Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 6 Bagian 4

Kamis, 06 Juli 2017 - 06:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 6 Bagian 4
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

Pada keesokan malamnya, Kwee Seng berjalan perlahan mendaki bukit Liong-kui-san. Baiknya malam hari itu angkasa tidak terhalang mendung sehingga bulan yang masih besar menyinar terang, menerangi jalan setapak yang amat sukar dilalui.

Diam-diam pemuda ini kagum akan keadaan gunung yang tak dikenalnya ini, bergidik menyaksikan jurang-jurang yang amat dalam, dan ia merasa menyesal mengapa ia kemarin minta supaya Lu Sian datang ke tempat seperti ini. Kalau ia tahu gunung ini begini berbahaya, tentu ia memilih tempat lain. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan ia maklum pula bahwa Lu Sian cukup pandai untuk untuk dapat mendaki gunung ini, ia melanjutkan pendakiannya.

Tepat pada tengah malam ia tiba di puncak bukit. Puncak ini merupakan tempat datar yang luasnya lima belas meter persegi, ditumbuhi rumput tebal, dan di sebelah selatan dan barat merupakan tempat pendakian yang sukar, adapun di sebelah utara dan timur tampak jurang ternganga, jurang yang tak dapat dibayangkan betapa dalamya karena yang tampak hanya warna hitam gelap mengerikan. Jauh sebelah bawah, agaknya di jurang sebelah timur, terdengar suara air gemericik, akan tetapi tidak tampak airnya.

Ketika tiba di tempat itu, Kwee Seng menengok ke belakang dan menarik napas panjang. Sejak tadi ia tahu bahwa ada orang mengikutinya, dan tahu pula bahwa orang itu bukan lain adalah Lai Kui Lan. Ketika tiba di bagian yang sukar dan banyak batunya tadi, diam-diam ia menyelinap dan mengambil jalan lain turun lagi maka ia melihat bahwa orang yang membayanginya tadi itu adalah Lai Kui Lan.

Ia diam saja dan tidak menegur, lalu melanjutkan perjalanannya, malah menjaga agar ia tidak mengambil jalan terlalu sukar agar nona yang membayanginya itu dapat mengikutinya dengan aman. Ia menduga-duga apa maksud nona itu dan akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa nona itu tentu ingin pula melihat kelanjutan daripada urusannya dengan Lu Sian. Tiba-tiba ia teringat, Lu Sian seorang yang aneh wataknya.

Kalau diketahui bahwa ada orang ketiga hadir, tentu akan marah, bukan tak mungkin timbul keganasannya dan menyerang Kui Lan. Oleh karena inilah maka Kwee Seng tidak jadi naik, cepat ia berlari turun lagi menyongsong Kui Lan.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kui Lan ketika melihat Kwee Seng secara tiba-tiba berdiri di depannya, tak jauh dari puncak. Mereka berdiri berhadapan saling pandang, dan Kui Lan menjadi makin gugup.

"Eh... ah... Kwee-taihiap....aku... aku ingin bercerita kepadamu tentang... tentang mengapa aku sampai datang bersama... jahanam itu. Karena aku tidak bisa menjumpai Taihiap di sana, aku... aku lalu datang ke sini karena kau tahu bahwa malam ini Taihiap tentu akan datang disini." Kata-kata ini diucapkan tergesa-gesa dan tergagap sehingga Kwee Seng merasa kasihan, tidak mau menggodanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendesak.

"Kau aneh sekali, Nona Lai. Mengapakah kau hendak menceritakan hal itu? Akan tetapi biarlah, karena kulihat bahwa orang yang hendak kujumpai di sini belum datang di puncak, baiklah kau bercerita. Nah, sekarang aku bertanya, bagaimana kau bisa bertemu dan tertawan oleh Bayisan? Duduklah biar enak kita bicara."

Lai Kui Lan bernapas lega, lalu ia duduk di atas sebuah batu, berhadapan dengan Kwee Seng yang duduk di atas tanah.

"Kemarin, setelah Taihiap meninggalkan aku di hutan itu." Ia mulai bicara, suaranya menggetar, "aku tak dapat menahan hatiku yang merasa kasihan dan kagum kepada Taihiap. Aku kecewa karena Taihiap tidak sudi menerima undanganku, kami sesungguhnya membutuhkan petunjuk-petunjuk orang sakti seperti Taihiap. Aku tidak putus asa dan berusaha mengejar Tahiap yang menunggang kuda." Ia berhenti sebentar untuk melihat dan menunggu reaksi dari Kwee Seng, akan tetapi pemuda ini diam saja maka ia melanjutkan ceritanya.

"Setelah keluar dari hutan itu, tiba-tiba muncul Bayisan. Dia menyatakan kehendaknya, yaitu bermaksud untuk membujuk sute untuk bersekutu dengan orang-orang Khitan. Tentu saja aku menjadi marah dan memaki lalu kami bertempur dengan kesudahan aku kalah dan tertawan. Dia lihai bukan main, orang Khitan keparat itu. Demikianlah, dalam keadaan tak berdaya aku dibawa ke rumah penginapan itu. Untung Tuhan melindungi diriku sehingga dapat bertemu dengan Taihiap. Kwee-taihiap, kuulangi lagi permohonanku, sudilah kiranya Taihiap berkunjung ke benteng, berkenalan dengan Suteku dan kami mohon petunjuk-petunjuk dari Tahiap dalam suasana yang kacau balau ini. Kami seakan-akan hampir kehilangan pegangan, Taihiap, demikian banyaknya muncul raja-raja yang membangun kerajaan-kerajaan kecil sehingga sukar bagi kami untuk menentukan nama yang baik dan mana yang buruk." (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0451 seconds (0.1#10.140)