Edukasi soal SKM Penting untuk Berantas Stunting
Selasa, 28 Juli 2020 - 23:13 WIB
JAKARTA - Berdasarkan Riskesdas 2018, prevalensi stunting di Jawa Timur saat ini tidak terpaut jauh dari angka nasional, yaitu mencapai 26,91% dengan risiko stunting tertinggi pada Kabupaten Probolinggo, Trenggalek, Jember, Bondowoso dan Pacitan.
Tak dipungkiri, permasalahan gizi erat kaitannya dengan ekonomi masyarakat. Namun, stunting tidak melulu terjadi karena kemiskinan, melainkan juga akibat ketidakdisiplinan masyarakat.
“Penerapan disiplin gizi bukan hanya berkaitan dengan kemampuan membeli makanan, tapi juga pilihan pangannya,” kata Wakil Gubernur Jawa Timur (Jatim) Dr. H. Emil Elestianto Dardak dalam webinar yang diselenggarakan YAICI bersama PP Aisyiyah, Selasa (28/7). ( )
Emil mengungkapkan, sebuah program yang pernah dilakukan di Pandeglang, Banten, pada 2019 di mana ditemukan bahwa stunting terjadi karena kesalahpahaman masyarakat yang beranggapan kental manis (SKM) adalah susu dan diberikan kepada anak.
“Lalu dilakukan upaya terpadu, kental manis diganti susu dan ada perbaikan. Ini kemudian dikoordinasikan dengan dinas kesehatan provinsi untuk dilakukan upaya yang sama di Jatim,” papar Emil.
Untuk itu, Emil menekankan pentingnya literasi gizi tak hanya untuk kaum ibu khususnya, namun juga lingkungan sekitar yang memengaruhi ibu.
“Ibu-ibu muda saat ini yang rata-rata kelahiran 1990-2000, adalah generasi milenial yang pasti melek teknologi dan informasi. Tapi, terkadang pengambilan keputusan juga dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya, orangtua, mertua/nenek. Karena itu, edukasi mengenai gizi dan kental manis juga harus diberikan kepada generasi yang lebih tua ini,” imbuh Emil.
Spesialis anak DR. dr. Tubagus Rachmat Sentika, SpA, MARS menyatakan, stunting adalah kondisi anak yang memiliki tinggi di bawah rata-rata. Kondisi ini akan sulit diperbaiki ketika anak sudah melewati masa golden period, yaitu di usia 3 hingga 6 tahun. Pembentukan otak atau neuro development juga terjadi pada masa kritis tersebut. Di mana 25% hingga 80% pembentukan otak terjadi dalam usia 2 tahun. Setelah 2 tahun sampai 3 tahun menjadi 80% dan setelah 6 tahun menjadi 95%.
Karenanya dr. Rachmat mewanti-wanti agar masa ini tidak terlewatkan karena tak bisa tergantikan. ( )
Tak dipungkiri, permasalahan gizi erat kaitannya dengan ekonomi masyarakat. Namun, stunting tidak melulu terjadi karena kemiskinan, melainkan juga akibat ketidakdisiplinan masyarakat.
“Penerapan disiplin gizi bukan hanya berkaitan dengan kemampuan membeli makanan, tapi juga pilihan pangannya,” kata Wakil Gubernur Jawa Timur (Jatim) Dr. H. Emil Elestianto Dardak dalam webinar yang diselenggarakan YAICI bersama PP Aisyiyah, Selasa (28/7). ( )
Emil mengungkapkan, sebuah program yang pernah dilakukan di Pandeglang, Banten, pada 2019 di mana ditemukan bahwa stunting terjadi karena kesalahpahaman masyarakat yang beranggapan kental manis (SKM) adalah susu dan diberikan kepada anak.
“Lalu dilakukan upaya terpadu, kental manis diganti susu dan ada perbaikan. Ini kemudian dikoordinasikan dengan dinas kesehatan provinsi untuk dilakukan upaya yang sama di Jatim,” papar Emil.
Untuk itu, Emil menekankan pentingnya literasi gizi tak hanya untuk kaum ibu khususnya, namun juga lingkungan sekitar yang memengaruhi ibu.
“Ibu-ibu muda saat ini yang rata-rata kelahiran 1990-2000, adalah generasi milenial yang pasti melek teknologi dan informasi. Tapi, terkadang pengambilan keputusan juga dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya, orangtua, mertua/nenek. Karena itu, edukasi mengenai gizi dan kental manis juga harus diberikan kepada generasi yang lebih tua ini,” imbuh Emil.
Spesialis anak DR. dr. Tubagus Rachmat Sentika, SpA, MARS menyatakan, stunting adalah kondisi anak yang memiliki tinggi di bawah rata-rata. Kondisi ini akan sulit diperbaiki ketika anak sudah melewati masa golden period, yaitu di usia 3 hingga 6 tahun. Pembentukan otak atau neuro development juga terjadi pada masa kritis tersebut. Di mana 25% hingga 80% pembentukan otak terjadi dalam usia 2 tahun. Setelah 2 tahun sampai 3 tahun menjadi 80% dan setelah 6 tahun menjadi 95%.
Karenanya dr. Rachmat mewanti-wanti agar masa ini tidak terlewatkan karena tak bisa tergantikan. ( )
tulis komentar anda