Kho Ping Hoo, Bukek Siansu Jilid 24 Bagian 2
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
Kakek itu kelihatan terkejut, lalu menarik napas panjang, mengelus jenggotnya dan kembali mengangguk-angguk. "Tan-sute memang murid Suhu, akan tetapi sayang, pernah dia membuat mendiang Suhu marah dan mengusirnya. Padahal bakatnya baik sekali. Kiranya dia membuka perguruan silat? Dan dia pesan agar muridnya tidak membawa nama Hoa-san-pai? Bagus, ternyata dia jantan juga. Di manakah dia sekarang dan bagaimana keadaannya?"
"Suhu telah tewas dalam keadaan penasaran, difitnah pembesar sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman mati."
"Ahhh...!"
"Karena itulah maka teecu sebagai muridnya yang juga menderita karena orang tua teecu juga menjadi korban keganasan pembesar pemerintah, lalu ikut berjuang bersama An Lu Shan, kemudian setelah berhasil teecu mengundurkan diri karena teecu tidak menghendaki kedudukan apa-apa. Apalagi melihat betapa An-goanswe menerima bantuan orang-orang dari kaum sesat, maka teecu mengundurkan diri."
"Bagus, baik sekali engkau mengambil keputusan itu, karena biarpun engkau tidak menyebut nama Hoa-san-pai, namun pinto akan ikut merasa menyesal kalau ada orang yang mewarisi kepandaian Hoa-san-pai mempergunakan kepandaian itu untuk urusan pemberontakan. Sekarang engkau bersama Nona ini datang menghadap pinto ada keperluan apakah?"
"Teecu datang untuk mohon pertolongan Twa-supek. Nona ini adalah tunangan teecu, dia puteri dari mendiang Lu-san Lojin."
"Siancai...! Lu-san Lojin sudah meninggal? Pinto pernah bertemu satu kali dengan ayahmu, Nona. Seorang yang gagah perkasa!" Kemudian kakek ini menoleh kepada Liem Toan Ki dan bertanya, "Pertolongan apakah yang kalian harapkan dari pinto?"
Dengan terus terang tanpa menyembunyikan sesuatu Liem Toan Ki lalu menceritakan tentang penyerbuannya bersama para penghuni Pulau Es, betapa kemudian puteri Pulau Es telah menitipkan Pusaka Pulau Es kepada mereka berdua, kemudian betapa mereka dihadang orang jahat yang hendak merampas pusaka dan mereka mengambil keputusan untuk bersembunyi di Hoa-san-pai.
Kakek itu menjadi bengong mendengar penuturan panjang lebar itu, beberapa kali memandang ke arah buntalan di punggung Toan Ki dan memandang wajah mereka berdua seperti orang yang kurang percaya. "Siancai... kalau tidak melihat wajah kalian berdua yang agaknya bukan orang gila dan bukan pembohong, pinto sukar untuk percaya bahwa kalian telah bertemu bahkan bertanding bahu-membahu dengan orang-orang Pulau Es! Pinto kira bahwa nama Pulau Es hanya terdapat dalam dongeng belaka."
"Karena teecu yakin bahwa tentu orang-orang di dunia kang-ouw akan saling berebut untuk merampas pusaka-pusaka ini, maka teecu berdua mengambil keputusan untuk berlindung di Hoa-san-pai sampai yang berhak atas pusaka-pusaka itu datang mengambilnya."
Sampai lama kakek itu termenung dan menundukkan kepalanya, dipandang dengan hati gelisah dan tegang oleh Toan Ki dan Swi Nio. Akhirnya kakek itu mengangkat mukanya memandang dan berkata, suaranya bersungguh-sungguh. "Selamanya Hoa-san-pai menjaga nama dan kehormatan sebagai partai orang-orang gagah. Entah berapa banyaknya anak murid Hoa-san-pai tewas dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan, bahkan ada pula yang tewas tanpa pinto ketahui apa sebabnya dan di mana tewasnya seperti Kee-san Ngo-han, lima orang murid pinto yang dahulu bertugas melindungi Sin-tong..."
"Aihhh...!!" Tiba-tiba Swi Nio mengeluarkan teriakan tertahan dan ketika kakek itu memandang kepadanya, dia cepat berkata, "Mendiang Subo adalah bekas Ratu Pulau Es yang menyeleweng dan bersekutu dengan Kiam-mo Cai-li Liok Si memberontak kepada pemerintah. Pernah teecu mendengar penuturan Subo ketika menceritakan kelihaian Kiam-mo Cai-li bahwa Kee-san Ngo-hohan terbunuh oleh Kiam-mo Cai-li itu."
Ketua Hoa-san-pai itu kelihatan terkejut dan sinar matanya menjadi keras, "Hemm, kirahya iblis betina itu yang membunuh murid-murid pinto...!"
"Akan tetapi iblis itu telah tewas di tangan Nona Han Swat Hong puteri Pulau Es yang menitipkan pusaka kepada teecu berdua, Twa-supek," loan Ki berkata. (Bersambung)
Kakek itu kelihatan terkejut, lalu menarik napas panjang, mengelus jenggotnya dan kembali mengangguk-angguk. "Tan-sute memang murid Suhu, akan tetapi sayang, pernah dia membuat mendiang Suhu marah dan mengusirnya. Padahal bakatnya baik sekali. Kiranya dia membuka perguruan silat? Dan dia pesan agar muridnya tidak membawa nama Hoa-san-pai? Bagus, ternyata dia jantan juga. Di manakah dia sekarang dan bagaimana keadaannya?"
"Suhu telah tewas dalam keadaan penasaran, difitnah pembesar sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman mati."
"Ahhh...!"
"Karena itulah maka teecu sebagai muridnya yang juga menderita karena orang tua teecu juga menjadi korban keganasan pembesar pemerintah, lalu ikut berjuang bersama An Lu Shan, kemudian setelah berhasil teecu mengundurkan diri karena teecu tidak menghendaki kedudukan apa-apa. Apalagi melihat betapa An-goanswe menerima bantuan orang-orang dari kaum sesat, maka teecu mengundurkan diri."
"Bagus, baik sekali engkau mengambil keputusan itu, karena biarpun engkau tidak menyebut nama Hoa-san-pai, namun pinto akan ikut merasa menyesal kalau ada orang yang mewarisi kepandaian Hoa-san-pai mempergunakan kepandaian itu untuk urusan pemberontakan. Sekarang engkau bersama Nona ini datang menghadap pinto ada keperluan apakah?"
"Teecu datang untuk mohon pertolongan Twa-supek. Nona ini adalah tunangan teecu, dia puteri dari mendiang Lu-san Lojin."
"Siancai...! Lu-san Lojin sudah meninggal? Pinto pernah bertemu satu kali dengan ayahmu, Nona. Seorang yang gagah perkasa!" Kemudian kakek ini menoleh kepada Liem Toan Ki dan bertanya, "Pertolongan apakah yang kalian harapkan dari pinto?"
Dengan terus terang tanpa menyembunyikan sesuatu Liem Toan Ki lalu menceritakan tentang penyerbuannya bersama para penghuni Pulau Es, betapa kemudian puteri Pulau Es telah menitipkan Pusaka Pulau Es kepada mereka berdua, kemudian betapa mereka dihadang orang jahat yang hendak merampas pusaka dan mereka mengambil keputusan untuk bersembunyi di Hoa-san-pai.
Kakek itu menjadi bengong mendengar penuturan panjang lebar itu, beberapa kali memandang ke arah buntalan di punggung Toan Ki dan memandang wajah mereka berdua seperti orang yang kurang percaya. "Siancai... kalau tidak melihat wajah kalian berdua yang agaknya bukan orang gila dan bukan pembohong, pinto sukar untuk percaya bahwa kalian telah bertemu bahkan bertanding bahu-membahu dengan orang-orang Pulau Es! Pinto kira bahwa nama Pulau Es hanya terdapat dalam dongeng belaka."
"Karena teecu yakin bahwa tentu orang-orang di dunia kang-ouw akan saling berebut untuk merampas pusaka-pusaka ini, maka teecu berdua mengambil keputusan untuk berlindung di Hoa-san-pai sampai yang berhak atas pusaka-pusaka itu datang mengambilnya."
Sampai lama kakek itu termenung dan menundukkan kepalanya, dipandang dengan hati gelisah dan tegang oleh Toan Ki dan Swi Nio. Akhirnya kakek itu mengangkat mukanya memandang dan berkata, suaranya bersungguh-sungguh. "Selamanya Hoa-san-pai menjaga nama dan kehormatan sebagai partai orang-orang gagah. Entah berapa banyaknya anak murid Hoa-san-pai tewas dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan, bahkan ada pula yang tewas tanpa pinto ketahui apa sebabnya dan di mana tewasnya seperti Kee-san Ngo-han, lima orang murid pinto yang dahulu bertugas melindungi Sin-tong..."
"Aihhh...!!" Tiba-tiba Swi Nio mengeluarkan teriakan tertahan dan ketika kakek itu memandang kepadanya, dia cepat berkata, "Mendiang Subo adalah bekas Ratu Pulau Es yang menyeleweng dan bersekutu dengan Kiam-mo Cai-li Liok Si memberontak kepada pemerintah. Pernah teecu mendengar penuturan Subo ketika menceritakan kelihaian Kiam-mo Cai-li bahwa Kee-san Ngo-hohan terbunuh oleh Kiam-mo Cai-li itu."
Ketua Hoa-san-pai itu kelihatan terkejut dan sinar matanya menjadi keras, "Hemm, kirahya iblis betina itu yang membunuh murid-murid pinto...!"
"Akan tetapi iblis itu telah tewas di tangan Nona Han Swat Hong puteri Pulau Es yang menitipkan pusaka kepada teecu berdua, Twa-supek," loan Ki berkata. (Bersambung)
(dwi)