Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 11 Bagian 6
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
Dengan tenang sekali Kam Si Ek menggerakkan golok emasnya menangkis sampai belasan jurus, kemudian setelah ia melihat kelemahan lawan dan banyaknya kesempatan terbuka karena kenekatan itu, mulailah ia menerjang dan membalas. Akan tetapi Kam Si Ek tidak berniat membunuh lawannya yang sama sekali tidak mempunyai dosa terhadapnya itu, maka setelah melihat kesempatan baik, goloknya menyerempet pangkal lengan kanan lawannya.
Giam Sui Lok mengeluh, pangkal lengannya luka dan goloknya terlepas dari pegangan. Ia tidak mengerang kesakitan, menahan rasa nyeri lalu berkata, "Kau menang. Nah, lekas bacoklah leherku, aku tidak ingin hidup lagi!"
Kam Si Ek tersenyum dan menyimpan goloknya. "Justeru aku hendak membiarkan kau hidup, sobat! Kau masih muda dan birlah kau hidup lebih lama untuk menyesali perbuatanmu yang lancang ini. Kelak kau akan meresa malu sendiri akan sepak terjangmu yang bodoh ini. Nah, kau pergilah!"
Giam Sui Lok memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan. "Kam Si Ek! Aku mengaku kalah dan minta mati, akan tetapi kau membiarkan aku hidup, agaknya kau ingin lebih menyiksaku. Akan tetapi, akan datang saatnya aku kembali mencarimu dan sebelum aku mati di tanganmu atau kau mati di tanganku, aku takkan mau sudah!" Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri ia menjemput goloknya lalu pergi menghilang di balik gelap malam.
Kam Si Ek berdiri tertegun, hatinya penuh penyesalan. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi, seorang anak kecil berusia sembilan tahun mengintai dari balik semak-semak. Anak ini adalah puteranya sendiri, Kam Bu Song! Semenjak beberapa hari ini, Bu Song mengunci diri di dalam kamarnya dan menangis saja. Malam ini ia membawa buntalan pakaian, diam-diam keluar dari kamarnya, dan terkejut menyaksikan pertempuran di pekarangan belakang. Ia bersembunyi dan mengintai, kemudian setelah ayahnya kembali ke dalam rumah, ia cepat berlari keluar dan lenyap pula di tempat gelap.
Dapat dibayangkan betapa duka dan bingungnya hati Kam Si Ek. Pernikahannya yang ke dua itu amat cepat disusul dua peristiwa yang mengganjal hatinya. Peristiwa dengan Giam Sui Lok sudah cukup menjengkelkan, akan tetapi peristiwa kedua, larinya Kam Bu Song benar-benar membuatnya berduka dan gelisah sekali.
Tentu saja ia segera menyebar orang-orangnya untuk mencari, namun hasilnya sia-sia belaka. Anak itu tidak dapat ditemukan, seakan-akan ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas. Mula-mula ia menyangka bahwa Giam Sui Lok yang melakukan penculikan, akan tetapi ketika ia menyuruh orangnya menyelidik, ternyata Giam Sui Lok kembali ke Cin-ling-san, merawat luka dan memperdalam ilmu silat, sama sekali tidak tahu-menahu tentang lenyapnya Kam Bu Song!
***
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng! Sengaja kita lakukan ini agar jalan cerita dapat tersusun baik, karena memang ada hubungannya antara tokoh-tokoh yang diceritakan itu.
Telah kita ketahui betapa dalam keadaan linglung, Kwee Seng telah melayani cinta kasih seorang nenek-nenek di Neraka Bumi selama belasan hari ketika Arus Maut di Neraka Bumi itu meluap airnya dan cuaca menjadi gelap.
Setelah cuaca menjadi terang kembali, pikirannya pun menjadi terang dan sadarlah ia bahwa ia telah mencurahkan kasih sayangnya kepada seorang nenek-nenek yang memang menghendaki ia menjadi suaminya! Bagaikan gila Kwee Seng memukuli muka dan kepalanya sendiri, kemudian ia meloncat ke dalam air arus Arus Maut, menyelam dan berenang melawan arus.
Bukan main kuatnya arus itu, seekor ikan pun agaknya takkan mampu berenang melawan arus itu. Akan tetapi, selama tiga tahun berdiam di dalam Neraka Bumi, Kwee Seng telah memperoleh kemajuan yang luar biasa. Berkat latihan samadhi menurut ajaran kitab samadhi, tenaga lweekangnya meningkat hebat beberapa kali lipat, sedangkan ilmu silatnya juga tanpa ia sadari telah menjadi hebat luar biasa setelah ia memahami kitab Ilmu Perbintangan.
Kini, menghadapi terjangan arus yang demikian ganasnya, Kwee Seng dapat mempergunakan lweekangnya, menyelam dan berenang sepenuh tenaga sambil menahan napas. Beberapa kali ia terpukul kembali, namun dengan gigih Kwee Seng maju terus. Benturan-benturan dengan batu ketika ia dihempaskan Arus Maut, tidak terasa oleh tubuhnya yang sudah menjadi kuat dan kebal. Kadang-kadang ia muncul di permukaan air untuk mengambil napas, lalu menyelam kembali dan bergerak maju terus. Bukan main hebatnya perjuangan melawan Arus Maut ini. Perjuangan mati-matian dan ia tidak tahu bahwa andaikata tiga tahun yang lalu ia harus melakukan perjuangan macam ini, tentu ia akan tewas! (Bersambung)
Dengan tenang sekali Kam Si Ek menggerakkan golok emasnya menangkis sampai belasan jurus, kemudian setelah ia melihat kelemahan lawan dan banyaknya kesempatan terbuka karena kenekatan itu, mulailah ia menerjang dan membalas. Akan tetapi Kam Si Ek tidak berniat membunuh lawannya yang sama sekali tidak mempunyai dosa terhadapnya itu, maka setelah melihat kesempatan baik, goloknya menyerempet pangkal lengan kanan lawannya.
Giam Sui Lok mengeluh, pangkal lengannya luka dan goloknya terlepas dari pegangan. Ia tidak mengerang kesakitan, menahan rasa nyeri lalu berkata, "Kau menang. Nah, lekas bacoklah leherku, aku tidak ingin hidup lagi!"
Kam Si Ek tersenyum dan menyimpan goloknya. "Justeru aku hendak membiarkan kau hidup, sobat! Kau masih muda dan birlah kau hidup lebih lama untuk menyesali perbuatanmu yang lancang ini. Kelak kau akan meresa malu sendiri akan sepak terjangmu yang bodoh ini. Nah, kau pergilah!"
Giam Sui Lok memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan. "Kam Si Ek! Aku mengaku kalah dan minta mati, akan tetapi kau membiarkan aku hidup, agaknya kau ingin lebih menyiksaku. Akan tetapi, akan datang saatnya aku kembali mencarimu dan sebelum aku mati di tanganmu atau kau mati di tanganku, aku takkan mau sudah!" Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri ia menjemput goloknya lalu pergi menghilang di balik gelap malam.
Kam Si Ek berdiri tertegun, hatinya penuh penyesalan. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi, seorang anak kecil berusia sembilan tahun mengintai dari balik semak-semak. Anak ini adalah puteranya sendiri, Kam Bu Song! Semenjak beberapa hari ini, Bu Song mengunci diri di dalam kamarnya dan menangis saja. Malam ini ia membawa buntalan pakaian, diam-diam keluar dari kamarnya, dan terkejut menyaksikan pertempuran di pekarangan belakang. Ia bersembunyi dan mengintai, kemudian setelah ayahnya kembali ke dalam rumah, ia cepat berlari keluar dan lenyap pula di tempat gelap.
Dapat dibayangkan betapa duka dan bingungnya hati Kam Si Ek. Pernikahannya yang ke dua itu amat cepat disusul dua peristiwa yang mengganjal hatinya. Peristiwa dengan Giam Sui Lok sudah cukup menjengkelkan, akan tetapi peristiwa kedua, larinya Kam Bu Song benar-benar membuatnya berduka dan gelisah sekali.
Tentu saja ia segera menyebar orang-orangnya untuk mencari, namun hasilnya sia-sia belaka. Anak itu tidak dapat ditemukan, seakan-akan ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas. Mula-mula ia menyangka bahwa Giam Sui Lok yang melakukan penculikan, akan tetapi ketika ia menyuruh orangnya menyelidik, ternyata Giam Sui Lok kembali ke Cin-ling-san, merawat luka dan memperdalam ilmu silat, sama sekali tidak tahu-menahu tentang lenyapnya Kam Bu Song!
***
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng! Sengaja kita lakukan ini agar jalan cerita dapat tersusun baik, karena memang ada hubungannya antara tokoh-tokoh yang diceritakan itu.
Telah kita ketahui betapa dalam keadaan linglung, Kwee Seng telah melayani cinta kasih seorang nenek-nenek di Neraka Bumi selama belasan hari ketika Arus Maut di Neraka Bumi itu meluap airnya dan cuaca menjadi gelap.
Setelah cuaca menjadi terang kembali, pikirannya pun menjadi terang dan sadarlah ia bahwa ia telah mencurahkan kasih sayangnya kepada seorang nenek-nenek yang memang menghendaki ia menjadi suaminya! Bagaikan gila Kwee Seng memukuli muka dan kepalanya sendiri, kemudian ia meloncat ke dalam air arus Arus Maut, menyelam dan berenang melawan arus.
Bukan main kuatnya arus itu, seekor ikan pun agaknya takkan mampu berenang melawan arus itu. Akan tetapi, selama tiga tahun berdiam di dalam Neraka Bumi, Kwee Seng telah memperoleh kemajuan yang luar biasa. Berkat latihan samadhi menurut ajaran kitab samadhi, tenaga lweekangnya meningkat hebat beberapa kali lipat, sedangkan ilmu silatnya juga tanpa ia sadari telah menjadi hebat luar biasa setelah ia memahami kitab Ilmu Perbintangan.
Kini, menghadapi terjangan arus yang demikian ganasnya, Kwee Seng dapat mempergunakan lweekangnya, menyelam dan berenang sepenuh tenaga sambil menahan napas. Beberapa kali ia terpukul kembali, namun dengan gigih Kwee Seng maju terus. Benturan-benturan dengan batu ketika ia dihempaskan Arus Maut, tidak terasa oleh tubuhnya yang sudah menjadi kuat dan kebal. Kadang-kadang ia muncul di permukaan air untuk mengambil napas, lalu menyelam kembali dan bergerak maju terus. Bukan main hebatnya perjuangan melawan Arus Maut ini. Perjuangan mati-matian dan ia tidak tahu bahwa andaikata tiga tahun yang lalu ia harus melakukan perjuangan macam ini, tentu ia akan tewas! (Bersambung)
(dwi)