Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 18 Bagian 2
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
"Ha-ha-ha! Tidaklah mudah, Bu Song. Kau tentu tahu, tulisan huruf indah baru dapat disebut indah kalau tulisan itu dapat mengandung goresan yang bertenaga, dan untuk menghimpun tenaga dalam tangan agar dapat membuat goresan yang tepat, perlu tanganmu diisi tenaga. Dalam latihan siulian ini dapat membuat tanganmu bertenaga. Besok kuajarkan bagaimana kau harus menggunakan pernapasanmu untuk membangkitkan tenaga dari dalam pusar, menggunakan kekuatan hawa yang kau sedot itu untuk menerobos ke pergelangan tangan dan jari-jari tanganmu. Baru setelah tanganmu bertenaga, akan kuajarkan engkau menulis huruf indah."
Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan mata berseri-seri akan tetapi diam-diam dia merasa malu kepada diri sendiri bahwa ia harus bicara secara berputar-putar dan seakan-akan ia menipu muridnya ini yang tidak mau belajar ilmu silat! Ia melihat betapa muridnya memandangnya penuh perhatian, sinar matanya memancarkan kepercayaan dan ketaatan yang tulus. Terharu hati Kim-mo Taisu. Bocah ini hebat, memiliki bakat yang baik sekali di samping watak yang keras dan bersih. Entah apa sebabnya, mungkin pandang mata itulah, yang membuat Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan jatuh sayang kepada anak ini. Ia merangkul pundak muridnya dan berkata halus.
"Bu Song, kau mengasolah. Kau tentu lapar, bukan? Nah, coba kau mencari makanan seperti yang kaulakukan ketika kau mendaki bukit ini selama tiga hari tiga malam."
"Baiklah, Suhu." Bu Song lalu memasuki hutan di sebelah kiri, menyusup-nyusup sampai jauh dan akhirnya dengan hati girang ia mendapatkan sebuah pohon apel yang buahnya banyak yang sudah tua dan matang. Segera ia memanjat pohon itu dan memetik banyak buah apel yang kulitnya kuning kemerahan dan baunya sedap mengharum itu. Buah-buahan itu ia masukkan ke dalam kantung uang sampai penuh. Tiba-tiba telinganya mendengar bunyi kelenengan kuda, nyaring sekali bunyi itu, bergema di antara pohon-pohon. Suara yang menyelinap ke dalam telinganya seakan-akan berubah menjadi jarum-jarum yang menusuk telinga dan masuk merayap melalui urat-uratnya, membuat Bu Song menggigil dan tak dapat pula ia mempertahankan diri, buah-buah berikut pundi-pundi uang terlepas jatuh disusul tubuhnya jatuh pula dari atas pohon!
Untung baginya, Pohon itu tidak terlalu tinggi, juga ketika ia terjatuh, tubuhnya tertahan oleh cabang dan dahan disebelah bawah sehingga ketika ia terbanting ke atas tanah, Bu Song hanya merasa pinggul dan bahu kirinya saja yang agak sakit. Begitu ia melompat bangun lagi, suara itu masih terngiang di telinganya, membuat kepalanya pening dan tubuhnya sakit-sakit. Betapapun ia menahan dan menutupi telingan dengan kedua tangan, tetap saja suara itu menembus masuk. Saking sakitnya, serasa seperti jantungnya ditusuk-tusuk jarum, Bu Song bergulingan di atas tanah, merintih-rintih. Ingin ia melompat dan lari ke tempat suhunya, namun suara kelenengan itu makin keras dan kini ia sudah bangkit berdiri lagi.
Tiba-tiba ia teringat akan nasihat suhunya, "Kalau kau berhasil menunggang naga, apa pun di dunia ini tidak akan mampu mengganggu badan dan pikiranmu." Menunggang naga adalah istilah untuk duduk memusatkan perhatian kepada masuk keluarnya hawa pernapasan.
Teringat akan ini, cepat-cepat Bu Song mengerahkan tenaganya untuk duduk bersila, kemudian mengerahkan pula segenap tekad dan kemauannya untuk menarik semua panca indera, terutama pendengarannya, menjadi satu dan memaksa diri "menunggang naga" seperti yang pernah ia latih di bawah petunjuk suhunya. Sebentar saja anak yang bertekad membaja ini telah berhasil "tenggelam" ke dalam keadaan diam, tekun menunggang naga pernapasannya sendiri sehingga lupa pula akan suara kelenengan yang mempunyai daya mujijat tadi! Suara kelenengan masih terdengar nyaring, akan tetapi kini seakan-akan hanya lewat di luar daun telinganya saja, tidak mampu masuk karena telinga itu telah ditinggalkan "penumpangnya" atau penjaganya yang sedang seenaknya menunggang naga!
Setelah lama suara kelenengan itu tidak berbunyi lagi, baru Bu Song sadar bahwa telinganya tidak menghadapi bahaya suara mujijat itu, maka ia lalu melompat bangun, mengumpulkan buah-buah yang berceceran dan membungkusnya di dalam pundi-pundi uang. Kemudian ia lari menuju ke tempat suhunya.
Bunyi kelenengan yang tadi terdengar oleh Bu Song keluar dari sebuah kelenengan kecil yang dibunyikan oleh tangan seorang kakek tinggi besar. Kakek ini menunggang keledai kecil sehingga kelihatannya lucu sekali. Kedua kakinya yang panjang tergantung di kanan kiri perut keledai hampir menyentuh tanah. Namun keledai kecil itu ternyata mampu berjalan cepat dan pandai pula mendaki bukit. Sambil membunyikan kelenengan, kakek ini melenggut di atas punggung keledai, hiasan bulu di atas kain kepalanya mengangguk-angguk dan jubahnya yang panjang lebar itu melambai-lambai tertiup angin gunung. (Bersambung)
"Ha-ha-ha! Tidaklah mudah, Bu Song. Kau tentu tahu, tulisan huruf indah baru dapat disebut indah kalau tulisan itu dapat mengandung goresan yang bertenaga, dan untuk menghimpun tenaga dalam tangan agar dapat membuat goresan yang tepat, perlu tanganmu diisi tenaga. Dalam latihan siulian ini dapat membuat tanganmu bertenaga. Besok kuajarkan bagaimana kau harus menggunakan pernapasanmu untuk membangkitkan tenaga dari dalam pusar, menggunakan kekuatan hawa yang kau sedot itu untuk menerobos ke pergelangan tangan dan jari-jari tanganmu. Baru setelah tanganmu bertenaga, akan kuajarkan engkau menulis huruf indah."
Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan mata berseri-seri akan tetapi diam-diam dia merasa malu kepada diri sendiri bahwa ia harus bicara secara berputar-putar dan seakan-akan ia menipu muridnya ini yang tidak mau belajar ilmu silat! Ia melihat betapa muridnya memandangnya penuh perhatian, sinar matanya memancarkan kepercayaan dan ketaatan yang tulus. Terharu hati Kim-mo Taisu. Bocah ini hebat, memiliki bakat yang baik sekali di samping watak yang keras dan bersih. Entah apa sebabnya, mungkin pandang mata itulah, yang membuat Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan jatuh sayang kepada anak ini. Ia merangkul pundak muridnya dan berkata halus.
"Bu Song, kau mengasolah. Kau tentu lapar, bukan? Nah, coba kau mencari makanan seperti yang kaulakukan ketika kau mendaki bukit ini selama tiga hari tiga malam."
"Baiklah, Suhu." Bu Song lalu memasuki hutan di sebelah kiri, menyusup-nyusup sampai jauh dan akhirnya dengan hati girang ia mendapatkan sebuah pohon apel yang buahnya banyak yang sudah tua dan matang. Segera ia memanjat pohon itu dan memetik banyak buah apel yang kulitnya kuning kemerahan dan baunya sedap mengharum itu. Buah-buahan itu ia masukkan ke dalam kantung uang sampai penuh. Tiba-tiba telinganya mendengar bunyi kelenengan kuda, nyaring sekali bunyi itu, bergema di antara pohon-pohon. Suara yang menyelinap ke dalam telinganya seakan-akan berubah menjadi jarum-jarum yang menusuk telinga dan masuk merayap melalui urat-uratnya, membuat Bu Song menggigil dan tak dapat pula ia mempertahankan diri, buah-buah berikut pundi-pundi uang terlepas jatuh disusul tubuhnya jatuh pula dari atas pohon!
Untung baginya, Pohon itu tidak terlalu tinggi, juga ketika ia terjatuh, tubuhnya tertahan oleh cabang dan dahan disebelah bawah sehingga ketika ia terbanting ke atas tanah, Bu Song hanya merasa pinggul dan bahu kirinya saja yang agak sakit. Begitu ia melompat bangun lagi, suara itu masih terngiang di telinganya, membuat kepalanya pening dan tubuhnya sakit-sakit. Betapapun ia menahan dan menutupi telingan dengan kedua tangan, tetap saja suara itu menembus masuk. Saking sakitnya, serasa seperti jantungnya ditusuk-tusuk jarum, Bu Song bergulingan di atas tanah, merintih-rintih. Ingin ia melompat dan lari ke tempat suhunya, namun suara kelenengan itu makin keras dan kini ia sudah bangkit berdiri lagi.
Tiba-tiba ia teringat akan nasihat suhunya, "Kalau kau berhasil menunggang naga, apa pun di dunia ini tidak akan mampu mengganggu badan dan pikiranmu." Menunggang naga adalah istilah untuk duduk memusatkan perhatian kepada masuk keluarnya hawa pernapasan.
Teringat akan ini, cepat-cepat Bu Song mengerahkan tenaganya untuk duduk bersila, kemudian mengerahkan pula segenap tekad dan kemauannya untuk menarik semua panca indera, terutama pendengarannya, menjadi satu dan memaksa diri "menunggang naga" seperti yang pernah ia latih di bawah petunjuk suhunya. Sebentar saja anak yang bertekad membaja ini telah berhasil "tenggelam" ke dalam keadaan diam, tekun menunggang naga pernapasannya sendiri sehingga lupa pula akan suara kelenengan yang mempunyai daya mujijat tadi! Suara kelenengan masih terdengar nyaring, akan tetapi kini seakan-akan hanya lewat di luar daun telinganya saja, tidak mampu masuk karena telinga itu telah ditinggalkan "penumpangnya" atau penjaganya yang sedang seenaknya menunggang naga!
Setelah lama suara kelenengan itu tidak berbunyi lagi, baru Bu Song sadar bahwa telinganya tidak menghadapi bahaya suara mujijat itu, maka ia lalu melompat bangun, mengumpulkan buah-buah yang berceceran dan membungkusnya di dalam pundi-pundi uang. Kemudian ia lari menuju ke tempat suhunya.
Bunyi kelenengan yang tadi terdengar oleh Bu Song keluar dari sebuah kelenengan kecil yang dibunyikan oleh tangan seorang kakek tinggi besar. Kakek ini menunggang keledai kecil sehingga kelihatannya lucu sekali. Kedua kakinya yang panjang tergantung di kanan kiri perut keledai hampir menyentuh tanah. Namun keledai kecil itu ternyata mampu berjalan cepat dan pandai pula mendaki bukit. Sambil membunyikan kelenengan, kakek ini melenggut di atas punggung keledai, hiasan bulu di atas kain kepalanya mengangguk-angguk dan jubahnya yang panjang lebar itu melambai-lambai tertiup angin gunung. (Bersambung)
(dwi)