Waspadai Gangguan Mental Anak
Senin, 03 Agustus 2020 - 12:01 WIB
JAKARTA - Tidak seperti gangguan kesehatan lainnya, tanda-tanda gangguan kesehatan mental, khususnya pada anak, sulit terlihat. Orang tua harus lebih peka terhadap hal ini.
Riskesdas 2018 menemukan bahwa prevalensi gangguan mental emosional remaja usia di atas 15 tahun meningkat menjadi 9,8% dari yang sebelumnya 6% pada 2013. Di sisi lain, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mencatat, 15% anak remaja di negara berkembang berpikiran untuk bunuh diri, di mana bunuh diri merupakan penyebab kematian terbesar ketiga di dunia bagi kelompok anak usia 15–19 tahun.
Psikolog anak Annelia Sari Sani SPsi yang juga Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Indonesia mengatakan, gangguan mental pada usia anak hingga remaja dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk menyebabkan masalah pada perilaku, gangguan emosional dan sosial, gangguan perkembangan dan belajar, gangguan perilaku makan dan kesehatan, hingga gangguan relasi dengan orang tua.
“Tidak seperti gangguan kesehatan lainnya, tanda-tanda gangguan kesehatan mental, terlebih pada anak, cenderung sulit dilihat. Karena itu, penting bagi orang tua untuk lebih peka terhadap perubahan perilaku anak dan memberikan penanganan sejak dini guna meminimalisasi risiko jangka,” beber Annelia dalam acara Hari Anak Nasional Halodoc Edukasi Pentingnya Jaga Kesehatan Mental pada Anak belum lama ini. Sayangnya, gangguan mental pada anak hampir tidak diketahui dan tidak mudah membedakannya dengan fluktuasi perilaku pada masa remaja. (Baca: Stunting Pada Anak Dipicu Perilaku Salah di Masyarakat)
Asaelia Aleeza selaku Co-founder Ubah Stigma (komunitas dengan misi meningkatkan kesadaran kesehatan mental untuk melawan stigma terhadap isu kesehatan mental) menemukan bahwa sebagian besar kondisi gangguan mental pada anak berupa gejala depresi maupun kecemasan yang disebabkan masalah keluarga. “Akibatnya, anak kehilangan konsentrasi saat belajar dan terjadi penurunan nilai akademis," sebut Asaelia.
Gangguan mental yang dialami anak membuat mereka tidak mampu mengelola emosi dengan baik dan mengatasi konflik sehingga membuat anak menjadi pribadi yang tertutup. Tidak jarang ditemukan banyak anak yang menyakiti diri mereka sendiri.
Stigma yang paling sering melekat pada anak dengan gangguan kesehatan mental adalah rasa malu dan bingung. Mereka malu mengakui memiliki gejala gangguan mental serta tidak memahami solusi alternatif yang mereka miliki.
“Saya percaya bahwa dengan membuka komunikasi dua arah secara lebih intensif dengan orang tua, penanganan gangguan kesehatan mental dapat dilakukan sejak dini,” ujar Asaelia.
Annelia menjelaskan, salah satu hambatan dalam penanganan gangguan mental pada anak adalah minimnya pengetahuan orang tua. Dia mencontohkan pemandangan anak laki-laki yang sering marah dan berkelahi sebagai suatu hal yang lumrah. Padahal, dibaliknya ada gangguan yang bersifat pembangkangan. “Kekurangan informasi inilah yang menjadi kendala sangat besar," imbuh Annelia. (Baca juga: 3Tren Wisata yang Muncul Pascapandemi)
Riskesdas 2018 menemukan bahwa prevalensi gangguan mental emosional remaja usia di atas 15 tahun meningkat menjadi 9,8% dari yang sebelumnya 6% pada 2013. Di sisi lain, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mencatat, 15% anak remaja di negara berkembang berpikiran untuk bunuh diri, di mana bunuh diri merupakan penyebab kematian terbesar ketiga di dunia bagi kelompok anak usia 15–19 tahun.
Psikolog anak Annelia Sari Sani SPsi yang juga Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Indonesia mengatakan, gangguan mental pada usia anak hingga remaja dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk menyebabkan masalah pada perilaku, gangguan emosional dan sosial, gangguan perkembangan dan belajar, gangguan perilaku makan dan kesehatan, hingga gangguan relasi dengan orang tua.
“Tidak seperti gangguan kesehatan lainnya, tanda-tanda gangguan kesehatan mental, terlebih pada anak, cenderung sulit dilihat. Karena itu, penting bagi orang tua untuk lebih peka terhadap perubahan perilaku anak dan memberikan penanganan sejak dini guna meminimalisasi risiko jangka,” beber Annelia dalam acara Hari Anak Nasional Halodoc Edukasi Pentingnya Jaga Kesehatan Mental pada Anak belum lama ini. Sayangnya, gangguan mental pada anak hampir tidak diketahui dan tidak mudah membedakannya dengan fluktuasi perilaku pada masa remaja. (Baca: Stunting Pada Anak Dipicu Perilaku Salah di Masyarakat)
Asaelia Aleeza selaku Co-founder Ubah Stigma (komunitas dengan misi meningkatkan kesadaran kesehatan mental untuk melawan stigma terhadap isu kesehatan mental) menemukan bahwa sebagian besar kondisi gangguan mental pada anak berupa gejala depresi maupun kecemasan yang disebabkan masalah keluarga. “Akibatnya, anak kehilangan konsentrasi saat belajar dan terjadi penurunan nilai akademis," sebut Asaelia.
Gangguan mental yang dialami anak membuat mereka tidak mampu mengelola emosi dengan baik dan mengatasi konflik sehingga membuat anak menjadi pribadi yang tertutup. Tidak jarang ditemukan banyak anak yang menyakiti diri mereka sendiri.
Stigma yang paling sering melekat pada anak dengan gangguan kesehatan mental adalah rasa malu dan bingung. Mereka malu mengakui memiliki gejala gangguan mental serta tidak memahami solusi alternatif yang mereka miliki.
“Saya percaya bahwa dengan membuka komunikasi dua arah secara lebih intensif dengan orang tua, penanganan gangguan kesehatan mental dapat dilakukan sejak dini,” ujar Asaelia.
Annelia menjelaskan, salah satu hambatan dalam penanganan gangguan mental pada anak adalah minimnya pengetahuan orang tua. Dia mencontohkan pemandangan anak laki-laki yang sering marah dan berkelahi sebagai suatu hal yang lumrah. Padahal, dibaliknya ada gangguan yang bersifat pembangkangan. “Kekurangan informasi inilah yang menjadi kendala sangat besar," imbuh Annelia. (Baca juga: 3Tren Wisata yang Muncul Pascapandemi)
tulis komentar anda