Waspadai Gangguan Mental Anak
Senin, 03 Agustus 2020 - 12:01 WIB
Untuk itu, orang tua dapat segera bertindak untuk mengatasi hal ini, yaitu dengan menjalin relasi yang baik dengan anak. Orang tua hendaknya lebih memahami perasaan anak dan bersikap empati sehingga dapat menciptakan hubungan yang lebih baik dengan buah hati. Dengan begitu, anak akan melihat jalan keluar atau solusi yang lebih baik daripada melakukan pembangkangan atau lebih buruk dari itu, bunuh diri.
Berdasarkan data internal Halodoc periode Februari–Mei, jumlah konsultasi dengan dokter jiwa terus meningkat. Lonjakan yang sangat signifikan mulai terlihat saat penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada April dengan peningkatan pertumbuhan layanan konsultasi mencapai hampir 80% dibandingkan Maret. Jumlah konsultasi dengan dokter kejiwaan masih tercatat naik hingga puncak yang ada pada Mei.
Perlu Deteksi Dini
Statistik gangguan mental pada anak menunjukkan peningkatan tren. Jadi, deteksi dini gangguan mental semakin penting guna mewujudkan masa depan anak yang lebih baik. Ya, bukan hanya kesehatan fisik yang harus dijaga, kesehatan mental pun sama pentingnya. Anak dengan kesehatan mental yang baik akan memiliki karakter yang juga positif. "Contohnya, anak akan dapat beradaptasi dengan berbagai keadaan," kata psikolog anak ini.
Kemampuan beradaptasi ini amat krusial diperlukan di tengah tantangan kehidupan saat ini. Terlebih pada periode pandemi virus korona sekarang, di mana sudah diterapkan adaptasi kenormalan baru. Bukan hanya kemampuan beradaptasi, kemampuan resiliensi atau ketahanan anak juga harus dimiliki generasi masa depan ini. (Baca juga: Koalisi Selamatkan Indonesia Imbas Tumpulnya Barisan Oposisi)
Annelia menganalogikan seperti sebuah bola yang dapat kembali memantul ketika dijatuhkan. Nah, anak yang sehat mental adalah sebuah pribadi yang dapat menghadapi stres dengan baik. Artinya, anak ini dapat menjaga hubungan dengan baik dan dapat bangkit dari keadaan yang sulit. Kesehatan mental anak sangat penting untuk dijaga karena sangat berpeluang terjadinya bunuh diri jika tidak segera diatasi.
Hal ini ditunjukkan dengan data dari WHO yang mencatat 15% anak remaja di negara berkembang berpikiran untuk bunuh diri. Bunuh diri merupakan penyebab kematian terbesar ketiga di dunia bagi kelompok anak usia 15–19 tahun. Tidak hanya itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 juga menunjukkan adanya kenaikan gangguan mental emosional pada masa remaja usia 15 tahun menjadi 9,8%, padahal di Riskesdas 2013 hanya 6%.
Jadi, dia mengakui cukup tinggi kenaikannya, terlebih di Indonesia dengan populasi banyak. Sebut saja ada 8 atau 10% anak dengan gangguan mental dari populasi anak hingga remaja di Indonesia yang berjumlah sekitar 80 juta jiwa. Artinya ada sekitar 8 juta yang memiliki gangguan mental emosional. Maka itu keluarga, khususnya orang tua, haruslah merangkul anak dan mengetahui betul adanya perubahan perilaku yang terjadi. Keluarga juga perlu membentuk zona yang nyaman agar anak dapat menceritakan masalahnya tanpa merasa dicemooh atau disalahkan. (Lihat videonya: Satu Keluarga Makan Bersama di bahu Jalan Tol Cipali Viral di Medsos)
Yakinkan mereka bahwa kondisi yang dialami akan berakhir. Aktivitas fisik seperti berolahraga, makan teratur, dan tidur cukup dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan anak. Tidak kalah penting ialah edukasi agama dan moral yang harus diajarkan kepada anak. (Sri Noviarni)
Berdasarkan data internal Halodoc periode Februari–Mei, jumlah konsultasi dengan dokter jiwa terus meningkat. Lonjakan yang sangat signifikan mulai terlihat saat penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada April dengan peningkatan pertumbuhan layanan konsultasi mencapai hampir 80% dibandingkan Maret. Jumlah konsultasi dengan dokter kejiwaan masih tercatat naik hingga puncak yang ada pada Mei.
Perlu Deteksi Dini
Statistik gangguan mental pada anak menunjukkan peningkatan tren. Jadi, deteksi dini gangguan mental semakin penting guna mewujudkan masa depan anak yang lebih baik. Ya, bukan hanya kesehatan fisik yang harus dijaga, kesehatan mental pun sama pentingnya. Anak dengan kesehatan mental yang baik akan memiliki karakter yang juga positif. "Contohnya, anak akan dapat beradaptasi dengan berbagai keadaan," kata psikolog anak ini.
Kemampuan beradaptasi ini amat krusial diperlukan di tengah tantangan kehidupan saat ini. Terlebih pada periode pandemi virus korona sekarang, di mana sudah diterapkan adaptasi kenormalan baru. Bukan hanya kemampuan beradaptasi, kemampuan resiliensi atau ketahanan anak juga harus dimiliki generasi masa depan ini. (Baca juga: Koalisi Selamatkan Indonesia Imbas Tumpulnya Barisan Oposisi)
Annelia menganalogikan seperti sebuah bola yang dapat kembali memantul ketika dijatuhkan. Nah, anak yang sehat mental adalah sebuah pribadi yang dapat menghadapi stres dengan baik. Artinya, anak ini dapat menjaga hubungan dengan baik dan dapat bangkit dari keadaan yang sulit. Kesehatan mental anak sangat penting untuk dijaga karena sangat berpeluang terjadinya bunuh diri jika tidak segera diatasi.
Hal ini ditunjukkan dengan data dari WHO yang mencatat 15% anak remaja di negara berkembang berpikiran untuk bunuh diri. Bunuh diri merupakan penyebab kematian terbesar ketiga di dunia bagi kelompok anak usia 15–19 tahun. Tidak hanya itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 juga menunjukkan adanya kenaikan gangguan mental emosional pada masa remaja usia 15 tahun menjadi 9,8%, padahal di Riskesdas 2013 hanya 6%.
Jadi, dia mengakui cukup tinggi kenaikannya, terlebih di Indonesia dengan populasi banyak. Sebut saja ada 8 atau 10% anak dengan gangguan mental dari populasi anak hingga remaja di Indonesia yang berjumlah sekitar 80 juta jiwa. Artinya ada sekitar 8 juta yang memiliki gangguan mental emosional. Maka itu keluarga, khususnya orang tua, haruslah merangkul anak dan mengetahui betul adanya perubahan perilaku yang terjadi. Keluarga juga perlu membentuk zona yang nyaman agar anak dapat menceritakan masalahnya tanpa merasa dicemooh atau disalahkan. (Lihat videonya: Satu Keluarga Makan Bersama di bahu Jalan Tol Cipali Viral di Medsos)
Yakinkan mereka bahwa kondisi yang dialami akan berakhir. Aktivitas fisik seperti berolahraga, makan teratur, dan tidur cukup dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan anak. Tidak kalah penting ialah edukasi agama dan moral yang harus diajarkan kepada anak. (Sri Noviarni)
(ysw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda