Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 17 Bagian 1

Jum'at, 03 November 2017 - 18:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling...
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

BU SONG mengangguk. "Aku membacanya dari kitab, kalau Sang Buddha yang mengajarkannya, biarlah aku menjadi murid Sang Buddha."

Jawaban ini pun aneh dan membuat Kwee Seng makin terterik. "Anak baik, mari kau duduklah di sini." Ia tidak mau lagi menyebut anak itu "anak sinting". Setelah Bu Song ikut duduk di bawah pohon di depannya, Kwee Seng lalu bertanya.

"Anak baik, coba kaujelaskan, apa hubungannya pelajaran itu dengan perbuatanku tadi."

"Para penjudi itu berjudi tidak ada yang menyuruh, adalah mereka sendiri yang membuat mereka melakukan penjudian. Mereka mau jadi atau tidak mau judi, adalah mereka sendiri yang memutuskan. Mereka celaka karena judi, atau tidak celaka karena tidak judi, juga mereka sendiri yang menimbulkan. Pokok dan sumber semua perbuatan adalah terletak di dalam hatinya, ibarat baik buruknya kembang tergantung daripada pohonnya. Kalau pohonnya sakit, mana bisa kembangnya baik? Kalau hatinya kotor, mana bisa perbuatannya bersih? Perbuatan buruk mana bisa betulkan orang lain? Yang bisa membetulkan hanya dirinya sendiri, karena hati berada di dalam dirinya sendiri. Inilah sebabnya maka perbuatan Paman tadi sia-sia belaka. Pembagian uang takkan menolong mereka melepaskan kemaksiatan berjudi."

Kwee Seng melongo seperti patung. Kalau anak ini pandai membaca sajak dari kitab-kitab suci hal itu tidaklah mengherankan benar, semua anak yang diajar membaca tentu dapat disuruh menghafalkannya. Akan tetapi apa yang diucapkannya ini sama sekali bukanlah hafalan dari kitab suci manapun juga, melainkan keluar dari pendapat dan pikiran berdasarkan pelajaran filsafat kebatinan untuk menguraikan sajak tadi! Inilah hebat! Ia kagum bukan main, akan tetapi masih sangsi. Jangan-jangan hanya kebetulan saja anak ini "ngoceh" tanpa sengaja tapi tepat. Ia hendak menguji pula.

"Hemm, kau tadi bilang perbuatanku bertentangan dengan dua hal. Hal pertama adalah sajak tadi, kini apakah hal ke dua?"

"Segala macam nasihat dan wejangan memanglah muluk-muluk dan enak didengar, akan tetapi itu hanyalah suara yang keluar dari mulut. Segala macam ayat dan pelajaran dalam kitab-kitab suci memanglah indah dan enak di baca, akan tetapi hal itu hanyalah tulisan di atas kertas. Apakah artinya semua itu kalau tidak ada kenyataan dalam perbuatannya? Semenjak kanak-kanak sampai tua manusia lebih suka mencoba dari orang lain daripada belajar sendiri! Oleh karana itu. PERBAIKILAH DIRIMU SENDIRI SEBELUM ENGKAU MEMPERBAIKI ORANG LAIN."

"Ah, kau murid Nabi Khong Cu!" Kwee Seng berseru, kagum. "Boleh juga disebut begitu karena beliau memang seorang guru besar yang patut menjadi guru. Dengan memperbaiki diri sendiri, kita membersihkan diri dari perbuatan jahat, dengan demikian orang-orang akan mencontoh. Kalau SEMUA ORANG MASING-MASING BELAJAR MEMPERBAIKI DIRI SENDIRI, maka apa perlunya segala macam nasihat dan pelajaran? Akan tetapi kalau tidak mau membersihkan diri sendiri, orang lain mana mau mencucinya bersih? Paman, itulah sebabnya kukatakan bahwa sia-sia saja Paman menasihati para penjudi itu. Alangkah akan janggalnya kalau mereka yang telah mendengar nasihat Paman itu mendapat kenyataan betapa Paman sendiri seorang maling...."

"Hahhh.....? Apa kaubilang? Aku.... maling?" Kwee Seng benar-benar kaget dan penasaran, matanya melotot dan ia memperlihatkan muka merah. Akan tetapi diam-diam ia kagum dan heran. Anak ini sama sekali tidak takut, matanya memandang bening dan wajahnya serius (sungguh-sungguh). "Aku tahu bahwa fitnah itu jahat, Paman, karenanya tak mungkin aku berani melakukan fitnah. Akan tetapi yang menyatakan bahwa Paman seorang maling adalah Paman sendiri, dalam pertemuan kita yang pertama. Bukankah Paman sendiri yang bercerita kepadaku bahwa Paman mencuri paha panggang yang Paman makan itu?"

Sejenak Kwee Seng tertegun, mengingat-ingat, lalu ia tertawa bergelak sampai perutnya terasa kaku. "Ha-ha-ha! Mengambil paha panggang kauanggap maling! Anak baik, aku sama sekali bukan maling!"

Bu Song menarik napas panjang. "Syukurlah kalau begitu. Sebetulnya tidak perlu mencuri. Mencuri paha ayam maupun gajah, tetap mencuri namanya. Aku tidak akan mencuri, Paman." (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0431 seconds (0.1#10.140)