Kho Ping Hoo, Bukek Siansu Jilid 20 Bagian 2
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
Kemanakah perginya Swat Hong? Apakah dia berhasil siuman dan sempat melarikan diri? Tidak mungkin. Andaikata dia siuman dan melihat Sin Liong dikeroyok, dia pasti akan membantu suhengnya itu, kalau perlu sampai mati bersama. Bukan watak Swat Hong untuk melarikan diri, menyelamatkan dirinya sendiri apalagi suhengnya terancam bahaya.
Tidak, ketika pertolongan tiba, dara ini masih dalam keadaan pingsan. Ketika Sin Liong lari mengejar Ouwyang Cin Cu, muncullah seorang kakek tua renta yang bercaping lebar, berdiri memandang Han Swat Hong sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dia menghampiri dara itu, membetulkan bajunya yang lepas, lalu memanggul tubuh gadis yang pingsan itu keluar dari dalam guha dengan gerakan yang cepat sekali.
Setelah berada di dalam sebuah hutan yang jauh di luar daerah Rawa Bangkai, kakek itu berhenti, menurunkan Swat Hong dan mengurut tengkuk gadis itu beberapa kali. Swat Hong membuka matanya dan melihat seorang kakek tua renta, akan tetapi hampir dia jatuh lagi karena tubuhnya masih lemah.
"Duduklah dulu, engkau masih pening dan lemah."
Suara ini sedemikian halusnya sehingga mengelus hati Swat Hong yang menjadi tenang dan sabar kembali. Dia duduk, memejamkan mata sebentar mengusir kepeningannya, lalu mengangkat muka memandang kakek yang berdiri di depannya sambil tersenyum itu.
"Kau... kau siapakah...?"
"Anak baik, apakah benar namamu Han Swat Hong?"
Swat Hong terbelalak lalu mengangguk.
"Apakah kau datang dari Pulau Es?"
Kembali Swat Hong terkejut dan terheran, akan tetapi untuk kedua kalinya dia mengangguk.
"Hemmm... kalau begitu Ibumu adalah Liu Bwee dan ayahmu Han Ti Ong?"
Swat Hong tak dapat menahan keheranan hatinya. "Bagaimana engkau bisa tahu?"
Kakek itu tersenyum, memperlihatkan mulut yang sudah tak bergigi lagi. "Mengapa tidak tahu kalau Han Ti Ong itu adalah cucuku?"
"Ouhhh...!" Swat Hong terbelalak sebentar, kemudian cepat menjatuhkan diri berlutut. Kiranya dia berhedapan dengan kong-couwnya (kakek buyut) yang pernah dia dengar telah meninggalkan Pulau Es sebagai seorang pertapa! Kini mengertilah dia bahwa kakek buyutnya ini telah menolongnya.
"Ha-ha-ha, kebetulan saja aku mendengar pemuda itu memanggil-manggilmu sehingga aku tertarik akan she Han yang diteriakkannya. Melihat engkau berada dalam bahaya, aku segera membawamu keluar dari guha ke tempat ini."
"Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan Kong-couw... akan tetapi, di mana Suheng?"
"Hemm, pemuda yang lihai itu, dia Suhengmu?"
"Benar, Kong-couw, dia adalah murid Ayah."
"Ahh, dia terlalu berbahaya keadaannya. Kau beristirahatlah di sini, pulihkan tenagamu, aku akan kembali ke sana dan melihat keadaannya."
Swat Hong mengangguk dan kakek itu berkelebat pergi dari situ. Swat Hong merasa kagum sekali. Kakek buyutnya itu sudah tua sekali, tentu lebih dari seratus tahun usianya namun gerakannya masih demikian ringan dan cepat.
Hatinya merasa lega melihat kakeknya itu pergi untuk menolong Sin Liong, maka dia lalu duduk bersila dan mengatur pernapasannya untuk memulihkan tenaganya. Samar-samar teringatlah dia akan peristiwa di dalam guha dan mukanya terasa panas sekali.
Teringatlah dia betapa dia telah menjadi seperti gila di dalam guha itu, ketika suhengnya mengobatinya dan mengusir hawa beracun dari tubuhnya. Kalau dia membayangkan peristiwa itu... betapa dia tanpa malu-malu memeluk suhengnya, menciumnya... ah, dia bisa mati karena malu! Namun semua itu hanya teringat seperti dalam mimpi saja, bayang-bayang suram dan dia sendiri masih tidak percaya apakah peristiwa itu benar-benar terjadi, ataukah hanya dalam mimpi belaka?
Kalau sungguh terjadi betapa malunya! Dan agaknya tidak mungkin dia berani melakukan hal itu, sungguhpun di sudut hatinya memang terdapat suatu kerinduan yang hebat terhadap suhengnya. Akan tetapi siapa tahu, di dalam guha yang aneh itu. Aihh, kalau benar-benar telah terjadi hal itu, betapa dia dapat bertemu muka dengan suhengnya?
Karena pikiran dan hatinya tak pernah berhenti bekerja dan melamun, waktu berlalu dengan amat cepatnya sampai tidak terasa oleh Swat Hong bahwa kakek buyutnya telah pergi setengah hari lamanya! Baru dia sadar kembali dan teringat akan kakek ini setelah kakek itu datang kembali ke situ tahu-tahu sudah duduk di dekatnya, menghapus keringat dari dahi yang berkeriput itu.
"Aihhh,..!" Kakek itu menarik napas panjang sambil memandang Swat Hong yang sudah membuka mata dan memandang kakek itu dengan penuh pertanyaan.
"Bagaimana, Kong-couw? Mana Suheng?"
Kembali kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. "Mereka sungguh jahat, Suhengmu biar lihai tidak dapat melawan kelicikan dan kecurangan mereka. Suhengmu tertangkap dan... terbunuh...."
Sepasang mata itu terbelalak, mukanya pucat sekali. Terbunuh? Suheng... terbunuh....?"
"Ya, dilempar ke dalam sumur ular..." (Bersambung)
Kemanakah perginya Swat Hong? Apakah dia berhasil siuman dan sempat melarikan diri? Tidak mungkin. Andaikata dia siuman dan melihat Sin Liong dikeroyok, dia pasti akan membantu suhengnya itu, kalau perlu sampai mati bersama. Bukan watak Swat Hong untuk melarikan diri, menyelamatkan dirinya sendiri apalagi suhengnya terancam bahaya.
Tidak, ketika pertolongan tiba, dara ini masih dalam keadaan pingsan. Ketika Sin Liong lari mengejar Ouwyang Cin Cu, muncullah seorang kakek tua renta yang bercaping lebar, berdiri memandang Han Swat Hong sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dia menghampiri dara itu, membetulkan bajunya yang lepas, lalu memanggul tubuh gadis yang pingsan itu keluar dari dalam guha dengan gerakan yang cepat sekali.
Setelah berada di dalam sebuah hutan yang jauh di luar daerah Rawa Bangkai, kakek itu berhenti, menurunkan Swat Hong dan mengurut tengkuk gadis itu beberapa kali. Swat Hong membuka matanya dan melihat seorang kakek tua renta, akan tetapi hampir dia jatuh lagi karena tubuhnya masih lemah.
"Duduklah dulu, engkau masih pening dan lemah."
Suara ini sedemikian halusnya sehingga mengelus hati Swat Hong yang menjadi tenang dan sabar kembali. Dia duduk, memejamkan mata sebentar mengusir kepeningannya, lalu mengangkat muka memandang kakek yang berdiri di depannya sambil tersenyum itu.
"Kau... kau siapakah...?"
"Anak baik, apakah benar namamu Han Swat Hong?"
Swat Hong terbelalak lalu mengangguk.
"Apakah kau datang dari Pulau Es?"
Kembali Swat Hong terkejut dan terheran, akan tetapi untuk kedua kalinya dia mengangguk.
"Hemmm... kalau begitu Ibumu adalah Liu Bwee dan ayahmu Han Ti Ong?"
Swat Hong tak dapat menahan keheranan hatinya. "Bagaimana engkau bisa tahu?"
Kakek itu tersenyum, memperlihatkan mulut yang sudah tak bergigi lagi. "Mengapa tidak tahu kalau Han Ti Ong itu adalah cucuku?"
"Ouhhh...!" Swat Hong terbelalak sebentar, kemudian cepat menjatuhkan diri berlutut. Kiranya dia berhedapan dengan kong-couwnya (kakek buyut) yang pernah dia dengar telah meninggalkan Pulau Es sebagai seorang pertapa! Kini mengertilah dia bahwa kakek buyutnya ini telah menolongnya.
"Ha-ha-ha, kebetulan saja aku mendengar pemuda itu memanggil-manggilmu sehingga aku tertarik akan she Han yang diteriakkannya. Melihat engkau berada dalam bahaya, aku segera membawamu keluar dari guha ke tempat ini."
"Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan Kong-couw... akan tetapi, di mana Suheng?"
"Hemm, pemuda yang lihai itu, dia Suhengmu?"
"Benar, Kong-couw, dia adalah murid Ayah."
"Ahh, dia terlalu berbahaya keadaannya. Kau beristirahatlah di sini, pulihkan tenagamu, aku akan kembali ke sana dan melihat keadaannya."
Swat Hong mengangguk dan kakek itu berkelebat pergi dari situ. Swat Hong merasa kagum sekali. Kakek buyutnya itu sudah tua sekali, tentu lebih dari seratus tahun usianya namun gerakannya masih demikian ringan dan cepat.
Hatinya merasa lega melihat kakeknya itu pergi untuk menolong Sin Liong, maka dia lalu duduk bersila dan mengatur pernapasannya untuk memulihkan tenaganya. Samar-samar teringatlah dia akan peristiwa di dalam guha dan mukanya terasa panas sekali.
Teringatlah dia betapa dia telah menjadi seperti gila di dalam guha itu, ketika suhengnya mengobatinya dan mengusir hawa beracun dari tubuhnya. Kalau dia membayangkan peristiwa itu... betapa dia tanpa malu-malu memeluk suhengnya, menciumnya... ah, dia bisa mati karena malu! Namun semua itu hanya teringat seperti dalam mimpi saja, bayang-bayang suram dan dia sendiri masih tidak percaya apakah peristiwa itu benar-benar terjadi, ataukah hanya dalam mimpi belaka?
Kalau sungguh terjadi betapa malunya! Dan agaknya tidak mungkin dia berani melakukan hal itu, sungguhpun di sudut hatinya memang terdapat suatu kerinduan yang hebat terhadap suhengnya. Akan tetapi siapa tahu, di dalam guha yang aneh itu. Aihh, kalau benar-benar telah terjadi hal itu, betapa dia dapat bertemu muka dengan suhengnya?
Karena pikiran dan hatinya tak pernah berhenti bekerja dan melamun, waktu berlalu dengan amat cepatnya sampai tidak terasa oleh Swat Hong bahwa kakek buyutnya telah pergi setengah hari lamanya! Baru dia sadar kembali dan teringat akan kakek ini setelah kakek itu datang kembali ke situ tahu-tahu sudah duduk di dekatnya, menghapus keringat dari dahi yang berkeriput itu.
"Aihhh,..!" Kakek itu menarik napas panjang sambil memandang Swat Hong yang sudah membuka mata dan memandang kakek itu dengan penuh pertanyaan.
"Bagaimana, Kong-couw? Mana Suheng?"
Kembali kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. "Mereka sungguh jahat, Suhengmu biar lihai tidak dapat melawan kelicikan dan kecurangan mereka. Suhengmu tertangkap dan... terbunuh...."
Sepasang mata itu terbelalak, mukanya pucat sekali. Terbunuh? Suheng... terbunuh....?"
"Ya, dilempar ke dalam sumur ular..." (Bersambung)
(dwi)