Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 17 Bagian 2

Senin, 06 November 2017 - 06:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling...
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

Kwee Seng mengamati wajah anak itu penuh perhatian. Sepasang mata anak ini bening dan tajam, indah bentuknya dan dihias bulu mata yang panjang dan melengkung ke atas. Serasa pernah ia melihat mata indah seperti ini, akan tetapi tak dapat ia mengingat di mana dan kapan. Adapun Bu Song tidak merasa bahwa jembel itu memperhatikannya, karena sebaliknya ia sendiri memperhatikan pakaian yang butut dan rambut riap-riapan itu. Kembali ia menghela napas dan berkata, "Sayang, Paman, uang sebanyak itu dihamburkan sia-sia. Mengapa tidak paman sisakan sedikit untuk membeli pakaian? Pakaian Paman sudah begini rusak, juga kaki Paman telanjang tidak bersepatu."

Diam-diam ada rasa haru menyelinap di hati Kwee Seng. Baru kali ini semenjak perantauannya, ia mendapat perhatian orang lain, dikasihani orang lain. Hal ini menimbulkan haru dan suka di hatinya. Entah mengapa, pribadi anak ini amat menarik hatinya dan diam-diam Kwee Seng mencela dirinya sendiri. Tertarik kepada orang lain inilah yang menjadi sebab-musabab segala penderitaanya. Kalau dahulu ia tidak tertarik kepada Ang-siauw-hwa, atau kepada Liu Lu Sian! Sekarang ia tertarik oleh keadaan bocah ini, kalau ia menuruti hatinya, tentu ada saja persoalan baru muncul. Ia lalu berdongak dan berusaha mengusir perasaannya sambil bernyanyi dengan suara keras.

"Lima warna membutakan mata

lima bunyi menulikan telinga

lima lezat merusak rasa

memburu membunuh menjadikan buas

benda dihargai menjadi curang

itulah sebabnya orang bijaksana

mementingkan kebutuhan perut

tak menghiraukan panca indera!"

Bu Song memandang dengan mata terbuka lebar dan kagum. Sama sekali tidak disangkanya bahwa jembel yang seperti orang gila dan suka bersikap edan-edanan dan aneh ini begitu pandai bernyanyi, suaranya nyaring merdu dan sajaknya bukan pula sembarang sajak. Kata-kata dalam sajak itu menimbulkan kesan mendalam di hatinya dan karena semenjak kecil ia dijejali kitab-kitab kuno yang sukar bentuk dan arti kalimatnya, maka sekali mendengar sajak ini Bu Song sudah dapat menangkap inti sarinya. Tak terasa lagi ia bertepuk tangan memuji. "Bagus sekali, Paman terutama isi sajaknya!"

Kwee Seng tersenyum. "Kau belum pernah mendengarnya? Belum pernah membacanya?"

Bu Song menggeleng kepalanya. Memang dahulu ayahnya melarang ia membaca kitab-kitab Agama To, kerena menurut anggapan Kam Si Ek, pelajaran dalam agama ini hanya melemahkan semangat anak-anak. Akan tetapi Bu Song yang sudah banyak membaca kitab-kitab kuno, dapat menduganya, maka ia berkata. "Aku belum pernah membaca sajak itu, akan tetapi agaknya itu adalah perlajaran Agama To, bukan?"

Kwee Seng girang dan merangkul pundak anak itu. "Anak baik, memang itu adalah sajak dari kitab To-tek-kheng dari Agama To ajaran Nabi Lo Cu. Anak yang baik siapakah namamu?"

"Aku bernama Bu Song, paman." "Bu Song? Nama yang indah dan gagah. Dan apa shemu (nama keturunan)?"

Bu Song mengerutkan kening dan menggeleng kepala. "Aku tidak menggunakan she. Namaku cukup Bu Song saja, tanpa tambahan."

Kwee Seng memandang dengan alis bergerak-gerak. "Mengapa begitu? Di manakah kau tinggal?"

Bu Song memandangnya dan kini anak itu tersenyum. "Sama dengan engkau Paman."

"Heh...? Bagaimana bisa sama dengan aku, kalau aku tidak mempunyai tempat tinggal... Ehhh! Apa kau mau bilang bahwa kau tidak mempunyai tempat tinggal?"

Bu Song mengangguk!

"Dan orang tuamu? Siapakah mereka? Mengapa kau meninggalkan rumah orang tuamu?" Ucapan Kwee Seng terdengar bengis dan ia memandang Bu Song dengan mata marah, seakan-akan hendak memaksa anak ini mengaku. Memang Kwee Seng marah karena ia dapat membayangkan betapa susahnya hati ayah bunda anak ini. Anak seperti ini tentu amat disayang oleh orang tuanya, maka kalau anak ini pergi tanpa pamit, tentu akan menyusahkan hati mereka.

Tiba-tiba Bu Song berdiri, lalu mengangkat tangan menjura kepada Kwee Seng. "Maaf, Paman, terpaksa aku tidak dapat melayani bercakap-cakap dengan Paman lebih lama. Aku pergi...!"

"Hee, nanti dulu! Mengapa kau tidak mau bicara lagi?"

Sambil menoleh dan memperlihatkan muka sedih Bu Song menjawab, "Orang bercakap-cakap harus jujur dan tidak saling membohong. Akan tetapi aku terpaksa tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Paman, aku tidak dapat dan tidak mau bercerita tentang diriku, tentang riwayatku, maka terpaksa aku harus meninggalkan Paman, biarpun dengan penuh kesal dan kecewa...." (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0582 seconds (0.1#10.140)