Kho Ping Ho, Bukek Siansu Jilid 22 Bagian 9
loading...
A
A
A
Kho Ping Ho, Bukek Siansu
Kemanakah perginya Swat Hong dan Kwee tun? Di bagian depan telah diceritakan betapa dua orang muda ini berhasil menyelamatkan diri, lari keluar dari istana The Kwat Lin dan terus keluar dari Kota Raja Tiang-an.
Mereka berlari dengan cepat mempergunakan kegelapan malam, berhasil keluar dari benteng tembok kota raja karena para penjaga yang berada dalam suasana pesta kemenangan itu tidak melakukan penjagaan yahg terlampau ketat.
Setelah terang tanah dan mereka tiba di dalam sebuah hutan jauh dari tembok kota raja barulah keduanya berhenti, terengah-engah dan Swat Hong menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar.
Wajahnya pucat biarpun muka dan lehernya penuh keringat yang diusapnya dengan ujung lengan bajunya. Pandang matanya merenung jauh sekali, dan dia diam saja, sama sekali tidak berkata-kata, sama sekali tidak bergerak, seperti dalam keadaan setengah sadar.
Kwee Lun juga menghapus peluhnya dan dia pun duduk diam, memandang kepada Swat Hong. Beberapa kali dia menggerakkan bibir hendak bicara namun ditahannya lagi.
Pemuda yang biasanya bergembira ini merasa betapa jantungnya seperti diremas-remas. Dia sendiri merasa kehilangan dan amat berduka dengan kematian Soan Cu, gadis yang kini dia tahu adalah wanita yang amat dicintainya.
Akan tetapi, melihat keadaan Swat Hong yang terpaksa harus meninggalkan ibu kandungnya menghadapi kematian, dia melupakan kedukaan hatinya sendiri dan merasa amat iba kepada Swat Hong. Melihat betapa Swat Hong seperti orang kehilangan ingatan, Kwee Lun merasa khawatir sekali. Kalau dibiarkan saja, gadis ini bisa jatuh sakit, kalau hanya sakit badannya masih mending, akan tetapi kalau terserang batinnya lebih berbahaya lagi.
Akhirnya dia memberanikan diri berkata lirih dan halus, "Mati hidup adalah berada di tangan Thian, kita manusia tak dapat menguasainya, Nona."
Mendengar kata-kata ini, Swat Hong menengok dan memandang, akan tetapi pandang matanya tetap kosong, seolah-olah kata-kata itu tidak dimengertinya dan dari mulutnya hanya terdegar suara meragu, "Hemm...?"
Suara ini gemetar dan pandang mata itu menusuk perasaan Kwee Lun. Maka pemuda ini lalu memberanikan diri melangkah lebih jauh lagi dengan kata-kata yang lebih membuka kenyataan, "Ibumu gugur sebagai seorang yang gagah perkasa."
Sepasang mata yang kehilangan sinar itu terbelalak, seolah-olah baru sadar dan bibir yang gemetar itu bergerak, mula-mula lirih makin lama makin keras, "..Ibu...? Ibu... Ibu..." Swat Hong menangis tersedu-sedu dan memanggil-manggil ibunya.
"Tenanglah, Nona. Tenanglah...." Kwee Lun menghibur dan berlutut di depan gadis itu, akan tetapi suaranya sendiri parau dan agak tersedu.
"Ibu...! Mengapa aku meninggalkan Ibu mati sendiri...? Ibu,..! Hu-hu-huuuuk, Ibuuuu...!"
Memang menangis merupakan obat terbaik bagi batin gadis itu, pikir Kwee Lun penuh keharuan, akan tetapi melihat Swat Hong menjambak-jambak rambut sendiri, dia merasa khawatir.
"Ingatlah, Nona. Ingatlah pesan Ibu-mu..., tentang pusaka Pulau Es...."
Swat Hong mengangkat muka dan melihat wajah pemuda itu juga basah air mata, dia menubruk. "Toako... ahhh, Toako..!" Dan menangislah dia tersedu-sedu di dada pemuda itu yang dianggapnya merupakan satu-satunya sahabat di dunia yang baginya kosong ini.
Kwee Lun memejamkan mata dan membiarkan gadis itu menangis terisak-isak. Dengan sesenggukan Swat Hong berkata, "Ibu tewas... di depan mataku... dan aku tidak dapat menolongnya.. hu-hu-huuuuhhh... dan Ayah pun sudah tiada, Suheng juga... hu-huuuuhhh apa gunanya aku hidup lagi? Apa gunanya aku mencari pusaka dan mengembalikan ke Pulau Es?"
Seperti seorang yang mendadak menjadi kalap Swat Hong merenggutkan dirinya dari dada Kwee Lun, lalu melompat bangun mengepal tinju. "Katakan, Kwee-toako, apa gunanya semua ini? Ayah Ibuku sudah meninggal, dan Suheng satu-satunya orang yang kucinta... dia pun tidak ada lagi..! Katakan, apa perlunya aku hidup lebih lama?" (Bersambung)
Kemanakah perginya Swat Hong dan Kwee tun? Di bagian depan telah diceritakan betapa dua orang muda ini berhasil menyelamatkan diri, lari keluar dari istana The Kwat Lin dan terus keluar dari Kota Raja Tiang-an.
Mereka berlari dengan cepat mempergunakan kegelapan malam, berhasil keluar dari benteng tembok kota raja karena para penjaga yang berada dalam suasana pesta kemenangan itu tidak melakukan penjagaan yahg terlampau ketat.
Setelah terang tanah dan mereka tiba di dalam sebuah hutan jauh dari tembok kota raja barulah keduanya berhenti, terengah-engah dan Swat Hong menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar.
Wajahnya pucat biarpun muka dan lehernya penuh keringat yang diusapnya dengan ujung lengan bajunya. Pandang matanya merenung jauh sekali, dan dia diam saja, sama sekali tidak berkata-kata, sama sekali tidak bergerak, seperti dalam keadaan setengah sadar.
Kwee Lun juga menghapus peluhnya dan dia pun duduk diam, memandang kepada Swat Hong. Beberapa kali dia menggerakkan bibir hendak bicara namun ditahannya lagi.
Pemuda yang biasanya bergembira ini merasa betapa jantungnya seperti diremas-remas. Dia sendiri merasa kehilangan dan amat berduka dengan kematian Soan Cu, gadis yang kini dia tahu adalah wanita yang amat dicintainya.
Akan tetapi, melihat keadaan Swat Hong yang terpaksa harus meninggalkan ibu kandungnya menghadapi kematian, dia melupakan kedukaan hatinya sendiri dan merasa amat iba kepada Swat Hong. Melihat betapa Swat Hong seperti orang kehilangan ingatan, Kwee Lun merasa khawatir sekali. Kalau dibiarkan saja, gadis ini bisa jatuh sakit, kalau hanya sakit badannya masih mending, akan tetapi kalau terserang batinnya lebih berbahaya lagi.
Akhirnya dia memberanikan diri berkata lirih dan halus, "Mati hidup adalah berada di tangan Thian, kita manusia tak dapat menguasainya, Nona."
Mendengar kata-kata ini, Swat Hong menengok dan memandang, akan tetapi pandang matanya tetap kosong, seolah-olah kata-kata itu tidak dimengertinya dan dari mulutnya hanya terdegar suara meragu, "Hemm...?"
Suara ini gemetar dan pandang mata itu menusuk perasaan Kwee Lun. Maka pemuda ini lalu memberanikan diri melangkah lebih jauh lagi dengan kata-kata yang lebih membuka kenyataan, "Ibumu gugur sebagai seorang yang gagah perkasa."
Sepasang mata yang kehilangan sinar itu terbelalak, seolah-olah baru sadar dan bibir yang gemetar itu bergerak, mula-mula lirih makin lama makin keras, "..Ibu...? Ibu... Ibu..." Swat Hong menangis tersedu-sedu dan memanggil-manggil ibunya.
"Tenanglah, Nona. Tenanglah...." Kwee Lun menghibur dan berlutut di depan gadis itu, akan tetapi suaranya sendiri parau dan agak tersedu.
"Ibu...! Mengapa aku meninggalkan Ibu mati sendiri...? Ibu,..! Hu-hu-huuuuk, Ibuuuu...!"
Memang menangis merupakan obat terbaik bagi batin gadis itu, pikir Kwee Lun penuh keharuan, akan tetapi melihat Swat Hong menjambak-jambak rambut sendiri, dia merasa khawatir.
"Ingatlah, Nona. Ingatlah pesan Ibu-mu..., tentang pusaka Pulau Es...."
Swat Hong mengangkat muka dan melihat wajah pemuda itu juga basah air mata, dia menubruk. "Toako... ahhh, Toako..!" Dan menangislah dia tersedu-sedu di dada pemuda itu yang dianggapnya merupakan satu-satunya sahabat di dunia yang baginya kosong ini.
Kwee Lun memejamkan mata dan membiarkan gadis itu menangis terisak-isak. Dengan sesenggukan Swat Hong berkata, "Ibu tewas... di depan mataku... dan aku tidak dapat menolongnya.. hu-hu-huuuuhhh... dan Ayah pun sudah tiada, Suheng juga... hu-huuuuhhh apa gunanya aku hidup lagi? Apa gunanya aku mencari pusaka dan mengembalikan ke Pulau Es?"
Seperti seorang yang mendadak menjadi kalap Swat Hong merenggutkan dirinya dari dada Kwee Lun, lalu melompat bangun mengepal tinju. "Katakan, Kwee-toako, apa gunanya semua ini? Ayah Ibuku sudah meninggal, dan Suheng satu-satunya orang yang kucinta... dia pun tidak ada lagi..! Katakan, apa perlunya aku hidup lebih lama?" (Bersambung)
(dwi)