsut (Ilmu Sihir Tangan Darah). Jika pada waktu itu dia berhasil merebut Sin-tong, tentu dalam waktu satu tahun saja ilmunya akan sempurna. Akan tetapi karena seperti diceritakan di bagian depan, dia gagal dan Sin-tong dibawa pergi oleh Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es, maka dia harus mengorbankan puluhan orang bocah untuk dimakan otaknya dan disedot darah dan sumsumnya. Kini dia telah mahir dengan ilmu hitam yang mengerikan itu, akan tetapi sayangnya, setiap tahun dia harus mengisi tenaga itu dengan pengorbanan seorang bocah!

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, selagi Pat-jiu Kai-ong seperti biasa meninggalkan kehidupan malamnya yang mewah, berpakaian sebagai seorang pengemis berjalan-jalan di dalam taman bunga di belakang istananya, membawa tongkat butut dan berlatih silat di waktu embun pagi masih tebal, tiba-tiba seorang pengawalnya datang menghadap dan melaporkan bahwa ada tiga orang tamu datang ingin bertemu dengan Si Raja Pengemis.

"Hemm, siapakah pagi-pagi begini sudah datang menggangguku?" Pat-jiu Kai-ong berkata dengan alis berkerut. Akan tetapi karena merasa penasaran, dia tidak memerintahkan pengawalnya mengusir orang itu dan terutama sekali ketika mendengar pelaporan itu bahwa yang datang adalah seorang kakek bersama dua orang muda, seorang dara jelita dan seorang pemuda tampan. Hatinya tertarik sekali ketika mendengar bahwa kakek itu mengaku sebagai seorang "sahabat lama".

Ketika dia keluar membawa tongkat bututnya dan bertemu dengan tiga orang itu, Pat-jiu Kai-ong memandang tajam. Dia kagum melihat pemuda yang amat tampan dan pemudi yang cantik jelita itu. Wajah mereka yang mirip satu sama lain menunjukkan bahwa mereka adalah kakak beradik, pemudanya berusia kurang lebih enam belas tahun, pemudinya lima belas atau empat belas tahun. Sampai lama pandang mata Pat-jiu Kai-ong melekat kepada dua orang muda itu, keduanya membuat hatinya terguncang penuh kagum dan andaikata dia tidak menahan perasaannya, tentu mulutnya akan mengeluarkan air liur! Barulah dia terkejut ketika mendengar kakek itu tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha! Pat-jiu Kai-ong! Kurasa engkau belum begitu pikun untuk melupakan dua orang anakku ini. Mereka adalah Swi Liang dan Swi Nio, ha-ha-ha! Akan tetapi Pat-jiu Kai-ong mengerutkan alisnya, sama sekali tidak mengenal kedua nama ini. Dia memandang dengan mata terheran kepada laki-laki yang berdiri di depannya, seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian sederhana berwarna kuning, dengan kepala yang beruban itu terlindung kain pembungkus rambut yang berwarna kuning pula.

Kakek itu tertawa lagi. "Wah, Pat-jiu Kai-ong, benar-benarkah engkau telah lupa kepada kami? Lupa kepada sahabatmu di Lusan ini?"

"Ahhhh...!" Pat-jiu Kai-ong tertawa, mukanya berseri dan dia cepat membungkuk untuk memberi hormat.

"Kiranya sahabat Bu yang datang? Maaf, maaf, mataku sudah lamur saking tuanya sehingga tidak mengenal sahabat baik yang kurang lebih sepuluh tahun tak pernah kujumpai. Jadi ini kedua anakmu itu? Dahulu mereka baru berusia lima enam tahun, kecil dan lucu serta berani, bahkan kalau tidak salah, anak perempuanmu ini yang dahulu menantang pibu kepadaku. Ha-ha-ha!"

Dara berusia lima belas tahun yang cantik jelita itu menunduk dan kedua pipinya berubah merah. "Harap Pangcu sudi memaafkan saya."

"Aih-aih...! Ini tentu orang tua Lu-san ini yang mengajarnya. Menyebutku Pangcu segala!"

"Ha-ha-ha, Pangcu. Bukankah engkau memang Ketua dari Pat-jiu Kai-pang? Mengapa tidak mau disebut Pangcu oleh puteriku?" Kakek itu berkata.

"Wah, jangan berkelakar. Anak-anak yang baik, sebut saja aku Paman. Marilah masuk, kita bicara di dalam." Pat-jiu Kai-ong lalu bertepuk tangan dan para pengawalnya muncul. "Lekas beritahukan para pelayan agar mempersiapkan hidangan makan pagi yang baik untuk tamuku yang terhormat, Lu-san Lojin (Orang Tua Dari Lusan) dan dua orang putera-puterinya!"

Para pengawal itu mundur dan Pat-jiu Kai-ong menggandeng tangan kakek itu, sambil tertawa-tawa mereka memasuki istana dan duduk di ruangan dalam menghadapi meja dan duduk di kursi-kursi yang berukir indah.

Sambil memandang ke kanan kiri mengagumi keindahan ruangan itu, Lu-san Lojin berkata memuji, "Sungguh hebat! Lama sudah aku mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong tinggal di sebuah istana yang megah, kiranya keadaan di sini melampaui segala yang telah kudengar. Hebat sekali!"

Sejak tadi Pat-jiu Kai-ong merayapi tubuh pemuda dan pemudi itu dengan pandang matanya. Dia kagum bukan main melihat dara cantik jelita dan pemuda yang tampan dan gagah itu.

"Ha-ha, kau terlalu memuji, sahabat. Aku tidak mengira bahwa hari ini tempatku yang buruk akan menenma kehormatan kedatangan seorang tamu agung. seorang penolongku yang budiman bersama putera dan puterinya yang begini elok."

Kedua orang tua ini lalu bercakap-cakap dengan gembira membicarakan masa lampau. Siapakah kakek ini? Dia adalah Lu-san Lojin, seorang ahli pengobatan yang semenjak isterinya meninggal dunia, meninggalkan dua orang anak, lalu mengajak dua orang itu mengasingkan diri ke puncak Lu-san. dan di sana dia bertapa sambil mendidik dan menggembleng putera-puterinya. Sepuluh tahun yang lalu, setelah gagal merebut Sin-tong, dalam kekecewaannya Pat-jiu Kai-ong lalu mengamuk di sepanjang jalan, menculik dan membunuhi bocah-bocah yang dianggapnya cukup sehat. Ketika dia tiba di kaki Pegunungan Lu-san, dia berada dalam keadaan keracunan hebat. Hal ini terjadi karena dia terlampau banyak membunuh anak laki-laki, makan otak mereka dan menghisap darah serta sumsum mereka untuk menyempurnakan ilmunya, terlampau banyak melatih diri dengan Ilmu Hitam Hiat-ciang Hoat-sut.

Karena hatinya yang penasaran mengapa dia tidak dapat mengalahkan Han Ti Ong dan merebut Sin-tong, maka dia lupa akan ukuran tenaga sendiri dan melatih diri dengan ilmu hitam itu, dia terlampau terburu-buru dan akibatnya, hawa mujijat dari ilmu itu membalik dan membuat dia terluka dalam, keracunan hebat sehingga dia terhuyung-huyung dan hampir pingsan ketika tiba di kaki Pegunungan Lu-san. Dia maklum akan keadaan dirinya, tahu bahwa dia terancam bahaya maut maka hatinya menjadi khawatir sekali.

Kebetulan baginya, pada saat itu keadaannya terlihat oleh Lu-san Lojin yang sedang turun gunung bersama putera-puterinya yang pada waktu itu baru berusia enam dan lima tahun, sebagai seorang gagah yang berilmu tinggi, Lu-san Lojin cepat menolong Pat-jiu Kai-ong. Setelah memeriksa keadaan raja pengemis itu, dia maklum bahwa Pat-jiu Kai-ong memerlukan perawatan khusus, maka diajaknya orang ini naik ke Puncak Lu-san. Di situ Pat-jiu Kai-ong diobati Lu-san Lojin sampai sembuh. Selama satu bulan berada di Lu-san, raja pengemis ini menerima perawatan yang amat baik dari Lu-san Lojin, maka dia merasa berterima kasih sekali dan menganggap pertapa itu sebagai penolong dan sahabat baiknya. Juga dia mengenal dua orang bocah yang mungil itu. Karena kebaikan hati Lu-jan Lojin, biarpun dia melihat Swi Liang sebagai seorang, anak yang mempunyai darah bersih dan tulang kuat, dia tidak tega untuk mengganggu anak laki-laki itu.

Di lain pihak, ketika mendengar bahwa yang ditolongnya adalah Pat-jiu Kai-ong ketua Pat-jiu Kai-pang, Lu-san Lo-jin terkejut sekali. Akan tetapi dia menjadi bangga bahwa raja pengemis yang namanya terkenal itu menganggapnya sebagai sahabat baik. Maka setelah sembuh, mereka berpisah sebagai sahabat yang berjanji untuk saling mengunjungi dan saling membantu.

"Sungguh aku tidak tahu diri dan tidak mengenal budi," setelah makan minum Pat-jiu Kai-ong berkata kepada tamunya. "Sepatutnya akulah yang datang mengunjungi kalian di Lu-san, bukan kalian yang jauh-jauh datang mengunjungi aku."

"Ahhh, mengapa kau menjadi sungkan begini? Kita bersama telah mempunyai kewajiban masing-masing sehingga tentu saja telah sibuk dengan pekerjaan. Kami pun hanya kebetulan saja lewat di kaki Pegunungan Heng-san, maka aku teringat kepadamu dan mengajak kedua anakku untuk mendaki Pegunungan Heng-san mencarimu."

"Terima kasih, engkau baik sekali, Lu-san Lojin. Akan tetapi, kalau boleh aku mengetahui, kalian datang dari manakah?"

Lu-san Lojin menarik napas panjang dan menoleh kepada puteranya, memandang puterinya seolah-olah minta ijinnya, Swi Liang menganggukkan kepalanya kepada ayahnya, dan menunduk. Dianggap oleh pemuda ini bahwa Pat-jiu Kai-ong adalah seorang sahabat baik ayahnya, bahkan seperti saudara sendiri, maka tidak ada salahnya kalau raja pengemis itu mengetahui urusannya. Siapa tahu raja pengemis itu dapat membantunya.

"Kami baru saja datang dari Lokyang, melakukan perjalanan sejauh itu dan ternyata sia-sia belaka perjalanan kami untuk mencari Tee-tok Siangkoan Houw."

"Tee-tok Siangkoan Houw? Ah, ada urusan apakah engkau mencari Racun Bumi itu, Lu-san Lojin?"

"Sebetulnya urusan lama, urusan perjodohan. Semenjak kecil, antara Tee-tok dan aku telah terdapat persetujuan untuk menjodohkan puteraku Bu Swi Liang ini dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui. Akan tetapi, setelah keduanya menjadi dewasa, tidak ada berita dari Tee-tok sehingga hatiku merasa khawatir sekali. Aku sudah berusaha mencarinya, namun selalu sia-sia. Akhir-akhir ini aku mendengar bahwa dia berada di Lokyang, akan tetapi setelah jauh-jauh kami bertiga mencarinya di sana, ternyata dia tidak berada di sana pula. Hemm, sikap orang tua itu masih selalu aneh dan penuh rahasia."
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0761 seconds (0.1#10.140)