Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 1 Bagian 2
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
Para muda yang mendatangi Nan-Cao semua tahu belaka betapa sukarnya memperoleh gadis puteri ketua Beng-kauw itu. Bagaikan setangkai bunga, Lu Sian adalah bunga dewata yang tumbuh di puncak gunung yang amat tinggi dan sukar didapatkan.
Dara itu puteri tunggal Pat-Jiu Sin-ong yang sakti, yang tentu saja menghendaki seorang mantu pilihan, baik dipandang dari sudut keturunan, keadaan, maupun tingkat kepandainnya. Bahkan kabarnya dara itu hanya mau menjadi isteri seorang pendekar muda yang mampu mengalahkan dirinya! Namun, para muda yang sudah dimabok asmara, bagaikan serombongan semut yang tertarik oleh harum dan manisnya madu, tidak takut bahaya, berusaha mendapatkannya biarpun bahaya mengancam nyawa.
Tiada hentinya para muda itu mempercakapkan tentang Lu Sian, memuji-muji kecantikannya, menyatakan harapan-harapan muluk ketika mereka bermalam dirumah-rumah penginapan di kota raja sambil menanti saat dibukanya kesempatan bagi mereka untuk memasuki halaman gedung Pat-jiu Sin-ong beberapa hari lagi, dimana selain hendak ikut memberi selamat, merekapun berharap akan dapat menyaksikan kehebatan dara yang mereka percakapkan dan yang kembang mimpi mereka setiap malam.
Liu Lu Sian bukan tidak tahu akan hal ini. Gadis yang manja ini maklum sepenuhnya bahwa ia menjadi bahan percakapan dan pujian. Maka pada pagi hari itu, dua hari sebelum ayahnya menerima para tamu, ia sengaja mengenakan pakaian indah, menunggang seekor kuda putih, lalu melarikan kudanya mengelilingi kota raja! Memang hebat dara ini. Wajahnya kemerahan, berseri-seri dan pada kedua pipinya yang bagaikan pauh dilayang (merah jambu) itu, nampak lesung pipit menghias senyum dikulum.
Rambutnya yang hitam gemuk digelung keatas, diikat rantai mutiara dan ujungnya bergantung dibelakang punggung, halus melambai tertiup angin. Tubuhnya amat ramping, pinggangnya kecil sekali dapat dilingkari jari-jari tangan agaknya, terbungkus pakaian sutera merah muda bergaris pinggir biru dan kuning emas, ketat mancetak bentuk tubuh yang padat berisi karena terpelihara dan terlatih semenjak kecil. Pengait baju terbuat daripada benang emas yang gemilang, ikat pinggangnya dari sutera biru yang bergerak-gerak bagaikan sepasang ular hidup.
Celananya sutera putih yang seakan membayangkan sepasang kaki indah, padat berisi dan sempurna lekuk-lekungnya, diakhiri dengan sepasang sepatu hitam yang berlapis perak. Cantik tak terlukiskan! Menyaingi bidadari sorga dengan gerak tubuh yang lemah gemulai dan elok, akan tetapi rangka pedang yang tergantung dipinggangnya membuat ia lebih patut menjadi seorang Dewi Kwan Im Pouwsat!
Kuda putih tunggangannya berlari congklang dan Lu Sian memandang lurus ke depan namun ujung matanya menyambarkan kerling tajam kesana-sini, terutama diwaktu kudanya lewat depan rumah-rumah penginapan dimana para tamu muda berjajar depan pintu dengan mata jalang dan mulut ternganga, terpesona mengagumi dewi yang baru lewat.
Setelah dara ayu itu lenyap bayangannya, ributlah para muda teruna itu. Makin parah penyakit asmara menggerogoti jantung. Makin ramai percakapan mereka tentang Si Cantik manis. Rindu dendam dan harapan mereka yang terbawa dari rumah ratusan bahkan ribuan li jauhnya terpenuhi sudah. Mereka dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri dewi pujaan hati mereka. Dan betapa tidak mengecewakan pemandangan itu. Bahkan melebihi semua dugaan dan mimpi. Tergila-gila belaka mereka setelah Lu Sian Lewat di atas kudanya.
"Aduh ..., mati aku ...! Kalau aku tidak berhasil menggandengnya pulang, percuma aku hidup lebih lama lagi...!" Seorang pemuda tampan tanpa ia sadari mengucapkan kata-kata ini sambil menarik napas panjang.
"Lebih baik mati di bawah kaki si jelita dari pada pulang bertangan hampa!" sambung pemuda ke dua.
"Siapa tahu, rejekiku besar tahun ini menurut perhitungan peramal! Jodohku seorang gadis bermata bintang. Dan matanya...! Ah, matanya..., Kalah bintang kejora!" kata pemuda lain.
"Mulutnya yang hebat! Amboooiii mulutnya...ah, ingin aku menjadi buah apel agar dimakannya dan berkenalan dengan bibir itu. Aduhhh...!"
Bermacam-macam seruan para muda itu yang seakan lupa diri, menyatakan perasaan hati masing-masing yang menggelora. Sudah lajim kalau sekumpulan orang muda bercakap-cakap, mereka lebih berani manyatakan perasaan hati masing-masing sehingga percakapan itu menjadi hangat dan kadang-kadang terdengar kata-kata yang kurang sopan.
Apalagi para muda yang tergila-gila pada seorang gadis jelita ini adalah orang-orang kang-ouw, pemuda-pemuda kelana kelana dan petualang. Banyak sudah tempat mereka jelajahi, cukup sudah dara-dara jelita mereka saksikan, namun baru sekali ini mereka menjumpai dara secantik Lu Sian. Melampaui semua kembang mimpi. (Bersambung)
Para muda yang mendatangi Nan-Cao semua tahu belaka betapa sukarnya memperoleh gadis puteri ketua Beng-kauw itu. Bagaikan setangkai bunga, Lu Sian adalah bunga dewata yang tumbuh di puncak gunung yang amat tinggi dan sukar didapatkan.
Dara itu puteri tunggal Pat-Jiu Sin-ong yang sakti, yang tentu saja menghendaki seorang mantu pilihan, baik dipandang dari sudut keturunan, keadaan, maupun tingkat kepandainnya. Bahkan kabarnya dara itu hanya mau menjadi isteri seorang pendekar muda yang mampu mengalahkan dirinya! Namun, para muda yang sudah dimabok asmara, bagaikan serombongan semut yang tertarik oleh harum dan manisnya madu, tidak takut bahaya, berusaha mendapatkannya biarpun bahaya mengancam nyawa.
Tiada hentinya para muda itu mempercakapkan tentang Lu Sian, memuji-muji kecantikannya, menyatakan harapan-harapan muluk ketika mereka bermalam dirumah-rumah penginapan di kota raja sambil menanti saat dibukanya kesempatan bagi mereka untuk memasuki halaman gedung Pat-jiu Sin-ong beberapa hari lagi, dimana selain hendak ikut memberi selamat, merekapun berharap akan dapat menyaksikan kehebatan dara yang mereka percakapkan dan yang kembang mimpi mereka setiap malam.
Liu Lu Sian bukan tidak tahu akan hal ini. Gadis yang manja ini maklum sepenuhnya bahwa ia menjadi bahan percakapan dan pujian. Maka pada pagi hari itu, dua hari sebelum ayahnya menerima para tamu, ia sengaja mengenakan pakaian indah, menunggang seekor kuda putih, lalu melarikan kudanya mengelilingi kota raja! Memang hebat dara ini. Wajahnya kemerahan, berseri-seri dan pada kedua pipinya yang bagaikan pauh dilayang (merah jambu) itu, nampak lesung pipit menghias senyum dikulum.
Rambutnya yang hitam gemuk digelung keatas, diikat rantai mutiara dan ujungnya bergantung dibelakang punggung, halus melambai tertiup angin. Tubuhnya amat ramping, pinggangnya kecil sekali dapat dilingkari jari-jari tangan agaknya, terbungkus pakaian sutera merah muda bergaris pinggir biru dan kuning emas, ketat mancetak bentuk tubuh yang padat berisi karena terpelihara dan terlatih semenjak kecil. Pengait baju terbuat daripada benang emas yang gemilang, ikat pinggangnya dari sutera biru yang bergerak-gerak bagaikan sepasang ular hidup.
Celananya sutera putih yang seakan membayangkan sepasang kaki indah, padat berisi dan sempurna lekuk-lekungnya, diakhiri dengan sepasang sepatu hitam yang berlapis perak. Cantik tak terlukiskan! Menyaingi bidadari sorga dengan gerak tubuh yang lemah gemulai dan elok, akan tetapi rangka pedang yang tergantung dipinggangnya membuat ia lebih patut menjadi seorang Dewi Kwan Im Pouwsat!
Kuda putih tunggangannya berlari congklang dan Lu Sian memandang lurus ke depan namun ujung matanya menyambarkan kerling tajam kesana-sini, terutama diwaktu kudanya lewat depan rumah-rumah penginapan dimana para tamu muda berjajar depan pintu dengan mata jalang dan mulut ternganga, terpesona mengagumi dewi yang baru lewat.
Setelah dara ayu itu lenyap bayangannya, ributlah para muda teruna itu. Makin parah penyakit asmara menggerogoti jantung. Makin ramai percakapan mereka tentang Si Cantik manis. Rindu dendam dan harapan mereka yang terbawa dari rumah ratusan bahkan ribuan li jauhnya terpenuhi sudah. Mereka dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri dewi pujaan hati mereka. Dan betapa tidak mengecewakan pemandangan itu. Bahkan melebihi semua dugaan dan mimpi. Tergila-gila belaka mereka setelah Lu Sian Lewat di atas kudanya.
"Aduh ..., mati aku ...! Kalau aku tidak berhasil menggandengnya pulang, percuma aku hidup lebih lama lagi...!" Seorang pemuda tampan tanpa ia sadari mengucapkan kata-kata ini sambil menarik napas panjang.
"Lebih baik mati di bawah kaki si jelita dari pada pulang bertangan hampa!" sambung pemuda ke dua.
"Siapa tahu, rejekiku besar tahun ini menurut perhitungan peramal! Jodohku seorang gadis bermata bintang. Dan matanya...! Ah, matanya..., Kalah bintang kejora!" kata pemuda lain.
"Mulutnya yang hebat! Amboooiii mulutnya...ah, ingin aku menjadi buah apel agar dimakannya dan berkenalan dengan bibir itu. Aduhhh...!"
Bermacam-macam seruan para muda itu yang seakan lupa diri, menyatakan perasaan hati masing-masing yang menggelora. Sudah lajim kalau sekumpulan orang muda bercakap-cakap, mereka lebih berani manyatakan perasaan hati masing-masing sehingga percakapan itu menjadi hangat dan kadang-kadang terdengar kata-kata yang kurang sopan.
Apalagi para muda yang tergila-gila pada seorang gadis jelita ini adalah orang-orang kang-ouw, pemuda-pemuda kelana kelana dan petualang. Banyak sudah tempat mereka jelajahi, cukup sudah dara-dara jelita mereka saksikan, namun baru sekali ini mereka menjumpai dara secantik Lu Sian. Melampaui semua kembang mimpi. (Bersambung)
(dwi)