Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 3 Bagian 5
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
"Hemmm, puterimu berkepandaian tinggi. Terus terang saja, akupun ingin sekali menguji kepandaiannya. Akan tetapi... hemm, Lo-enghiong, harap jangan salah sangka. Dengan jujur aku mengaku bahwa puterimu telah menarik hatiku. Akan tetapi, perjodohan melalui pertandingan memang kurang tepat, yang perlu hati masing-masing. Bagaimana kalau aku naik ke panggung, tapi bukan untuk memasuki sayembara pemilihan jodoh, hanya sekedar main-main menguji kepandaian belaka?" Ucapan ini dilakukan perlahan tidak terdengar orang lain.
Akan tetapi Ketua Beng-kauw itu tertawa keras dan menjawab dengan suara keras pula. "Ha-ha-ha-ha! Aku mengerti, kau memang seorang yang teliti dan cermat, terlalu berhati-hati! Kalau menyalahi peraturan, berarti melanggar dan siapa melanggar harus didenda!"
Kwee Seng tertawa pula dan menenggak sisa araknya. "Dendanya bagaimana? Kau harus menurunkan ilmu pukulan yang kau pergunakan untuk mengalahkan puteriku itu kepadanya."
"Akur. Tapi dia harus ikut denganku ke mana aku pergi."
"Boleh. Nah, orang muda, kau cobalah!"
Hati Liu Lu Sian sudah mendongkolkan sekali mendengarkan percakapan antara ayahnya dan pemuda pelajar yang kelihatan lemah lembut itu. Apalagi ketika ia melihat Kwee Seng berjalan menghampirinya dengan langkah sempoyongan dan mukanya yang berkulit putih halus itu kelihatan merah sekali, tanda-tanda seorang mabuk!
"Apakah Kwee-kongcu juga tidak mau ketinggalan dalam lomba pameran kepandaian?" Liu Lu Sian menegur dengan kata-kata dingin. Ternyata gadis ini masih mendongkol mengingat betapa tadi di depan ayahnya, Kwee Seng sudah membikin basah pakaiannya dengan arak, merupakan bukti bahwa dalam adu tenaga secara diam-diam itu, pemuda ini sudah memang setingkat daripadanya. "Cuma kali ini Kongcu sedang mabuk, tidak enak kalau aku mencari kemenangan dan seorang yang mabok!"
Dengan kata-kata ketus ini, Liu Lu Sian hendak menebus rasa malunya tadi. Kwee Seng tersenyum dan diam-diam mengagumi wajah yang demikian eloknya, mulut yang biarpun menghamburkan kata-kata pedas dan pahit, namun tetap manis didengar. Matanya yang agak mabok itu seakan-akan lekat pada bibir itu dan sejenak Kwee Seng terpesona, tak dapat berkata apa-apa, tak dapat bergerak memandang ke arah mulut dara jelita.
Bibir merah basah menantang
Bentuk indah gendewa terpentang
Hangat lembut mulut juita
Sarang madu sari puspita
Senyum dikulum bibir gemetar
Tersingkap mutiara indah berjajar
Segar sedap lekuk di pipi
Mengawal suara merdu sang dewi!
"Heh, kenapa kau melongo saja?" tiba-tiba Lu Sian membentak, lenyap sikapnya menghormat karena ia tak dapat menahan kejengkelan hatinya.
Kwee Seng sadar dari lamunannya. "Eh......, ohh...... Nona, kau tahu, aku sebetulnya tidak ingin memasuki sayembara... dan aku ...aku lebih suka bertanding dengan si pemilik tangan maut!" Sambil berkata demikian ia menoleh, matanya mencari-cari.
"Cukup! Tak perlu banyak bicara lagi Kwee-kongcu. Aku sudah mendengar bahwa kalau aku kalah, aku harus menjadi muridmu dan ikut pergi bersamamu!" kata pula Lu Sian dengan senyum mengejek. "Akan tetapi jangan kira akan mudah mengalahkan aku!" Setelah berkata demikian, gadis itu berkelebat cepat dan tahu-tahu ia sudah lari menyambar pedangnya yang terletak diatas meja dan secepat itu pula berkelebat kembali menghadapi Kwee Seng. Pemuda itu tersenyum, senyum yang mengandung banyak arti, setengah mengejek dan setengah kagum begitu cepatnya gadis itu bergerak dan menyarungkan pedangnya dengan gerakan indah. Lu Sian merasakan ejekan ini dan dengan gemas ia berkata.
"Menghadapi seorang sakti seperti engkau ini, Kwee-kongcu, tidak bisa disamakan dengan segala cacing tanah tadi. Aku mengharapkan pelajaran darimu dalam menggunakan senjata!" Sambil berkata demikian gadis ini mencabut pedangnya dan tampaklah sinar berkelebat, putih menyilaukan mata.
"Lu Sian, mundurlah! Manusia ini terlalu sombong, biar aku mewakilimu memberi hajaran!" Tiba-tiba bayangan tinggi kurus melayang ke depan Kwee Seng dan sebuah lengan menyambar ke arah dada pemuda itu.
"Wutttt!" Kwee Seng miringkan pundaknya dan pukulan yang hebat itu lewat cepat.
"Hemm, aku senang sekali melayanimu!" kata Kwee Seng dan jari telunjuknya menotok ke arah pergelangan tangan yang lewat di sampingnya. Akan tetapi secepat itu pula Ma Thai Kun sudah menarik kembali lengannya sehingga dalam dua gebrakan ini mereka berkesudahan nol-nol atau sama cepatnya. (Bersambung)
"Hemmm, puterimu berkepandaian tinggi. Terus terang saja, akupun ingin sekali menguji kepandaiannya. Akan tetapi... hemm, Lo-enghiong, harap jangan salah sangka. Dengan jujur aku mengaku bahwa puterimu telah menarik hatiku. Akan tetapi, perjodohan melalui pertandingan memang kurang tepat, yang perlu hati masing-masing. Bagaimana kalau aku naik ke panggung, tapi bukan untuk memasuki sayembara pemilihan jodoh, hanya sekedar main-main menguji kepandaian belaka?" Ucapan ini dilakukan perlahan tidak terdengar orang lain.
Akan tetapi Ketua Beng-kauw itu tertawa keras dan menjawab dengan suara keras pula. "Ha-ha-ha-ha! Aku mengerti, kau memang seorang yang teliti dan cermat, terlalu berhati-hati! Kalau menyalahi peraturan, berarti melanggar dan siapa melanggar harus didenda!"
Kwee Seng tertawa pula dan menenggak sisa araknya. "Dendanya bagaimana? Kau harus menurunkan ilmu pukulan yang kau pergunakan untuk mengalahkan puteriku itu kepadanya."
"Akur. Tapi dia harus ikut denganku ke mana aku pergi."
"Boleh. Nah, orang muda, kau cobalah!"
Hati Liu Lu Sian sudah mendongkolkan sekali mendengarkan percakapan antara ayahnya dan pemuda pelajar yang kelihatan lemah lembut itu. Apalagi ketika ia melihat Kwee Seng berjalan menghampirinya dengan langkah sempoyongan dan mukanya yang berkulit putih halus itu kelihatan merah sekali, tanda-tanda seorang mabuk!
"Apakah Kwee-kongcu juga tidak mau ketinggalan dalam lomba pameran kepandaian?" Liu Lu Sian menegur dengan kata-kata dingin. Ternyata gadis ini masih mendongkol mengingat betapa tadi di depan ayahnya, Kwee Seng sudah membikin basah pakaiannya dengan arak, merupakan bukti bahwa dalam adu tenaga secara diam-diam itu, pemuda ini sudah memang setingkat daripadanya. "Cuma kali ini Kongcu sedang mabuk, tidak enak kalau aku mencari kemenangan dan seorang yang mabok!"
Dengan kata-kata ketus ini, Liu Lu Sian hendak menebus rasa malunya tadi. Kwee Seng tersenyum dan diam-diam mengagumi wajah yang demikian eloknya, mulut yang biarpun menghamburkan kata-kata pedas dan pahit, namun tetap manis didengar. Matanya yang agak mabok itu seakan-akan lekat pada bibir itu dan sejenak Kwee Seng terpesona, tak dapat berkata apa-apa, tak dapat bergerak memandang ke arah mulut dara jelita.
Bibir merah basah menantang
Bentuk indah gendewa terpentang
Hangat lembut mulut juita
Sarang madu sari puspita
Senyum dikulum bibir gemetar
Tersingkap mutiara indah berjajar
Segar sedap lekuk di pipi
Mengawal suara merdu sang dewi!
"Heh, kenapa kau melongo saja?" tiba-tiba Lu Sian membentak, lenyap sikapnya menghormat karena ia tak dapat menahan kejengkelan hatinya.
Kwee Seng sadar dari lamunannya. "Eh......, ohh...... Nona, kau tahu, aku sebetulnya tidak ingin memasuki sayembara... dan aku ...aku lebih suka bertanding dengan si pemilik tangan maut!" Sambil berkata demikian ia menoleh, matanya mencari-cari.
"Cukup! Tak perlu banyak bicara lagi Kwee-kongcu. Aku sudah mendengar bahwa kalau aku kalah, aku harus menjadi muridmu dan ikut pergi bersamamu!" kata pula Lu Sian dengan senyum mengejek. "Akan tetapi jangan kira akan mudah mengalahkan aku!" Setelah berkata demikian, gadis itu berkelebat cepat dan tahu-tahu ia sudah lari menyambar pedangnya yang terletak diatas meja dan secepat itu pula berkelebat kembali menghadapi Kwee Seng. Pemuda itu tersenyum, senyum yang mengandung banyak arti, setengah mengejek dan setengah kagum begitu cepatnya gadis itu bergerak dan menyarungkan pedangnya dengan gerakan indah. Lu Sian merasakan ejekan ini dan dengan gemas ia berkata.
"Menghadapi seorang sakti seperti engkau ini, Kwee-kongcu, tidak bisa disamakan dengan segala cacing tanah tadi. Aku mengharapkan pelajaran darimu dalam menggunakan senjata!" Sambil berkata demikian gadis ini mencabut pedangnya dan tampaklah sinar berkelebat, putih menyilaukan mata.
"Lu Sian, mundurlah! Manusia ini terlalu sombong, biar aku mewakilimu memberi hajaran!" Tiba-tiba bayangan tinggi kurus melayang ke depan Kwee Seng dan sebuah lengan menyambar ke arah dada pemuda itu.
"Wutttt!" Kwee Seng miringkan pundaknya dan pukulan yang hebat itu lewat cepat.
"Hemm, aku senang sekali melayanimu!" kata Kwee Seng dan jari telunjuknya menotok ke arah pergelangan tangan yang lewat di sampingnya. Akan tetapi secepat itu pula Ma Thai Kun sudah menarik kembali lengannya sehingga dalam dua gebrakan ini mereka berkesudahan nol-nol atau sama cepatnya. (Bersambung)
(dwi)