Ketidakpedulian pada Sesama Menggerus Hubungan Sosial
Sabtu, 28 November 2020 - 14:30 WIB
"Seharusnya hal itu sudah diatasi oleh semacam sistem, organisasi, atau lembaga. Contohnya di transportasi umum, di luar negeri sudah jelas ada tempat untuk para difabel dan lansia. Ada ketentuan sopir harus ikut membantu sehingga nanti masyarakat akan ikut menjadi bagian dari kelompok tersebut," jelasnya. (Baca juga: Fungsi Minyak Zaitun untuk Kesehatan)
Dia menambahkan, pada sistem transportasi di Australia, busnya menggunakan alat hidrolik sehingga bisa dinaikturunkan untuk penumpang difabel. Jika sudah menggunakan sistem seperti itu, pasti akan muncul toleransi bahwa sistem ini tidak hanya bagian dari tanggung jawab individu.
Tidak aneh jika di beberapa negara ada kelompok yang bertanggung jawab untuk masalah sosial. Misalnya jika terjadi kemacetan akan ada yang tiba-tiba menjadi pengatur lalu lintas. Mereka seperti relawan yang tidak digaji, mereka bisa saja seorang pengemudi taksi. Saat di jalan tidak ada penumpang, sopir taksi bisa keluar dari mobilnya untuk mengatur jalan ketika macet. Kelompok relawan pengatur jalan itu diakui negara atau pemerintah kota.
"Tercipta sebuah kelompok yang siap menjadi relawan bagi masyarakat yang akan membuat masyarakat lain bisa saja ingin ikut kelompok tersebut sehingga semakin banyak orang yang peduli sesama," tuturnya.
Orang-orang semakin sulit membantu orang lain karena manusia sedang dalam masa transisi dari masyarakat sosial ke arah individual. Tapi Fathurochman percaya manusia akan sulit hidup secara individual karena tidak mendarah daging, apalagi kodrat manusia adalah makhluk sosial. (Baca juga: Indonesia Ajak ASEAN Tanggulangi Pandemi Covid-19)
Maka itu yang harus terus dipelihara. Contohnya orang tua ke anak, pimpinan ke bawahan, jangan terlalu bersikap keras, suka menghujat, mengkritik karena hal itu akan menjadi awal bagaimana kita tidak menjadi bagian untuk membangun masyarakat.
Adapun mengenai media sosial yang menjadi pengaruh pembiaran atau ketidakpedulian masyarakat, sosiolog Universitas Nasional Sigit Rohadi mengatakan, media sosial menghubungkan individu dengan dunia luas. Karena individu menjadi pengguna yang aktif,, dampaknya mereka menjadi lebih emosional dalam merespons konten media sosial. Mereka pun membentuk kelompok-kelompok secara tidak langsung.
Media sosial juga menghubungkan hobi dalam bentuk berita, gambar maupun video dengan berbagai isu. "Jika individu membuat keunikan-keunikan, orang itu dalam waktu singkat dapat sangat terkenal ke seluruh dunia. Sama halnya jika tokoh populer membuat pernyataan konyol dia juga bisa jatuh dalam waktu yang sangat singkat," urainya.
Tidak mengherankan jika banyak orang senang dengan kehidupan di media sosial. Sebab mereka berkumpul dengan orang-orang yang sama pemikirannya sehingga jika mengalami sebuah kejadian harus selalu dibagikan untuk mendapatkan dukungan. (Lihat videonya: Lompat dari Motor, Bocah Sembilan tahun Lolos dari Penculikan)
"Kesamaan pikiran dan perasaan hati membuat orang tidak butuh lagi kebenaran fakta-fakta. Hal itu tidak begitu penting. Yang lebih penting adalah persetujuan dari teman-teman," ucapnya.
Dia menambahkan, pada sistem transportasi di Australia, busnya menggunakan alat hidrolik sehingga bisa dinaikturunkan untuk penumpang difabel. Jika sudah menggunakan sistem seperti itu, pasti akan muncul toleransi bahwa sistem ini tidak hanya bagian dari tanggung jawab individu.
Tidak aneh jika di beberapa negara ada kelompok yang bertanggung jawab untuk masalah sosial. Misalnya jika terjadi kemacetan akan ada yang tiba-tiba menjadi pengatur lalu lintas. Mereka seperti relawan yang tidak digaji, mereka bisa saja seorang pengemudi taksi. Saat di jalan tidak ada penumpang, sopir taksi bisa keluar dari mobilnya untuk mengatur jalan ketika macet. Kelompok relawan pengatur jalan itu diakui negara atau pemerintah kota.
"Tercipta sebuah kelompok yang siap menjadi relawan bagi masyarakat yang akan membuat masyarakat lain bisa saja ingin ikut kelompok tersebut sehingga semakin banyak orang yang peduli sesama," tuturnya.
Orang-orang semakin sulit membantu orang lain karena manusia sedang dalam masa transisi dari masyarakat sosial ke arah individual. Tapi Fathurochman percaya manusia akan sulit hidup secara individual karena tidak mendarah daging, apalagi kodrat manusia adalah makhluk sosial. (Baca juga: Indonesia Ajak ASEAN Tanggulangi Pandemi Covid-19)
Maka itu yang harus terus dipelihara. Contohnya orang tua ke anak, pimpinan ke bawahan, jangan terlalu bersikap keras, suka menghujat, mengkritik karena hal itu akan menjadi awal bagaimana kita tidak menjadi bagian untuk membangun masyarakat.
Adapun mengenai media sosial yang menjadi pengaruh pembiaran atau ketidakpedulian masyarakat, sosiolog Universitas Nasional Sigit Rohadi mengatakan, media sosial menghubungkan individu dengan dunia luas. Karena individu menjadi pengguna yang aktif,, dampaknya mereka menjadi lebih emosional dalam merespons konten media sosial. Mereka pun membentuk kelompok-kelompok secara tidak langsung.
Media sosial juga menghubungkan hobi dalam bentuk berita, gambar maupun video dengan berbagai isu. "Jika individu membuat keunikan-keunikan, orang itu dalam waktu singkat dapat sangat terkenal ke seluruh dunia. Sama halnya jika tokoh populer membuat pernyataan konyol dia juga bisa jatuh dalam waktu yang sangat singkat," urainya.
Tidak mengherankan jika banyak orang senang dengan kehidupan di media sosial. Sebab mereka berkumpul dengan orang-orang yang sama pemikirannya sehingga jika mengalami sebuah kejadian harus selalu dibagikan untuk mendapatkan dukungan. (Lihat videonya: Lompat dari Motor, Bocah Sembilan tahun Lolos dari Penculikan)
"Kesamaan pikiran dan perasaan hati membuat orang tidak butuh lagi kebenaran fakta-fakta. Hal itu tidak begitu penting. Yang lebih penting adalah persetujuan dari teman-teman," ucapnya.
tulis komentar anda