Konsumsi Buah Perkuat Sistem Imun
Sabtu, 23 Januari 2021 - 16:30 WIB
Jika dibandingkan dengan negara Asia seperti Singapura, China, Vietnam, dan Kamboja, Indonesia masih tertinggal jauh. China menjadi negara terbanyak mengonsumsi buah dengan pencapaian lebih dari 250 kilogram buah per kapita per tahunnya. Disusul Singapura 228,2 kilogram, Vietnam 109 kilogram, Kamboja 100 kilogram, dan Indonesia yang tidak sampai 50 kiligram per kapita per tahunnya.
Dengan konsumsi yang masih rendah, tetapi nyatanya buah impor tetap mengalir deras masuk ke tanah air. Bahkan, menurut Guru Besar Fakultas Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas, impor buah-buahan akan semakin membanjiri ke depannya.
"Tidak berdayanya Indonesia terhadap masuknya buah impor karena selama ini selalu tergesa-gesa dalam menandatangani perjanjian dagang dengan negara lain," tuturnya.
Masih minimnya konsumsi buah dan cenderung lakunya buah impor membuat Andreas memandang perlu segera dilakukan kampanye oleh pemerintah. Tentu saja kampanyenya terkait dengan imbauan untuk mengonsumsi buah. Diharapkan, kampanye ini mampu menyadarkan masyarakat akan buah-buahan musiman yang memang melimpah di tanah air.
"Kalau misalnya sekarang lagi musim mangga, buat kampanye ayo kita ramai-ramai makan mangga, dengan begitu masyarakat akan mulai terbiasa mengonsumsi buah setiap hari," ujarnya.
Ia juga mengkritisi kampanye pemerintah yang terlalu umum dan tidak sesuai musim, membuat masyarakat tidak peka terhadap manfaatnya. Sehingga masyarakat kurang tertarik akan buah-buahan yang ternyata memiliki untuk tubuh, dan mencari buah yang hanya mereka ketahui manfaatnya saja dan kebanyakan buah impor.
Adapun pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rizal Taufikurahman, kurang setuju bila buah impor dinyatakan membanjiri negeri. Buah lokal masih banyak merajai pasar. Menurut perhitungannya, dari total volume buah yang beredar di pasaran, buah impor kurang dari 10%.
"Setahu saya pasokan buah impor hanya 5% sampai 6% saja, sisanya masih dikuasai buah lokal," tambahnya.
Yang menjadi persoalan buah-buahan dalam negeri kurang diminati karena kurang dari segi kualitas, kuantitas, dan kontinuitasnya. Ia berharap, impor buah tropis dapat ditekan. Karena petani dalam negeri sudah mampu memproduksi sendiri dan rasanya tidak kalah enak. Namun, untuk buah sub tropis, pemerintah bisa mengimpor dan sebaliknya mengekspor produk tropis yang tidak ada di negara importir.
"Sehingga tercipta di imej masyarakat kalau apel ya apel Malang, jeruk ya jeruk Pontianak bukan jeruk Mandarin atau apel New Zealand dan apel Wahington," kata Rizal. (Aprilia S Andyna)
Dengan konsumsi yang masih rendah, tetapi nyatanya buah impor tetap mengalir deras masuk ke tanah air. Bahkan, menurut Guru Besar Fakultas Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas, impor buah-buahan akan semakin membanjiri ke depannya.
"Tidak berdayanya Indonesia terhadap masuknya buah impor karena selama ini selalu tergesa-gesa dalam menandatangani perjanjian dagang dengan negara lain," tuturnya.
Masih minimnya konsumsi buah dan cenderung lakunya buah impor membuat Andreas memandang perlu segera dilakukan kampanye oleh pemerintah. Tentu saja kampanyenya terkait dengan imbauan untuk mengonsumsi buah. Diharapkan, kampanye ini mampu menyadarkan masyarakat akan buah-buahan musiman yang memang melimpah di tanah air.
"Kalau misalnya sekarang lagi musim mangga, buat kampanye ayo kita ramai-ramai makan mangga, dengan begitu masyarakat akan mulai terbiasa mengonsumsi buah setiap hari," ujarnya.
Ia juga mengkritisi kampanye pemerintah yang terlalu umum dan tidak sesuai musim, membuat masyarakat tidak peka terhadap manfaatnya. Sehingga masyarakat kurang tertarik akan buah-buahan yang ternyata memiliki untuk tubuh, dan mencari buah yang hanya mereka ketahui manfaatnya saja dan kebanyakan buah impor.
Adapun pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rizal Taufikurahman, kurang setuju bila buah impor dinyatakan membanjiri negeri. Buah lokal masih banyak merajai pasar. Menurut perhitungannya, dari total volume buah yang beredar di pasaran, buah impor kurang dari 10%.
"Setahu saya pasokan buah impor hanya 5% sampai 6% saja, sisanya masih dikuasai buah lokal," tambahnya.
Yang menjadi persoalan buah-buahan dalam negeri kurang diminati karena kurang dari segi kualitas, kuantitas, dan kontinuitasnya. Ia berharap, impor buah tropis dapat ditekan. Karena petani dalam negeri sudah mampu memproduksi sendiri dan rasanya tidak kalah enak. Namun, untuk buah sub tropis, pemerintah bisa mengimpor dan sebaliknya mengekspor produk tropis yang tidak ada di negara importir.
"Sehingga tercipta di imej masyarakat kalau apel ya apel Malang, jeruk ya jeruk Pontianak bukan jeruk Mandarin atau apel New Zealand dan apel Wahington," kata Rizal. (Aprilia S Andyna)
Lihat Juga :
tulis komentar anda